Part 9

10.8K 274 4
                                    

Irene terbangun lebih dulu karna telpon dari ibunya. Dengan cepat ia menjawab sebelum membangunkan Ian yang tertidur pulas. Selesai berbicara dengan ibu, tentu tidak memberitahu dimana ia sekarang dan bersama siapa, Irene mendapati langit sudah gelap. Diliriknya jam di layar ponsel, menunjukan pukul 7. Lama sekali mereka tertidur. Irene memutuskan untuk mandi.

       Selesai mandi dan mengganti pakaian yang lebih santai, Irene berencana membangunkan Ian. Namun Ian sudah duduk di pinggir ranjang memainkan ponselnya.

       "Sudah bangun, pak?" sapa Irene duduk di hadapan Ian.

       "Iya, udah malem ternyata. Saya laper nih, kita makan yuk!" ajak Ian memegangi perutnya.

       "Bapak nggak mandi dulu?"
       "Mandi nggak mandi sama gantengnya kok" ujar Ian terkekeh.

       "Iya, tapi bau. Mandi sana!"
       "Iya iya. Kamu siap siap ya, saya mandinya cepet kok" ujar Ian berjalan menuju kamar mandi.

       15 menit kemudian, Ian sudah siap dan mengajak Irene keluar untuk makan. Mereka memutuskan makan di warung ketimbang di hotel. Makanannya sedikit dan harganya mahal, begitu kata mereka. Berjarak sekitar 10 menit dari hotel, mereka tiba di warung soto ayam. Melupakan kejadian sore tadi, mereka mengobrol biasa penuh tawa. Keduanya sengaja tidak membawa ponsel agar tidak terganggu. Selesai makan, mereka memutuskan langsung kembali ke hotel setelah mampir ke minimarket membeli cemilan.

      Ian duduk menonton TV di ranjangnya, Irene menikmati cemilan yang tadi mereka beli. Merasa canggung berdiam diri, Ian mendekati Irene meminta cemilan.

      "Bagi, dong. Gendut kamu makan terus"
      "Enak aja. Nah, ambil. Makan disini aja tapi" ujar Irene menggeser tubuhnya menyediakan tempat untuk Ian. Mereka kini duduk bersebelahan bersandar pada sandaran ranjang.

       Irene yang diselimuti rasa tak enak karna membuat Ian kentang, kembali membahas perihal sore tadi.

       "Pak, maafin saya, ya. Karna saya ketakutan bapak jadi nanggung, kan?" Ian tertawa kecil menatap Irene.

       "Saya udah bilang, jangan minta maaf. Kalo mau minta maaf, ya seharusnya saya. Saya seenaknya perlakukan kamu kayak gitu" ujar Ian bernada menyesal.

       "Nggak kok, pak. Jangan ngerasa bersalah sama saya" kata Irene membalas senyum Ian.

       "Makasih. Tapi, Ren, kalau boleh tahu, kamu beneran belum pernah begituan? Bukannya kamu sudah pernah pacaran?" tanya Ian lagi. Irene menarik nafas panjang sebelum menjelaskan.

      "Saya memang sudah pernah pacaran sebelumnya beberapa kali. Tapi mantan pacar saya yang terakhir bikin saya trauma" Irene menjeda ceritanya. Ia meneguk minuman botol. Tanpa melihat ke arah Ian, ia melanjutkan.

      "Saya hampir diperkosa mantan saya" mata Ian membulat sempurna. Ia tak percaya pendengarannya. Apa maksudnya, batin Ian.

      "Gimana, Ren? Jelasin coba! Liat saya!" pinta Ian bernada tinggi. Irene berbalik menahan air mata di pelupuk matanya.

       "3 tahun lalu saya pacaran sama seorang cowok. Namanya Sam. Setahun lebih tua dari saya. Awalnya dia baik, perhatian dan bikin saya nyaman. Setelah 3 bulan pacaran, sifat aslinya mulai keliatan. Dia kasar, kalau ada yang dia mau dan saya nggak bisa nurutin, pasti dia bakal maki-maki saya, mukul saya. Entah itu soal uang, soal pelajaran, apa pun. Sampe suatu hari dia bawa saya kerumahnya. Dia jemput saya disekolah. Katanya, ada barang yang ketinggalan dan harus segera diambil" jelas Irene dengan nafas yang berat.

       "Sampai dirumahnya, dia minta saya ikut dia ke kamarnya. Saya nggak ada pikiran buruk soal dia. Dia suruh saya duduk di ranjangnya, terus dia kunci pintu. Disitu saya baru sadar kalo dia punya maksud lain. Terus, tiba-tiba aja... hikss" air mata Irene tak terbendung. Berat rasanya ingin menceritakan kisah pahit yang telah lalu. Ian menggenggam tangan Irene menenangkannya.

Burning DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang