43 - Kacau

2.6K 380 46
                                    

Setelah berpamitan pada Kyai Zainal dan keluarga, Yusuf segera melajukan mobilnya untuk pulang. Ia hanya  sempat melirik notif di layar ponselnya tadi. Tiga panggilan tak terjawab dari Hasna.

Bukannya mengecek hapenya atau langsung menelepon Hasna balik, ia lebih memilih untuk segera pulang dan menemui Hasna. Tak lupa ia mampir di sebuah kedai roti. Memilih beberapa macam roti aneka rasa sebagai oleh-oleh.

***

Amar masuk ke sebuah resto bersama dengan beberapa temannya. Ia nampak sesekali tersenyum dan menanggapi obrolan dari teman-temannya. Sementara dua di antaranya tengah sibuk memesan menu.

Tawa Amar terhenti saat melihat seorang gadis yang tengah asyik bersenda gurau dengan seorang pria. Matanya sedikit menyipit, memastikan bahwa gadis yang tersenyum di depannya itu adalah gadis yang dia kenal. Hasna, batinnya.

Pupil matanya sigap memperhatikan tangan pria yang duduk di depan Hasna. Mengikuti gerakan mengambil kamera dari dalam tas, hingga mencoba membidik wajah Hasna yang sibuk menikmati eskrim.

"Ish ...." Ia sedikit berdesis kesal lalu cepat menghampiri area private. Langsung merampas kamera dari tangan pria berkemeja kotak-kotak itu.

"Kak Amar?" Hasna bangkit dari duduknya setelah sebelumnya terbelalak kaget.

Amar langsung mengecek isi dari kamera yang kini telah berpindah ke tangannya. Ia sama sekali tak memedulikan beberapa pasang mata yang tengah memperhatikan perlakuannya. Bahkan teman-temannya sendiri pun ikut melongo menatapnya.

"Hapus semua foto Hasna yang sudah kamu ambil!"

Amar menyodorkan kembali kamera itu. Matanya menatap tajam Aditya. Amar menunggu hingga Aditya selesai menghapus semua foto Hasna.  Sedangkan Hasna malah merasa tak nyaman melihat Amar memperlakukan Aditya seperti itu di depan umum.

"Kak Amar ...."

"Ayo pulang!"

Amar mengambil tas Hasna yang berada di atas meja, lalu menggandeng tangan Hasna keluar dari resto. Ia tak peduli lagi dengan tatapan semua orang yang nyaris mengikuti langkah mereka berdua.

Amar memasangkan helm pada kepala Hasna dengan hati-hati. Wajahnya nampak tengah menahan amarah. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam.

Meski harus berboncengan, Hasna yang sudah pernah mengenyam pendidikan di pesantren sudah tahu batas aman antara laki-laki dan perempuan saat berboncengan. Bucket bag yang dia bawa, ia letakkan di tengah-tengah mereka sebagai pembatas.

Amar menghentikan motornya di sisi jalan. Tepat di bawah pohon asam yang tertanam berjejer sepanjang jalan. Hasna bergegas turun lebih dulu meski belum diperintah oleh Amar.

Tarikan nafas yang cukup panjang, Amar lakukan sebelum menghembuskannya perlahan. Guna untuk meredam emosinya yang sudah mencapai ubun-ubun. Sementara helmnya sudah terlepas dari kepala.

Hasna sendiri mengambil tempat di samping Amar sambil membuka helmnya. Dia bersiap memasang wajah penuh tanda tanya jika Amar sampai menoleh padanya.

Benar saja, raut wajah Amar langsung berubah saat melihat Hasna menatapnya dengan alis bertaut, mata menyipit, dan juga bentuk bibir sedikit maju. Amarahnya langsung berganti dengan tarikan di dua sudut bibir merah itu. Teredam dengan kepolosan wajah Hasna yang masih terlihat bingung.

"Kok malah senyum? Padahal tadi habis marah-marah gak jelas!" protes Hasna.

"Ish, mana bisa Kak Amar marah sama kamu. Lagian kamu ngapain jalan sama dia? Kalau cuma mau makan es krim, kan bisa ajak Kak Amar?"

Rahasia [Terbit]Where stories live. Discover now