09 - POV Yusuf 2

4.7K 495 30
                                    

Assalamu'alaikum..

Mohon maaf,

Kalau Tentang Rasa ini agak slowrest, karena memang postingan ini hanya sekedar mengisi kekosongan pas CindPes ngadat ide😁😁

Selamat membaca..
Jangan lupa krisannya ya di kolom komentar, dan klik bintang yang ada di pojok kiri bawah atau kanan atas..



Aku masih menatapnya sambil berpura-pura sibuk dengan bacaanku. Sebuah pesan darinya masuk ke dalam grup keluarga. Gambar kegiatan kami di sebelah sini. Karena dia lebih memilih untuk bersama dengan keluarga kami yang lain.
Sebenarnya, aku pun lebih suka berkumpul bersama dengan para tetua, mendengar dongeng tentang kehidupan mereka di masa lampau.
Serta cerita tentang perjuangan mereka menjalani hidup hingga saat ini. Hanya saja, setelah kejadian tadi, aku jadi enggan untuk berdekatan dengannya.

Kekhawatiranku sebenarnya tidak beralasan. Kalaupun itu bisa dijadikan alasan tetap saja tidak masuk akal. Aku takut, Hasna akan kembali mengulang kecerobohannya di depanku. Aneh bukan?

*****

Aku baru saja membuka pintu saat ku dengar bunyi derap langkah dari luar. Kulihat ia mengulas senyum yang terasa aneh buatku. Tanpa membalas senyumnya, ku langkahkan kakiku ke luar. Mendekat ke arah Amar yang terlihat tengah bersedekap menahan dingin, padahal sudah memakai jaket.

"Ngapain di sini?" tanyaku mengagetkannya.

"Nungguin Hasna."

"Mau kemana?"

"Jalan-jalan sekitaran sini, cari makan."

"Marung?"

"Tergantung."

"Naik apa?"

"Tuh!" dia menunjuk motor maticnya dengan dagunya.

"Sama aku aja! Ayo!"

"Tapi Hasna nanti ngambek loh!"

"Nanti aku yang urus! Ayo!"
kurangkul ia dengan paksa sambil berjalan menuju motornya. Memaksanya membawaku, menggantikan Hasna. Entahlah, mungkin karena aku merasa kalau tidak pantas Hasna yang seorang santri jalan berdua, naik motor dengan laki-laki yang bukan mahromnya. Meski laki-laki itu Amar, kakak sepupunya.

Benar saja, kami pulang dengan sambutan wajah cemberutnya. Bahkan dia nyaris menolak untuk makan. Aku yang memang tidak suka gadis yang terlalu manja, sengaja membiarkannya sejenak untuk mengisi perutku sendiri. Aku bahkan, menyuruh Amar untuk tidak memaksanya. Dan ku terima respon cukup mengerikan. Bantingan pintu.
Nasi goreng di depanku sudah habis, milik Amar. Mungkin dia memang kelaparan. Dan nasi di piringku, ternyata hampir tak tersentuh. Rasa lapar yang tadi juga sempat memuncak, mendadak menghilang dengan  bantingan pintu yang cukup keras.

Amar sudah masuk ke kamarnya, saat aku masih berkutat dengan sendok dan piring berisi nasi goreng milikku. Nasi yang kusuapkan terasa sulit untuk tertelan setiap kali melirik sebungkus nasi goreng di dalam plastik lengkap kerupuknya. Ku hela nafas perlahan, lalu beranjak menuju dapur. Menyiapkan piring, sendok, beserta segelas air yang kutata dalam nampan. Setelah meletakkan bungkusan nasi goreng di atas piring, ku coba untuk mengetuk pintu kamar Hasna.

Ku ketuk pintu perlahan. Saat ia bertanya siapa, sengaja tak kujawab. Karena mungkin, ia akan lebih mengamuk lagi jika tau kalau aku yang ada di depan pintu. Tak disangka, ia membuka pintu lebih cepat dari perkiraanku.

Kudapati wajahnya yang tampak terkejut melihatku. Ku lirik bantal guling yang perlahan-lahan ia lepaskan. Merasa tak enak berdua saja, lekas ku serahkan nampan berisi nasi itu dengan kata-kata yang mungkin membuatnya tambah jengkel. Masa bodoh. Yang penting, mala mini dia tidak tidur dengan perut yang lapar. Jadi, aku tak perlu merasa bersalah.

Rahasia [Terbit]Where stories live. Discover now