Part 34

1K 103 28
                                    

Satu tahun kemudian

Firman tampak antusias mengajari putranya berjalan. Bayi sebelas bulan itu sudah mulai berjalan satu dua langkah hingga tidak mau berhenti berjalan meski berulang kali jatuh bangun. Dari kejauhan tampak Irina berjalan menuju ke arah mereka sambil membawa satu dot penuh susu formula.

Irina sebenarnya ingin  memberikan ASI eksklusif pada Arfi, panggilan Arfian. Namun karena Arfi sering menangis akibat kurang kenyang, akhirnya Firman memutuskan juga memberikan susu formula tambahan, dan setelah itu Arfi tidak rewel lagi, mungkin karena sudah kenyang. Badannyapun sangat berisi dan menggemaskan, Firman benar-benar memperlakukannya bak putra mahkota.

Kini setelah anaknya itu belajar berjalan, ia menambah satu pengasuh lagi karena khawatir satu pengasuh teledor. Arfi terlalu aktif, hingga terkadang merepotkan. Sebenarnya Irina kurang setuju, tapi karena Firman merasa tidak tega dan kepikiran Arfi dan Irina dikantor jika hanya ada satu pengasuh, Irina pun menurut. Padahal ada tiga pelayan lain dirumah ini, tapi sudahlah, tidak ada gunanya juga berdebat dengan Firman tentang Arfi, toh pada akhirnya Irina akan luluh juga.

"Ayo sayang, satu, dua, hayo hayo" Firman berjalan mundur dan Arfi dengan antusias berusaha mengejarnya walaupun terkadang jatuh bangun.

"Sayangnya papa, capek pasti ini" Firman meraih Arfi yang terjatuh kedalam gendongannya. Arfi terkikik senang dan menepuk-nepuk pipi Firman dengan tangannya yang kotor. Firman tertawa seketika. Melihat itu Irina tersenyum dan memberikan dotnya pada Firman. Kemudian Firman beranjak ke gazebo untuk menidurkan Arfi, Irina mengikutinya.

"Dia sudah tidur?" Irina melongok memandang Arfi yang ada dipangkuan Firman.

"Sudah, biar Rita yang memindahkannya ke kamar"

Firman memanggil pengasuh Arfi itu kemudian menyuruhnya menidurkan Arfi dikamarnya. Firman dan Irna menatap kepergian Arfi yang terlelap dengan hati bahagia. Mereka berdua benar-benar saling melengkapi.

"Sayang"

Irina menoleh dan mendapati Firman memandangnya penuh cinta.

"Ada apa?"

"Bulan depan kau jadi mendaftar kuliah, orangku sudah mengurus semuanya, kau akan kuberitahu jika waktunya sudah tiba."

"Terima kasih" kata Irina menatap Firman sendu.

"Untuk?"

"Semua yang kau berikan pada kami, kebahagiaanku sangat lengkap, ada kau , Arfi, bagiku kalian berdua adalah segalanya" Irina mendekati Firman dan menyandarkan kepalanya pada pundak Firman.

"Aku yang harus berterima kasih, kau memberikan sesuatu yang tidak mungkin kumiliki sebelumnya. Terimakasih sudah percaya padaku untuk menjadi sandaran kalian, terima kasih untuk segalanya." Firman mencium puncak kepala Irina kemudian kembali berkata

"Kalian adalah segalanya bagiku." Irina tersenyum, kemudian mengeratkan pelukannya pada Firman.

******

"Bagaimana?, tanya Efran menatap Zivanna cemas.

Zivanna keluar dari kamar mandi lesu dan menyerahkan tespeck yang menampilkan garis satu ketangan Efran.

Mereka berdua berjalan lesu ke ranjang kemudian duduk ditepian ranjang dan saling terdiam, tidak ada yang membuka suara. Pikiran mereka berkecamuk masing-masing, Efran bukan ingin terburu-buru punya anak, ia benar-benar tidak ingin menekan Zivanna untuk segera punya anak diusia setahun pernikahan mereka. Ia cukup sabar menanti.

Namun yang jadi masalah ada ibunya dan ibu Zivanna. Mereka berdua seolah ingin segera menimang cucu dari Efran dan Zivanna. Kalau ibu Zivanna memang segera ingin punya cucu karena memang hanya Zivanna harapan mereka satu-satunya, sedangkan ibunya juga begitu mengharapkannya karena Erin tidak bisa diharapkan.

Alih-alih kuliah, adiknya itu setahun yang lalu justru hamil diluar nikah dengan bajingan bertato yang sering wara wiri dengannya. Ibunya murka, bahkan memukuli Erin sampai babak belur kalau tidak dilerai Efran dan ayahnya. Dengan sangat terpaksa, Erin tidak meneruskan kuliah dan dinikahkan dengan pemuda berandalan itu.

Ujian belum sampai disitu ketika mendapati anak perempuan yang dilahirkan Erin cacat. Sebelah kaki anak itu lumpuh hingga susah digerakkan. Ibunya sangat putus asa hingga menangis saat itu. Erin hanya bisa diam saja mengasuh anaknya dengan telaten. Ia mejadi dewasa seketika dan tidak pernah mengeluh. Efran, Zivanna, dan ayahnya selalu mendukungnya. Sedangkan ibunya, Erin sering menghindarinya karena tidak ingin terus di ungkit kesalahannya. Ayahnya bahkan sampai membuatkan paviliun dibelakang rumah untuk Erin agar tidak sering bertemu ibunya. Efran sangat iba melihatnya.

Yang bahkan Efran tidak habis pikir, suami Erin, bajingan kurang ajar itu, hanya pulang beberapa hari sekali untuk berkeluh kesah mengenai usahanya yang jatuh bangun tidak menentu. Jika tidak teringat Erin dan anaknya, Efran sudah menendang jauh-jauh bajingan tidak tahu diuntung itu.

Belum cukup sampai disitu, kini dirinya dan Zivanna sangat kesulitan memiliki anak. Disatu tahun lebih pernikahan mereka, tidak kunjung ada tanda-tanda Zivanna hamil walaupun dokter mengatakan mereka berdua sehat dan tidak ada masalah sedikitpun, bahkan Zivanna tergolong subur. Tidak mungkin kan ia mandul, bukankah ia sudah menghamili Irna.

Efran menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat Irna. Sejak kejadian itu, hidupnya tidak lagi tenang, apa mungkin ia stres hingga kesulitan punya anak.

"Fran" panggilan Zivanna menyentak lamunan Efran.

"Ya Zi" jawab Eran gugup.

"Bagaimana ini, kita sudah berusaha maximal, aku bahkan nyaris putus asa" kata Zivanna sendu menatap Efran.

Efran beranjak dari duduknya, lalu duduk disamping Zivanna dan membawa Zivanna kedalam pelukannya.

" Tidak apa-apa, jangan putus asa, kita masih muda. Banyak pasangan yang puluhan tahun menikah belum dikaruniai anak, tapi mereka tidak putus asa hingga Tuhan akhirnya memberi mereka keturunan. Jadi, jangan pernah putus asa. Kita akan melalui ini bersama-sama" Efran mengeratkan pelukannya pada Zivanna dan mencium rambutnya.

Sungguh ia sendiri sebenarnya juga ingin putus asa, tapi ia tidak ingin Zivanna mengkhawatirkannya. Tekanan dari kedua ibu mereka, kondisi Erin, dan anak kandungnya yang kini entah dimana membuat Efran terkadang ingin bunuh diri saja.
Bahkan ini, paman dan bibi Irna seperti setengah hati bekerja dirumahnya, hanya kepada papanya mereka terlihat mengabdi. Sedangkan pada ia dan ibunya, mereka terlihat bersikap abai dan dingin. Ibunya sering menegur mereka,tapi tidak diindahkan. Akhirnya ibunya memilih tutup mulut daripada rahasia mereka terbongkar.

Dan satu lagi

Firman

Lelaki itu tidak ada kabar sama sekali sejak kepergiannya. Kerjasama mereka hanya diurus oleh asistennya. Efran dengar Firman tinggal di Oxford untuk mengurus pembangunan hotel barunya. Efran ingin sekali menghubungi untuk sekedar bicara, tapi mengingat keadaan sekarang, Efran mengurungkan niatnya.

Selamat pagi dears

Update lagi ya

Bonus karena hari ini 12.12
Aku juga masih promo novelku. Itu salah satu cuplikan novel Revenge. Terimakasih untuk yang sudah membeli kemarin. Promonya cuma sampai nanti malam ya dears.

 Promonya cuma sampai nanti malam ya dears

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Edelweiss (TAMAT)Where stories live. Discover now