Part 12

834 80 2
                                    

"Sayang, kok ngelamun sih"

Kata-kata Zivanna menyentak kesadaran Firman. Saat ini mereka berada dikursi taman dekat danau favorit mereka. Firman menemani Zivanna yang tengah sibuk memakan es krimnya sembari berceloteh ria menceritakan pekerjaannya.

Setelah menyadari sedari tadi pikirannya tidak fokus, Firman segera menoleh kearah Zivanna sembari mengelus puncak kepalanya dengan sayang.

"Kamu mikirin apa sih, dari tadi aku ngomong kesana-kemari kayaknya gak didengerin" Zivanna cemberut lalu meletakkan kotak es krimnya kemudian melipat kedua tangannya kesal.

"Kamu tahu, entah sejak kapan aku begitu takut kehilanganmu dan kamu tahu apa yang lebih aku takutkan" Firman menoleh sejenak menatap Zivanna yang menatapnya penuh tanya.

"Aku takut tidak bisa membahagiakanmu, aku takut ketika suatu saat aku tidak ada di dunia ini kau sendirian dan kesepian seorang diri, aku takut membayangkan dirimu menangis pilu karena disergap rasa kesepian yang menyakitkan" Firman menatap Zivanna dengan mata berkaca-kaca.

"Jangan diteruskan" Zivanna menatap Firman seolah tahu kata-kata apa yang akan meluncur dari mulut Firman selanjutnya.

"Jangan berpikir untuk melakukan apa yang ada dipikiranmu saat ini, kumohon. Aku sangat mencintaimu, aku tidak peduli apapun. Aku hanya ingin disisimu sampai kita menua nanti, kita akan hidup bahagia.Jadi kumohon, jangan lakukan apa yang diinginkan mama. Dia tidak mengerti kalau bahagiaku hanya bersamamu bagaimanapun keadaannya" Ucap Zivanna sambil mulai terisak.Dia yakin mamanya sudah menemui Firman untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya.

Zivanna sempat berdebat dengan ibunya perihal keadaan Firman. Mamanya wanita yang cukup keras, jelas tak akan setuju pernikahan tanpa anak yang akan dijalaninya. Perdebatan mereka terhenti setelah ditengahi oleh papanya yang mendukung penuh keputusan putrinya.

Namun sepertinya mamanya tidak menyerah dan berbicara langsung pada Firman.

Beru kali ini Zivanna merasakan takut yang luar biasa. Melebihi ketakutannya pada kekalahannya dalam sidang atau ketika ia diteror oleh tersangka pemerkosaan atau pedofilia. Zivanna benar-benar takut. Firman adalah pusat semangatnya selama ini, seberapa jenuhpun ia akan pekerjaannya, ketika ia melihat atau mendengar suara Firman, seolah semuanya lenyap terganti kebahagiaan.

"Sebelum ini aku hanya ingin mengatakan satu hal padamu bahwa aku sangat mencintaimu. Apapun yang kulakukan, hanya satu harapanku. Kau bisa berbahagia dengan benar. Bukan kebahagiaan semu yang akan kau jalani bersama denganku" Firman berucap tenang meskipun dalam hati, ingin rasanya ia berteriak dan mengatakan pada Zivanna bahwa ia juga segalanya bagi Firman.

"Kau pikir perasannku main-main selama ini. Puluhan tahun aku disampingmu, mencintaimu dalam diam, merasa terluka ketika kau dengan terang-terangan dekat wanita lain,bmenahan diri untuk tidak mencakar semua wanita yang begitu percaya diri mendekatimu. Tapi aku menahan semuanya. Aku berharap suatu saat kau sadar bahwa kau juga mencintaiku."

Zivanna berdiri dan menatap Firman berang. Air mata sudah menganak sungai dari kedua matanya.

"Dan akhirnya saat itu tiba. Saat kau menyadari bahwa perasaan kita sama. Aku sangat bahagia. Bersamamu adalah segalanya bagiku. Dan sekarang..."

Zivanna sesenggukan hingga tak mampu melanjutkan kata-katanya. Air matanya mengalir deras hingga Firman memejamkan matanya, hatinya teriris melihat pemandangan menyakitkan itu.

"Dan sekarang kau memintaku meninggalkanmu hanya karena kau sakit, karena kau tidak bisa memberikan aku keturunan. Kau egois. Aku mencintaimu apapun kondisimu. Yang aku cintai kau, bukan hartamu, bukan sperma yang kau hasilkan, bukan juga pendapat siapapun. Aku hanya mencintaimu dan ingin bersamamu sampai kita menua."

Zivanna menjeda kata-katanya ditengah Isak tangisnya.

"Apa keinginan sederhanaku itu begitu sulit kau wujudkan. Apakah bersamaku begitu menyiksamu. Kenapa?, kenapa sekarang jadi aku yang terlihat egois. Aku hanya ingin disisimu, hanya itu yang kuinginkan".

Zivanna mendudukkan dirinya dikursi taman. Wajahnya ia benamkan pada kedua telapak tangannya. Dadanya sesak, sungguh. Kenapa semua orang tidak ada yang mau mengerti dirinya. Hanya keinginan untuk menerima segala kekurangan orang yang ia cintai, kenapa seolah semua menentang sumber kebahagiannya.

Firman berjongkok menumpukan sebelah kakinya ketanah dihadapan Zivanna,kedua tangannya merangkum wajah wanita yang bertahun-tahun mengisi hatinya. Jemarinya mengusap air mata yang keluar dari mata indah Zivanna.

"Kau tahu, perasaanku padamu lebih dari itu. Kau tahu sejak kapan aku mencintaimu. Sejak pertama kali aku mengenalmu dan sejak pertama kali aku melihat senyum cantik dari wajahmu. Aku tidak ingin kehilangan semua itu."

"Kalau begitu tetaplah bersamaku, jangan dengarkan kata siapapun. Tetaplah disisiku sampai kita menua nanti" Zivanna menatap Firman berkaca-kaca.

"Bagaimana jika aku tidak menua. Bagaimana jika aku meninggalkanmu terlebih dahulu dalam kesepian yang menyakitkan. Aku tidak mau kau mengalami semua itu. Aku tidak ingin mengikatmu dengan kebahagiaan yang semu. Aku ingin kau berbahagia, dikelilingi anak yang banyak seperti keinginanmu dulu.Dan aku....".

Firman menjeda ucapannya,meredam sesak yang menghimpit dadanya.

"Aku akan membantumu mengasuh mereka semua. Aku akan menganggap mereka darah dagingku sendiri. Jadi teteplah bahagia walau tanpa aku.Demi dirimu dan anak-anakmu kelak. Percayalah, jika kau bahagia, itu adalah kebahagiaan terbesarku."

Firman menyelesaikan kata-katanya kemudian mencium kening Zivanna dengan lembut. Zivanna memejamkan matanya dengan air mata mengalir dikedua sudut matanya.

"Aku mencintaimu."

Firman berdiri kemudian mulai melangkah meninggalkan Zivanna yang mulai kembali menangis menggugu tak peduli dirinya menjadi tatapan sebagian pengunjung taman.

Firman berjalan pelan sembari mengusap air matanya yang mengalir deras. Kakinya terus melangkah dan berusaha tak menoleh dan mengubah pikirannya untuk lari dan memeluk erat Zivanna, wanita yang amat ia cinta.

Sementara Zivanna masih tergugu ditempatnya. Memandang punggung Firman yang terus menjauh. Kembali ia membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya menahan air mata yang terus berjatuhan dan dadak yang serasa amat sesak. Tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang duduk disebelahnya dan memegang pundaknya.

Zivanna segera mendongakkan wajahnya berharap Firman berubah pikiran dan kembali padanya. Namun ketika matanya bersitatap dengan orang yang memegang pundaknya, harapan itu pupus sudah.

Efran

Zivanna kembali menangis menggugu sambil memeluk Efran, menumpahkan semua air mata,rasa putus asanya, serta rasa kecewanya pada Firman.

Efran memejamkan matanya sambil membalas pelukan Zivanna, berusaha memberinya ketenangan dan kenyamanan, serta menumbuhkan kembali harapan didalam hatinya yang belum pupus.

27juli2021

Edelweiss (TAMAT)Where stories live. Discover now