23 - Ayo Mondok

5.6K 605 85
                                    

Assalamualaikum ...
Herannya kalau lagi di kampung, ide buat Ucup bener-bener ngalir gitu aja. Nah kira2, klo ini dipinang penerbit juga, bakal banyak yang ikutan PO gak?

He he he
❤________________________❤
-------------------------

Slogan-slogan ayo mondok, mondok itu keren dan sloga-slogan lainnya terpasang di spanduk-spanduk sepanjang jalan menuju Pondok Pesantren Nurul Ulum. Ucapan selamat datang bagi calon santri baru juga tercetak di banner besar lengkap dengan gambar denah ponpes. Beberapa foto kyai juga ikut terlukis di sana.

Hasna sudah siap melanjutkan hidupnya di pesantren barunya kali ini. Tumpukan barang bawaan juga sudah memenuhi bagasi dan jok belakang mobilnya. Tak lupa, Yusuf ikut mendampingi Hasna ke sana. Alasannya kali ini, bukan karena ia suami Hasna. Melainkan karena ia hanya ingin membantu keluarga Hasna untuk lebih gampang mendaftarkan Hasna di pesantren.

Mereka berhenti di halaman kantor pesantren, yang letaknya juga berhadapan dengan dhalem kyai. Sebelum mencapai kantor pesantren, sesekali mereka melihat orang-orang yang turun dari roda duanya, lalu menuntun sepeda atau motornya ke depan kantor pesantren. Ibu Hasna menunjuk pada Hasna kejadian itu sambil berkata, "itu yang namanya menghormati guru. Bahkan meski hanya rumahnya, mereka menghormatinya dengan tidak menaiki kendaraan di depannya."

Hasna cukup terkesan dengan kejadian itu. Pasalnya jika di pesantrennya yang terdahulu, ia sama sekali tak pernah menemukan adegan seperti itu. Karena memang letak kantor pesantren dan dhalem yang berjauhan. Jadi para pengurus tak perlu melewati dhalem untuk mencapai ke kantor pesantren untuk mendaftar.

Semenjak turun dari mobil dan masuk ke dalam pesantren, hampir setiap orang memberi salam pada Yusuf, baik perempuan maupun laki-laki. Kesimpulan Hasna, Yusuf memang bukan orang sembarangan di pesantren. Beberapa kali pula Hasna dan keluarganya harus berhenti sejenak, menunggu Yusuf yang sibuk menerima uluran tangan mereka sambil berbincang basa basi.

Mereka menaiki tangga ke dua kantor pesantren. Jika lantai pertama adalah tempat untuk ruang kantor para pengurus inti pesantren, bersebelahan dengan koperasi induk putera. Maka di lantai kedua, adalah ruangan untuk para koordinator kegiatan-kegiatan pesantren. Bersebelahan juga dengan sebuah aula mini yang disetting sebagai ruang rapat pimpinan pesantren.

Lantai ke tiga setelah tangga ke dua adalah tempat yang harus didatangi mereka. Ruangan luas tanpa sekat, dengan sirkulasi udara yang cukup lebar dari jendela-jendela yang selalu terbuka di bagian sisi depan gedung. Jendela itu juga memungkinkan pandangan ke seluruh pojok pesantren, hingga kegiatan yang ada di halaman dhalem pun bisa terlihat dari sana.

Setelah mengisi dan melengkapi beberapa formulir pendaftaran, Hasna di arahkan untuk masuk ke dalam ruangan pembacaan ikrar santri khusus akhwat.
Baru setelah itu mereka bersama-sama sowan ke dhalem pengasuh. Yusuf menunjuk jalan kecil di samping dhalem yang biasa dilewati oleh santri putri. Jalur yang juga menjadi jalan bagi mereka yang ingin sowan pada bu nyai.

Ayah Hasna dan Yusuf menunggu di halaman dhalem dengan berdiri. Karena memang tidak disediakan tempat duduk di depan dhalem. Jadi, para tamu yang datang akan langsung berbaris di halaman dhalem hingga kyai keluar menemui mereka.

Hari itu kebetulan memanglah hari untuk pendaftaran santri baru. Yusuf dan ayah Hasna berdiri, bukan lagi untuk menunggu kyai menemui mereka, melainkan mengantri untuk bisa masuk ke dhalem bergantian dengan tamu lain yang ada di dalam.

Hasna dan bundanya beruntung bertemu dengan khadamah yang menuntun jalan untuk bisa sowan pada bu nyai. Ruang belakang dhalem, yang berdekatan dengan ruang makan untuk tamu putri. Ruangan yang juga sering ditempati bu nyai untuk menerima para tamunya. Terlihat jejeran sandal dari berbagai macam model dan merk memenuhi sepetak tanah di depannya.

Seorang wanita cantik tampak sibuk mempersilahkan para tamu yang di dalam ruangan untuk berpindah ke ruang makan. Wanita yang tak asing di mata Hasna. Seorang wanita paruh baya juga terlihat bangkit dari duduknya dan ikut mempersilahkan para tamu yang sudah bersiap untuk keluar dari ruangan itu.

Khadamah yang mengantar Hasna dan bundanya, dengan sopan mempersilahkan mereka masuk dengan jempol yang mengarah ke arah ruangan. Nur Sari dan Hasna melepas sandalnya, lalu berjalan perlahan sambil mengucap salam di bingkai pintu. Wanita paruh baya berkerudung instan di samping pintu menoleh seraya menjawab salam. Begitu juga dengan wanita cantik di depan pintu lainnya.

Wanita itu mempunyai tatapan yang sama pada Hasna. Seolah sedang mengingat-ngingat, di mana mereka pernah bertemu sebelumnya. Ia beranjak dari tempatnya mendekat ke arah Hasna.

Nur Sari mencium tangan wanita paruh baya yang ternyata adalah istri dari Kyai Hamid, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ulum. Nyai Syarifah. Hasna mengikuti apa yang dilakukan oleh bundanya.

"Ini ... Adiknya Yusuf, bukan?" tanya perempuan cantik di sebelah Nyai Syarifah.

Nur Sari menoleh ke arah Hasna, menautkan alisnya. Hasna tampak ragu akan menebak. Ia hanya tersenyum seraya mengangguk.

"Yusuf siapa, Nduk?" tanya Nyai Syarifah.

"Yusuf, Umi. Yusuf Muhammad, ustadz kepercayaan Abah."

"Oh, Yusuf." Nyai Syarifah tampak mengangguk-anggukkan kepalanya, mengerti.

Sekarang Hasna ingat, siapa wanita yang tampak tak asing di matanya itu. Ning Hida. Wanita yang kemarin menunggu Yusuf untuk sowan ke dhalem kyai.

'Waah, kebetulan ya kalau sekarang. Bisa sekalian ngobrol tuh Yusuf. Apa? Ustadz kesayangan abah? Ck ck ck, kalau tau Yusuf sudah menikah, apa iya masih bisa jadi kesayangan?' rutuk Hasna dalam hati.

"Ayo, duduk. Silahkan!"

Hasna dan bundanya mengikuti arah tangan Nyai Syarifah. Sementara Ning Hida keluar entah ke mana. Membuat fikiran-fikiran negatif muncul di kepala Hasna.

****

Hasna dan bundanya sudah menunggu di halaman kantor pesantren. Sementara Yusuf dan ayahnya tak kunjung keluar dari dhalem. Kakinya beberapa kali menginjak daun waru kering yang berserakan di tanah.

Beberapa menit kemudian, terlihat Yusuf yang berjalan sambil lalu mengulum senyum menuju Hasna. Ayah Hasna pun ikut melempar senyum ke arah mereka.

"Sudah makan?" tanya Ayah Hasna.

"Sudah, di mana-mana yang namanya dhalem itu ya pasti tamunya di kasih makan. Gak ada kyai yang membiarkan tamunya pulang dalam keadaan perut kosong." Nur Sari menepuk lengan suaminya.

Yusuf tak mengatakan sepatah kata pun, meski ia melihat raut wajah tak mengenakkan dari Hasna. Ia malah langsung melewatinya dan menurunkan barang bawaan Hasna. Ia menunjuk bantal yang nangkring di atas koper Hasna.

"Emang mondok buat tidur?" godanya.

"Bodo amat!" ketus Hasna.

"Dih, kenapa gak sekalian bawa kasur ke sini?"

"Emang bisa? Kalau bisa, sekalian aja minggu depan di bawain."

"Aduh, kalian ini, sudah jangan berantem di sini. Heran deh Bunda. Padahal dulu pas masih kecil, kalian berdua manis banget, saling melengkapi. Sekarang kok malah berantem terus," tegur Nur Sari.

"Iya, tau ndak kenapa eyang menjodohkan kalian berdua? Karena dari kecil, Yusuf udah kelihatan sayang banget sama Hasna. Begitu juga dengan Hasna yang kelihatan manja banget sama kamu, Suf!" Ayah Hasna menambahi.

Keduanya bertatapan tak percaya. Sedikit ngeri mendengar cerita orang tua di depannya. Lalu kembali membuang muka ke arah lain, dengan merutuk tak terima.

****

Sudah..
Ini sya post sudah..

😆😆😆😆😆

Rahasia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang