30 - Pepatah

2.5K 377 31
                                    

Kali ini sedikit dulu ya..
Yang penting Up deh.. hehe

Kalau yg ini jadi Aditya, cocok gak?
😜😜😜

Hasna membuka buku pemberian Yusuf berulang kali

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.


Hasna membuka buku pemberian Yusuf berulang kali. Bahkan dia sudah menyusuri lembar demi lembar buku itu untuk mencari surat Yusuf. Ismi yang ada di sampingnya terlihat bingung. Begitu juga dengan Debi yang ikut melongo tak mengerti dengan tingkah Hasna.

"Kenapa, Has? Kamu cari apa?" tanya Ismi yang tak bisa menahan rasa penasarannya lagi.

"Surat."

Mata Ismi menyipit. Bibirnya mengulang kembali ucapan Hasna tanpa suara. Beberapa detik kemudian, ia menoleh pada Debi yang langsung menjawab dengan gelengan dan bahu sedikit terangkat.
Ismi menahan tangan Hasna. Ia menatap Hasna dengan serius, lalu mengajaknya duduk bersama.

"Surat apa?" tanyanya tegas.

Hasna menyayangkan ucapannya. Kalau dia bilang surat dari Yusuf, pasti akan jadi gosip nanti. Apalagi, ada Debi di sana.

"Suratku."

"Dari?" Ismi masih terus menyelidik.

"Suratku buat Kak Aditya."

Debi menelan ludah, ia sedikit berbalik menghadap Ismi dan Hasna.

"Maksud kamu, kamu mau balas surat dari Kak Adit yang kemarin?" tanya Debi penasaran.

"Iya."

"Buat apa dibalas? Kamu bisa langsung ambil ekstra itu, Has. Gak usah dibalas!" Ismi tampak tak setuju.

"Kenapa?" tanya Hasna bingung.

"Surat itu rentan jadi bukti fisik kalau kalian itu ada hubungan. Bisa-bisa, kamu kena keamanan nanti. Oya, surat yang dari Kak Adit kemarin, sebaiknya kamu buang atau robek juga. Kak Adit juga pasti ngerti dengan kamu langsung masuk ke kegiatan ekstranya. Gak perlu dijelasin lewat surat."

Hasna yang sempat berfikir negatif tentang Ismi tadi, mulai mengangguk-angguk mengerti. Benar, karena dia pun tahu aturan itu sejak di pondok sebelumnya. Debi ikut mengangguk-anggukkan kepala, mendukung penjelasan dari Ismi.

Lalu bagaimana lagi aku bisa tahu surat dari Kak Yusuf? Terus bagaimana jika surat itu benar-benar jatuh dan ketahuan keamanan pesantren? Bisa-bisa tak hanya aku yang akan terkena hukuman, tapi Kak Yusuf juga. Lalu beasiswanya bagaimana? Batin hasna.

***

Yusuf berdiri dari duduknya saat Ning Hida masuk ke ruangan dosen. Tak hanya Yusuf, beberapa dosen lainnya juga begitu. Mereka berdiri di tempat masing-masing setelah menjawab salam sambil menundukkan kepala. Tak berani menatap Ning Hida terlalu lama.
Tatapan Ning Hida langsung tertunduk saat tak sengaja melihat Yusuf. Ia bergegas menuju ruangannya. Melewati ruangan Yusuf yang terletak di paling depan ruangan dosen.

Ruang kelas berukuran 12 x 8 meter itu memang dibagi menjadi beberapa petak lagi di dalamnya. Ruang asdos, ruang rektor, ruang wakil rektor, ruang dosen, ruang dekan. Serta beberapa sofa di tengah-tengah ruangan yang sering digunakan untuk berdiskusi ringan sesama dosen. Sementara ruangan staff dan administrator lainnya berada di ruangan yang berbeda.

Ning Hida tidak mempunyai jabatan apapun di kampus. Hanya saja, ia bertugas untuk mengontrol keaktifan semua pegawai yang sudah bersedia mengabdi di pesantrennya. Jadi biasanya setiap hari, dia akan menyempatkan diri untuk datang dan mengontrol langsung keadaan di kampus.

Seperti biasa, ia hadir di sana tak sendiri. Ada dua khadamah di sampingnya yang siap membantu apa saja keperluannya. Termasuk seperti hari ini, saat dia ingin bertanya sesuatu pada Yusuf. Dia bisa meminta tolong pada salah satu khadamahnya untuk menyampaikan pesannya.

Khadamah berhijab putih itu bergegas ke ruangan Yusuf. Setelah mengucap salam dan mengetuk pintu, khadamah itu masuk lalu memberikan selembar kertas dari Ning Hida. Yusuf mengangguk seraya mengucap terima kasih.

{ Pendaftaran beasiswanya sudah lolos bagian administrasi, tinggal menyiapkan diri untuk tes tulis lalu interview. Kapan Ustad Yusuf bisa ke rumah? Buku-buku panduan ujiannya sudah saya siapkan.}

"Alhamdulillah ...."

Senyum Yusuf mengembang. Jantungnya berdebar keras. Tinggal selangkah lagi menuju impiannya. Mengenyam pendidikan di Maroko.

***

"Kenapa tidak langsung mengatakannya sekarang, Bah?" tanya Nyai Masruroh sambil membantu Kya Zainal merapikan beberapa kitab di lemarinya.

"Jangan buru-buru, Mi. Yusuf kan juga masih harus mengambil beasiswanya di Maroko. Persyaratannya harus belum menikah. Kalau mereka terlalu lama mempunyai ikatan selain menikah, khawatir jadi fitnah."

"Ya ndak usah diikat, cuma dikasih tahu aja. Jadi di Maroko, Yusufnya gak sibuk ngelirik sana sini."

"Ha ha, Umi ini. Masa sama calon mantune masih ndak percaya ngunu?"

"Bukan ndak percaya. Buat antisipasi aja."

"Sama saja. Lagi pula, seseorang yang memang ditakdir untuk kita oleh Allah, sejauh apapun dia pergi. Meski sampai hilang kontak selama apapun. Kalau dia sudah ditakdir untuk kita, maka dia pasti akan kembali pada kita."

Nyai Masruroh terdiam. Ia menatap punggung Kyai Zainal yang masih sibuk menata kitab.

"Kalau tidak ditakdir untuk kita, meskipun sudah kita rantai di dekat kita, tetap saja akan terlepas. Iya toh?"

Kyai Zainal menoleh pada Nyai Masruroh. Mengurai senyum menenangkan di bibirnya.

"Masih ingat ucapan Sayyidina Umar bin Khattab?" tanya Kyai Zainal kemudian seraya mendekat ke arah istrinya.

"Apa yang melewatkanku, tidak akan pernah menjadi takdirku. Dan apa yang menjadi takdirku takkan pernah melewatkanku," guman Nyai Masruroh lirih.

"Nah ..., he he ...."

***

Rahasia [Terbit]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu