34 - Pilihan Sulit

2.7K 407 38
                                    

"Bagaimana bisa kamu ke Maroko harus dengan status belum beristri? Lalu Hasna mau kamu tinggal begitu?"

Eyang terdengar begitu emosi pada Yusuf.  Mereka tengah berdua saja di dalam kamar. Sementara Hasna berdiri di depan pintu seraya menempelkan telinganya. Berusaha mencuri dengar perbincangan di dalam.

Keluarga besarnya sudah keluar sejak tadi. Sejak keluarga Kyai Zainal berpamitan untuk pulang. Selain Yusuf, mereka tidak diperbolehkan masuk kamar lagi oleh Eyang Widji.

Amar yang memperhatikan Hasna sejak tadi, beranjak mendekatinya. Lalu memberi ketukan di puncak kepala Hasna dengan jari telunjuknya. Ia mengangkat alis saat Hasna menoleh ke arahnya.

Hasna menempelkan telunjuknya di depan bibir. Amar jadi ikut-ikutan menempelkan telinga pada daun pintu. Berhadap-hadapan dengan wajah Hasna.

Mata Hasna membulat saat mendapati Amar yang tanpa canggung menatap wajahnya begitu dekat. Ia menarik wajahnya sedikit lebih mundur. Tentu saja dengan alis yang ikut bertaut dan bibir yang sedikit mengerucut. Amar sendiri malah menarik sudut bibirnya ke atas. Tersenyum gemas melihat ekspresi Hasna.

"Gak baik nguping, tau!" ucapnya seraya kembali berdiri tegak sambil bersedekap menatap Hasna.

"Ish, Kak Amar, sana deh! Gangguin Hasna aja!" Hasna sedikit protes.
Ia juga bersedekap menatap Amar, kesal.

"Mending langsung masuk aja, daripada nguping."

"Kak Amar, gak kerja?" Hasna mengalihkan pembicaraan.

"Kak Amar mau beli eskrim. Mau ikut, gak?"

"Gak, ah."

"Dih, tumben?"

"Kak Amar, Hasna ini sudah jadi istri orang. Jadi gak boleh keluar sembarangan sama laki-laki lain."

"Dih, emang Kak Amar laki-laki lain?"

"Iya, lah. Kita masih batal wudhu, 'kan? Makanya kita gak boleh berduaan."

"Ini lagi berduaan."

"Ish, Kak Amar!"

Hasna menghentak kaki, kesal. Amar terkikik kecil. Senang melihat Hasna yang terlihat begitu terganggu.

Daun pintu yang tiba-tiba saja terbuka, membuat mereka sedikit terkejut. Sontak pandangan mereka langsung tertuju pada Yusuf yang terlihat tidak sedang baik-baik saja. Dia yang mengira bahwa Hasna dan Amar tengah bersenang-senang, jadi makin kesal.

"Apa kata eyang?" tanya Amar yang perlahan-lahan menghilangkan tawanya.

Hasna ikut mendekat padanya, kepalanya sedikit mendongak menatap Yusuf. Amar yang melirik Hasna malah kembali tertawa. Hasna kembali menautkan alis sambil lalu memberi kode dengan bibirnya agar Amar diam.

"Gak tahu, tanya aja sendiri sama eyang!"

Yusuf berlalu dari hadapan mereka setelah menjawab pertanyaan Amar dengan ketus.

"Ka Amar, sih!" rutuk Hasna.

"Tenang ...." Amar mengelus puncak kepala Hasna pelan sebelum akhirnya ia ikut melenggang pergi menyusul Yusuf.

***

"Kenapa eyang Yusuf tadi bertanya seperti itu, ya?" tanya Nyai Masruroh saat dalam perjalanan pulang.

"Mungkin, Yusuf sudah mengutarakan niat untuk menikah." Kyai Zainal menjawab seraya melirik pada Syahida lewat kaca spion. Putrinya yang tak berhenti mengukir senyum sejak tadi.

"Tapi, apa kita tadi salah bicara, Bah? Sepertinya, eyang Yusuf kurang suka sama jawaban Abah."

"Husnudzon, aja! Ekspresi orang yang tengah sakit itu gak bisa dijadikan tolak ukur perasaan seseorang."

Syahida melempar pandang ke sisi jalan. Mengingat kembali pertanyaan Eyang Wiji tadi.

"Oya, kalau ke Maroko, apa boleh Yusuf bawa istri?"

"Boleh-boleh saja, Pak. Tapi untuk dua tahun pertama, biasanya masih belum boleh. Atau bahkan ada yang hingga empat tahun belum boleh berumah tangga. Karena harus mengabdikan ilmunya terlebih dahulu. Berkhidmah bahasanya."

Eyang Wiji melempar tatapannya pada Yusuf yang tengah menunduk di samping Hasna. Ia tak berani menatap mata eyangnya. Karena rencana ke Maroko pun, belum ia bicarakan dengan keluarganya. Kabar yang dibawa Kyai Zainal ini pasti membuat mereka sedikit terkejut.

"Maksudnya, Yusuf tidak boleh menikah selama beberapa tahun itu?"

"Enggeh, Pak. Kurang lebih begitu."
Semua keluarga tampak saling berpandangan.

"Tapi nanti, kalau memang dirasa perlu untuk mempercepat pernikahan, mungkin akan ada kebijakan lain yang bisa diurus setelahnya."

Syahida mengurai senyum lebih lebar. Mengingat bagaimana Yusuf yang selalu terlihat sopan dan pemalu di depannya. Mungkin, jika dia jadi menikah dengan Yusuf, dia yang akan sering menggodanya nanti.

****

Amar menepuk pundak Yusuf yang tengah berdiri menatap beberapa tanaman hias yang berjajar di sisi pagar rumah sang eyang. Ia pun ikut berdiri di samping Yusuf setelah sepupunya itu menoleh padanya. Dua tangannya ia lipat di depan dada, meniru Yusuf.

Semilir angin sore sedikit menggoyangkan poni Amar. Iya benar, Amar memang sedikit meniru gaya para boy band asal Negeri Ginseng itu. Meski penampilannya begitu, ia tak pernah yang namanya menyepelekan sholat. Hal itulah yang membuat beberapa wanita teman kerjanya menyukainya.

Amar sendiri memilih untuk lebih banyak bekerja dari rumah, karena sudah merasa tak nyaman berada di kantor. Tak jarang teman-teman wanitanya itu akan mencoba mendekatinya. Bahkan ada yang tak segan untuk memaksa mengajaknya berkencan. Sesuatu yang menurut Amar tidak ada gunanya.

"Eyang bilang apa?" tanyanya.
Yusuf menghela nafasnya pelan.

"Entahlah. Eyang memberiku pilihan yang rumit," jawabnya kemudian.

"Apa pilihannya?"

"Hasna atau beasiswaku."

Amar mengalihkan pandangannya pada Yusuf yang terlihat sangat putus asa.

"Bukankah kamu akan memilih Hasna?" tanya Amar. Ia masih ingat betul perbincangannya dengan Yusuf saat malam pertamanya.

Yusuf menundukkan pandangannya. Menatap tatanan kerikil yang tertata rapi di sisi teras. Ada ragu di hatinya sekarang.

"Suf?" Amar menyentuh pundak Yusuf.

"Aku tidak tahu. Aku benar-benar sangat ingin ke Maroko. Bahkan keinginanku ini, sudah aku tulis dalam agendaku jauh sebelum aku memikirkan perjodohan ini. Lima tahun aku menunggu kesempatan ini, Mar."

Meski Amar tak pernah mendapat pilihan serumit itu, ia mengerti. Bagaimana perasaan Yusuf saat ini. Karena ia pun tahu rasanya, dihadapkan pada pilihan antara keinginan dan kebaikan bersama.

Keinginannya untuk tetap bekerja dikantor bersama teman-temannya yang lain, harus ia buang dan memilih untuk bekerja sendiri di rumah. Hanya sesekali saja ia masuk jika dibutuhkan untuk keperluan rapat atau presentasi project.

Hasna menatap punggung Yusuf yang tampak putus asa dari balik bingkai pintu. Semua pembicaraan mereka, ia dengar dengan jelas. Ada tusukan kecil di hatinya, melihat Yusuf yang terlihat patah harapan karena pilihan eyangnya.

Apa yang harus ia lakukan, agar bisa membantu Yusuf? Apa dia perlu membujuk eyangnya agar bersedia mengijinkan Yusuf pergi ke Maroko tanpa dirinya? Atau haruskah ia meminta Yusuf untuk menceraikannya lalu melanjutkan studinya dengan tenang di Maroko?

***

Rahasia [Terbit]Where stories live. Discover now