"Hotel masih banyak, jangan disinilah!" katanya melengos saat itu.

Aku dan Farah hanya tertawa. Dan tentu saja, dikantor aku tidak akan melakukan hal yang lebih dari memeluk atau menciumnya. Tak etis saja jika orang lain yang memergoki kami.

Hingga pada suatu hari aku dan Farah memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan bersama di sebuah hotel. Baru saja menyelesaikan pergumulan kami, ponselnya berbunyi. Tertera nama sang suami disana. Tidak biasanya sang suami menghubunginya, karna dikapal cukup susah mendapatkan sinyal telpon. Ku biarkan ia menerima panggilan itu sementara aku menghabiskan rokokku di balkon hotel.

Mereka berbicara ditelpon selama 5 menit lalu Farah terburu-buru mengenakan pakaiannya dan merapikan hijabnya seraya menghampiriku.

"Suamiku pulang, dia sakit. Aku pulang dulu, nanti aku telpon kamu, ya." katanya mengecup bibirku lalu meninggalkan kamar.

Aku tak beraksi apa-apa. Aku kemudian pergi tidur hingga pagi hari menjelang. Tak ada pesan atau telpon dari Farah, hanya pesan dari Dian yang sengaja tak ku gubris sejak semalam. Aku mandi dan segera check out. Sesampainya di kantor, ponselku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk dari Farah, ia meminta ijin tidak masuk kerja untuk besok. Tentu aku mengiyakan. Aku tak menanyakan alasannya pula.

Ijin yang awalnya hanya sehari kini bertambah hingga 4 hari. Info yang aku dapat dari Ariska, suami Farah sakit parah dan harus dirawat dirumah sakit. Terakhir, suaminya sedang koma. Kawan yang lain mengatur rencana untuk menjenguk namun aku tak dapat ikut karna tepat sekali aku juga harus kembali ke Jakarta. Aku hanya menitipkan salam dan sedikit uang untuknya.

Dua hari kemudian aku tiba di Jakarta, aku langsung menemui Dian. Ketika kami menghabiskan waktu makan siang bersama, ponselku berdering. Farah menelponku entah kenapa. Aku ijin pada Dian mengangkat telponnya.

'Brengsek ya kamu!' maki Farah sesaat aku menyapanya.

"Apaan, deh? Nggak jelas banget!" sahutku terkejut.

'Aku lagi susah gini, kamu malah pulang kampung ke pacar kamu? Kurang ajar banget!' katanya lagi.

"Kan aku udah bilang, tanggal segini aku cuti, ya, aku pulang. Ngapain aku disana?" kataku tak kalah emosi.

Farah makin menggila. Ia memaki sambil menangis. Aku tidak tahu posisinya saat ini dimana, tapi ia pasti mempermalukan dirinya sendiri jika ia melakukan ini di muka umum. Ia terus memakiku dengan segala kata kasar dan jenis binatang. Diiringi isak tangis. Jujur saja, aku kasihan namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Sejak awal dia tahu, hubungan kami hanya sebagai hiburan satu sama lain.

Dian datang menepuk pundakku. Wajahnya menyiratkan banyak tanya. Segera ku matikan telpon Farah yang masih mengoceh.

"Siapa?" tanya Dian datar.

"Temen kantor." jawabku singkat.

"Kok marah-marah?" tanyanya lagi.

Aku bergerak kembali ke meja kami. Sial, pikirku. Dian mendengar suara nyaring Farah.

"Lagi stress kali." jawabku asal.

"Siapa? Kenapa dia histeris gitu?" tanya Dian dengan nada yang lebih ditekan. Bisa mati dimakinya juga aku jika tak segera menjawab.

"Temen kerja. Dia lagi ngurus suaminya yang sakit. Mungkin tertekan jadi stres gitu." kataku menelaah wajahnya.

"Gila, ya? Ngapain dia marah-marah ke temennya coba." kata Dian melanjutkan makannya. Syukurlah dia percaya.

"Tapi, kenapa harus ke kamu? Sedekat apa kalian sampai dia stress dan ngelampiasin emosi ke kamu?" tanyanya menatapku tajam.

"Ya, nggak tahu juga." jawabku tak menatapnya balik.

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Oct 11, 2020 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Burning DesireWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu