39 - Ucapan Amar

3K 407 40
                                    

Aditya tak bisa langsung pulang, karena keluarga Hasna memaksa agar dia ikut serta sarapan di sana. Meski sedikit canggung, Aditya tak kuasa untuk menolak. Saat sarapan, perhatian seluruh keluarga memang masih terfokus pada dirinya. Mulai dari berbagai macam pertanyaan remeh temeh, hingga perbincangan seputar pekerjaan Aditya.

Ada dua orang pria yang pagi itu hanya diam dan menyimak perbincangan mereka. Amar dan Yusuf. Mereka tampak tidak terlalu tertarik dengan kehidupan pemuda yang menjadi fokus utama di ruang makan pagi itu. Apalagi Yusuf, yang melihat Hasna tampak berbeda dengan Hasna beberapa jam yang lalu saat di sawah.

Wajah sembabnya sudah tak terlihat. Bahkan, pancaran kebahagiaan di wajahnya terlihat terlalu jelas di mata Yusuf. Selama sarapan berlangsung, tak sekalipun Hasna melempar pandang ke arahnya.

Hingga saat Aditya berpamitan untuk pulang, Hasna ikut mengantar Aditya hingga ke depan. Begitu juga dengan Yusuf yang ikut mengantar Aditya dan masih mencoba menahan diri dari rasa aneh yang tak ia sadari, bahwa itu adalah rasa cemburu.
Meski Amar berulang kali menggodanya, ia masih bersikukuh bahwa perasaannya tidak sampai sejauh itu pada Hasna.

"Apa, ini?" tanya Hasna saat Aditya mengulurkan paper bag ke arahnya.

"Buku-buku tentang fotografi, kamu jadi ambil ekstra fotografi, 'kan?"
Senyum Hasna kembali mengembang.

"Wah, makasih." Hasna langsung menerimanya tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada Yusuf. Padahal Yusuf berdiri di sampingnya.

"Aku pamit, ya! Nanti aku kabari kalau sudah sampai."

Hasna menganggukkan kepala sambil berucap iya pada Aditya. Setelah bersalaman dengan Yusuf, Aditya segera menuntun sepedanya hingga ke gerbang depan. Tak lupa mengangguk sopan pada Yusuf saat motornya sudah menyala dan siap untuk pergi.

"Seneng, ya?" tanya Yusuf menahan langkah Hasna yang hendak masuk.
Hasna terdiam, lalu segera berbalik kembali ke arah Yusuf.

"Menurut, Kak Yusuf?" tanyanya.

"Sepertinya aku tau, alasan kamu menyuruh aku untuk mengejar impian ke Kairo."

"Maksud, Kak Yusuf?"

"Karena sudah ada dia?"

Hasna menghela nafas kesal. Matanya seketika memanas, ada emosi yang ia tahan di sana. Bisa-bisanya Yusuf menyimpulkan seperti itu.
Perlahan Yusuf mendekat. Lalu berbisik di telinga Hasna.

"Aku sudah bisa memutuskan sekarang!" tegas Yusuf sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Hasna yang masih mematung di tempatnya.

Hasna menggenggam erat tali paper bag di tangannya. Hatinya terasa tercubit dengan ucapan Yusuf. Prasangka tentang keputusan Yusuf yang pasti akan menerima tawaran itu juga sudah mulai memenuhi hatinya.

Sesak rasanya, meski angin menyapu lembut wajahnya. Setitik embun hangat itu akhirnya terjatuh bersamaan dengan helaan nafas yang coba ia keluarkan melalui mulut.
Tubuhnya bergetar hebat, lututnya terasa lemas menopang badan. Kemudian, sebelum badan Hasna benar-benar ambruk, Amar dengan sigap menangkap tubuh mungil yang terhuyung ke belakang itu.

"Hasna!" pekik Amar tanpa memperdulikan tas ranselnya yang terbentur bingkai pintu.

Hasna menoleh pada Amar, wajah mereka berdekatan. Amar menautkan alisnya, cemas dengan kondisi Hasna yang menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Tangan Amar masih mencengkram erat dua lengan Hasna, memberinya kekuatan agar tetap berdiri.

****

Amar sengaja membawa Hasna keluar dari rumah. Mereka tengah berada di sebuah taman kota yang berjarak kisaran dua puluh menit dari rumah eyangnya. Dengan sabar, Amar menunggu Hasna menyelesaikan tangisnya di dalam mobil.

Sudah hampir sepuluh menit, Hasna belum juga keluar dari mobil. Sementara Amar, duduk di bangku taman sambil memeriksa laptop yang kini sudah tidak bisa menyala itu.

Beberapa kali ia mencoba menghidupkan laptopnya, mulai dari menekan tombol power, mengetuk-ngetuk perlahan, hingga menggoncang-goncangnya. Hasilnya nihil, laptop itu tak juga menunjukkan tanda-tanda bisa on.

Amar menggigit bibirnya sambil menyayangkan apa yang ingat. Mungkin karena tadi tasnya membentur bingkai pintu saat mencoba menolong Hasna. Kepalanya melongo ke arah mobil kembali, memeriksa kemungkinan Hasna sudah selesai dengan berlembar-lembar tisu di dalam mobil, atau bahkan mungkin sudah menghabiskan satu pack tisu yang baru saja ia beli kemarin.

Benar saja, Hasna keluar dari mobil dengan hidung memerah. Di tangannya terdapat kantong kresek berisi lembaran tisu yang sudah tak berbentuk. Satu lembar tisu ia tutupkan di hidung yang masih mengeluarkan sisa cairan sambil lalu berjalan mendekat pada Amar. Amar tersenyum lalu memindah tas ransel yang semula di sampingnya ke bawah setelah meletakkan laptop ke dalamnya.

"Dih, cengeng, ih!" goda Amar.

"Tau, ah!" Hasna menjawab dengan suara sedikit sengau. Mungkin karena hidungnya yang juga masih terasa tersumbat.

"Udah habis tisu Kak Amar, ya? Kok udah keluar dari mobil?"

Amar masih lanjut menggoda. Hasna malah mengangguk tanpa menoleh ke arahnya. Sontak mengundang ekspresi kaget di wajah Amar.
Walaupun setelah itu, malah berganti dengan tawa kecil dari wajah berbingkai kaca mata itu.

"Hebat, ih! Tisu baru beli kemarin, loh."

"Kak Amar perhitungan banget, sih. Cuma tisu juga."

"Haha, bukan karena tisunya, Adek cantik."

"Terus?"

"Karena tangisan, Hasna. Kenapa coba, sampe ngabisin tisu se-pack gitu?"

Hasna terdiam. Ia masih belum sanggup untuk bercerita. Karena jika ia mulai bercerita tentang apa yang terjadi tadi, ia pasti akan kembali menangis. Sementara dirinya sudah mulai lelah dengan tangisnya.

"Matanya sudah kayak kura-kura, tuh!"

Hasna menyentuh matanya. Sementara Amar mengeluarkan ponselnya, lalu menekan tombol kamera di sana. Menunjukkan wajah Hasna yang tampak sangat menyedihkan.

"Lucu, 'kan?" Hasna memasang senyum jail sambil mengarahkan ponsel ke depan Hasna. Lalu dengan cepat menekan tombol capture saat Hasna mengangkat wajah menatap ponselnya.

"Dih, Kak Amar! Hapus, gak?"

"Gak, ah!"

Amar menyimpan ponselnya kembali di saku celananya.

"Ish ...."

Hasna berdesis kesal karena tidak mungkin baginya memaksa Amar hingga harus mengambil ponsel di saku celana itu. Walau bagaimanapun, Hasna tahu batasannya. Meski hubungan mereka berdua jauh lebih dekat dibanding hubungan Hasna dan Yusuf, Hasna tak pernah segampang itu menyentuh tubuh kakak sepupunya itu.

"Kak Amar beli es krim dulu, ya!" tawar Amar seraya bangkit dari duduknya.

"Gak mau, dihapus dulu foto Hasna di situ."

"Gak, ah. Buat kenang-kenangan aja. Nanti, Kak Amar, jadikan lock screen."

"Dih, apaan? Gak baik tahu, nyimpen foto istri orang."

"Haha, Kak Amar lebih milih nyimpen foto adik sepupu dibanding foto istri orang," elak Amar.

"Sama aja!"

"Beda, lah."

"Apa bedanya, coba?"

"Kak Amar, gak pernah nganggep, Hasna, istri dari Yusuf!"

Raut wajah Amar begitu serius menatap Hasna. Tak ada senyum jail atau tatap mata menggoda Hasna di sana. Ia berdiri di tempatnya sambil menatap Hasna tanpa bergerak.

Satu persatu detik jam tangan di lengan Hasna terdengar begitu keras. Seolah ikut menghitung detak jantung pemiliknya yang berdetak sesuai irama. Menatap sedikit bingung pada wajah tampan kedua di keluarga besarnya itu.

.....

🤪🤪

Rahasia [Terbit]Where stories live. Discover now