41 - Surat Aditya

3K 422 53
                                    

Bismillah ...
------------------------------------

Hasna masih sesenggukan di samping Yusuf. Beberapa lembar tisu juga sudah menumpuk di bawah kakinya. Sementara Yusuf, masih terus saja menatap Hasna dengan raut wajah bersalah.

"Kak Yusuf, keluar dulu. Hasna mandi, dhuha-an. Habis itu, istirahat! Nanti kalau udah tenang, baru kita bicara lagi."

Yusuf bangkit dari duduknya. Telapak tangannya dengan lincah mengelus puncak kepala Hasna, seolah sudah mahir memberi perlakuan manis pada seorang gadis. Entah keberanian itu datang dari mana sehingga ia bersikap manis seperti itu. Padahal sebelumnya, untuk menggandeng Hasna saja, rasanya sangat malu.

Debar di dada Hasna masih belum sepenuhnya reda. Bahkan, bulu romanya kembali berdiri saat perlakuan manis Yusuf mendarat di ubun-ubunnnya. Pelukan hangat Yusuf serta belaian lembut di kepalanya terasa sangat menenangkan.

Ia tak ingin Yusuf pergi dari kamarnya. Jika perlu, ia ingin menghabiskan waktu hari itu bersamanya saja. Tak apa, meski mereka diam saja, tak mengobrol. Cukup dengan bersama saja, sudah membuat Hasna bahagia.

Namun beberapa detik kemudian, bayangan Ning Hida kembali muncul. Rasa takut untuk kehilangan Yusuf kembali menyeruak. Meski Yusuf telah berkata bahwa diantara mereka tidak ada apa-apa.

Hasna sedikit menarik kemeja Yusuf saat Yusuf hendak melangkah pergi. Ia benar-benar tak mau Yusuf pergi. Yusuf menatap tangan Hasna yang tengah mencengkram sudut kemejanya.

Bibir Yusuf terlihat sedikit mengerucut. Mengeluarkan sedikit helaan nafas dari sana. Jika boleh jujur, ia ingin segera keluar dari kamar itu.

Bukan karena ia tak ingin bersama Hasna. Melainkan karena takut, jika ia malah tak bisa mengontrol jiwa laki-lakinya. Walau bagaimanapun, dia adalah laki-laki baligh yang juga sudah di anugrahi syahwat oleh Allah.
"Kita belum selesai ngobrolnya," ujar Hasna di sela sesenggukannya.

Yusuf menelan ludah. 

'Kamu tahu, Hasna? Semakin aku berlama-lama sama kamu, semakin imanku teruji agar bisa menyentuhmu. Benar jika wanita dan pria seharusnya tak boleh berkhalwat, karena dikhawatirkan akan seperti ini.' Yusuf membatin sambil menggigit bibir.

"Nanti ..., nanti kita bahas lagi kalau Hasna sudah tenang." Yusuf berusaha mencari alasan.

"Hasna sudah tenang, kok."

"Hasna! Kamu ..., Yusuf?"

Nur Sari masuk tanpa mengetuk pintu kamar Hasna. Memergoki Yusuf dan Hasna yang tengah berdekatan. Tatapannya beralih pada tangan Hasna yang masih mencengkram erat kemeja Yusuf. Penuh dengan tanya.

***

Eyang Wiji sudah lebih baik. Ia yang kemarin masih harus dipapah untuk ke kamar mandi, sekarang sudah tidak lagi. Hasna sengaja mengambil alih tugas Ibu Yusuf untuk mengantar makan siang ke kamar eyangnya. Karena ada beberapa hal yang ingin ia bicarakan mengenai Yusuf.

"Kapan yang mau kembali ke pesantren?" tanya Eyang Wiji saat Hasna berusaha mengupaskan sebuah pisang untuknnya.

"Rencananya besok, Eyang. Kuliah Hasna sudah mulai masuk."

Eyang Wiji menerima pisang yang disodorkan Hasna sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Sama Yusuf?" tanya Eyang Wiji lagi.

"Mungkin Hasna sama ayah aja, nanti. Gak enak kalau baliknya sama Kak Yusuf lagi."
"Kenapa?"

"Pengurus keamanan pesantren bisa curiga, nanti."

"Curiga bagaimana? Kalian 'kan memang sudah suami istri."

"Iya, tapi kata Kak Yusuf, hubungan suami istri di antara Hasna sama dia itu gak boleh sampai ada yang tahu."

Rahasia [Terbit]Where stories live. Discover now