Dilema

1.1K 105 2
                                    

Siang itu diibukota matahari bersinar dengan terangnya. Suasana diruang rapat salah satu perusahaan induk perhotelan terbesar di Indonesia tampak diwarnai dengan instruksi dari beberapa pemegang saham.

Namun berkat kepiawaian pemimpin nya, rapat itu mendapat hasil yang maximal hingga para pemegang saham tampak puas.

"Sekian rapat hari ini,jika ada yang kurang jelas bisa langsung dikonfirmasikan ke sekretaris saya. Jadi untuk hari ini rapat saya tutup."

Firman tersenyum sembari menyalami beberapa pemegang saham yang hendak pergi dari ruang rapat. Satu persatu semua mulai keluar dari ruangan rapat. Kini hanya menyisakan dirinya dan Diana sekretarisnya.

"Setelah ini jadwalnya apalagi?"
Tanya Firman pada sekretarisnya.

"Tidak ada pak, hanya beberapa saat yang lalu Bu Zivanna menelpon, tapi karena katanya tidak darurat maka beliau memutuskan menelpon lagi setelah rapat bapak selesai."

Keduanya bicara sembari Diana menutup ruang rapat dan mengekori firman dibelakangnya.

"Kamu boleh pulang cepat setelah ini, saya istirahat didalam."

Firman membuka ruang kerjanya dan menutup nya kembali. Dia mendaratkan bokongnya disofa ruang kerjanya. Dia mengambil handphone dari sakunya dan membaca pesan singkat Zivanna.

"Telepon aku jika rapatmu selesai." Zivanna.

Firman tersenyum membaca pesan tersebut, kemudian dia menekan tombol hijau pada ponselnya.

Beberapa kali panggilan tak terjawab hingga untuk ketiga kalinya Zivanna mengangkat telpon nya.

"Lama sekali rapatmu!"

Firman sedikit menjauhkan handphone dari telinga nya karena interupsi dari telepon seberang yang suaranya sedikit keras.

"Maaf, Rapat hari ini sedikit pelik karena beberapa pemegang saham masih ragu untuk membuka cabang hotel baru di London, jadi butuh usaha sedikit keras untuk meyakinkan mereka. Jadi ada apa kau menelpon dijam kerja?"

Firman bertanya sembari menaikkan sebelah alisnya. Tidak biasanya Zivanna menelpon dijam kerja, dan teman perempuannya satu-satunya itu tau betul jam kerjanya.

"Kau lupa, Efran besok tiba di Indonesia, dia menghubungiku tadi, dia bilang tadi menelponmu dan kau tidak mengangkatnya."

Zivanna berkata dengan nada sebal. Firman memaklumi, beberapa hari ini dia cukup sibuk dengan rencana pembukaan cabang baru di Inggris, hingga jarang berkomunikasi dengan dua sahabat karibnya itu.

Kendati untuk Zivanna, sebisa mungkin Firman selalu berusaha memberikan kabar setiap hari.

"Aku baru saja membuka ponsel dan maaf sekali lagi, aku tidak bermaksud mengabaikan kalian."

"Ya sudah, jangan dipikirkan, aku tau kau yang paling sibuk diantara kami, hartamu yang menggunung itu tidak akan membuatmu mengabaikan kami berdua, kami berdua terlalu berharga untuk itu."

Firman tertawa terbahak-bahak mendengarnya, jika mereka berhadapan saat ini, wanita itu pasti cemberut dan merajuk. Tapi tidak lama juga luluh, Zivanna bukan tipe perempuan manja yang suka merajuk. Dia wanita terbaik dan paling baik yang Firman kenal, karena  wanita yang dekat denangannya hanya Zivanna.

"Baiklah, kau pasti tau jawabannya, aku tidak mungkin mengabaikan kalian. Jangan bicara seperti itu lagi. Kau terlalu sensitif. Oh ya, apa kau mau kujemput sepulang kantor?"

"Tidak usah, kau pasti lelah, aku sudah diperjalanan pulang, sebentar lagi sampai. Kau juga harus istirahat. Oh ya, besok Efran sampai, kosongkan jadwalmu. Kamu merindukan kami bukan?" . Tanyanya sambil manja yang dibuat buat.

"Baiklah tuan putri, besok akan kukosongkan jadwalku sehari penuh demi kalian. Bagaimana, kau sudah tidak marah?"

"Hmmmm, akan kupikirkan, aku sudah sampai, daaaa."

Firman memandang handphone usai Zivanna menutup panggilan. Senyumnya mengembang. Kemudian dia memandang dua foto yang terletak dimeja kerjanya.

Foto pertama foto tiga remaja yang memakai seragam SMA. Foto dirinya, Efran dan Zivanna. Foto kedua foto dirinya dan almarhum kedua orang tuanya.

Firman memang sudah tidak memiliki kedua orang tua. Orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat saat dirinya masih SMA. Dia benar benar sebatang kara andai tidak ada dua sahabat nya juga bi Sumi pengasuhnya sejak kecil yang sampai saat ini masih bekerja padanya.

Untunglah kedua orang tua sahabat nya itu juga menganggap Firman seperti anak sendiri. Ayah Firman adalah teman baik ayah Zivanna. Ayah Firman adalah putra tunggal konglomerat kaya raya yang mengusai bisnis perhotelan dan batu bara yang cukup besar dinegara ini.

Ayah Firman dan ayah Zivanna berteman waktu kuliah. Ayah Zivanna adalah anak yatim-piatu yang bisa kuliah di universitas ternama berkat bea siswa. Dan karena kesulitan secara finansial, akhirnya ayah Firman banyak membantu ayah Zivanna semasa kuliah, padahal mereka berbeda jurusan.

Ayah Zivanna kuliah di jurusan hukum dan sekarang menjadi jaksa ternama yang cukup disegani. Itupun selain karena kecerdasannya, kakek Firman banyak membantu teman baik putranya itu karena memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap para petinggi.

Alhasil karir ayah Zivanna melejit dengan cepat. Itulah kenapa paman Adam, ayah Zivanna sudah menganggap Firman putranya sendiri. Terlebih, dia hanya memiliki seorang putri.

Sedangkan ibu Efran adalah teman semasa SMA ibu firman. Ayah Firman membantu mereka membuka perusahaan cabang diibukota.

Kendati memiliki perusahaan yang cukup sukses dibogor, ayah Efran sedikit kesulitan mengembangkan bisnis nya diibukota. Dan ketika ibu Efran dan ibu Firman tak sengaja bertemu dipusat perbelanjaan, ibu Efran bercerita tentang kesulitan suaminya membuka cabang di ibukota.

Ibu Firman yang bercerita pada suaminya mengenai kesulitan yang dihadapi sahabatnya, langsung sukarela memberikan bantuan yang tentu saja disambut suka cita oleh orang tua Efran.

Sejak saat itu, kedua orang tua sahabat nya itu sudah menganggap Firman seperti anak sendiri.
Firman memang pewaris tunggal kekayaan orang tuanya yang menggunung.

Sejak kecelakaan pesawat yang menimpa kedua orang tuanya sewaktu Firman SMA, ayah Zivanna lah yang ikut membantunya mengawasi perusahaan-perusahaan milik ayah Firman.

Paman Adam mengutus orang kepercayaan untuk mengawasi perusahaan-perusahaan warisan ayah Firman agar tidak terjadi penyelewengan.
Hingga akhirnya selepas kuliah, perusahaan-perusahaan itu sepenuhnya dipegang Firman.

Perusahaan warisan kakek Firman sebenarnya dulu hanya melingkupi perhotelan perhotelan besar dan perusahan batubara. Namun ditangan ayah Firman, perusahaan itu mengepakkan sayapnya dibidang konstruksi, bahan pangan dan elektronik.

Ayah Firman adalah pengusaha yang cerdas dalam mengamati pasar, itulah mengapa Firman saat ini masuk dalam jajaran lima besar orang terkaya di negara ini berkat warisan ayahnya.

Namun begitu, Firman tidak punya kerabat dekat, ayahnya anak tunggal, sedang ibunya, dulu adalah anak yatim-piatu yg akhirnya menjadi Cinderella berkat ayah Firman yang mencintainya setengah mati.

Firman membuka laci meja kerjanya. Dipandanginya obat yang selama ini dikonsumsinya.
Tangannya mengulur meraih obat itu, namun terhenti. Firman kembali menutup laci meja kerjanya dan berjalan menuju pintu untuk pulang dan istirahat.

Hidupnya memang bergelimang harta, mempunyai teman yang menyayanginya. Namun begitu, Firman seolah mengalami dilema.

Dilema yang hanya dirinya sendiri yang mengetahuinya.

Hidup memang tak selalu sempurna. Firman mengakui hal itu.
Dia mempunyai segala kelebihan yang dianugerahkan Tuhan padanya.
Namun begitu, Tuhan punya cara lain untuk menunjukkan kuasanya dengan memberi nya kekurangan yang tidak bisa dibayangkan orang lain.

Sembari menjalankan mobil sport nya, Firman tersenyum kecil.
Kapan saat yang tepat Firman untuk menyerah atau maju, dirinya tidak tau. Sekarang dia hanya menikmatinya saja.

Edelweiss (TAMAT)Where stories live. Discover now