Part 3

16.5K 380 6
                                    

   Ian terkejut ketika dipandang Irene yang sama terkejutnya. Tangan Ian otomatis menjauh dan berdehem pelan lalu mencoba mencari alasan.

   "Tidur siangmu pulas, ya? Sampai gak sadar dihinggapin nyamuk"
   "Nyamuk? Perasaan saya cuma merem aja kok, pak. Gak denger ada nyamuk" jawab Irene memutar bola matanya.
   "Kuping mu tuh makanya dibersihin" ujar Adrian berlalu ke mejanya. Irene memandang sinis ke managernya itu.
    "Arifin sama Dani kemana?" tanya Ian tanpa melihat Irene.
    "Pak Arifin ke Bukit Hijau. Mas Dani mau ketemu Nadia kayaknya. Saya gak tahu siapa itu" jawab Irene asal mengecilkan volume lagu Korea yang bernada cepat di komputernya.
   "Kenapa dikecilin? Gak suka lagunya?" tanya Ian lagi. Irene kaget mendengar pertanyaan itu.
   "Oh bapak suka lagu ini juga?" tanya Irene polos tersenyum.
   "Nggak. Saya aja gak ngerti itu bahasa apa" jawab Ian lagi masih menatap layar ponselnya. Irene terdiam, mendengar jawaban itu membuatnya kesal. Ia memilih diam dan duduk di kursinya.

   Setelah terdiam hampir 5 menit, Ian membuka suara.
   "Nadia itu gebetan Dani" kata Ian datar.
   "Eh?" jawab Irene yang lebih ke pertanyaan karna terkejut.
   "Kamu gak tahu siapa Nadia, kan? Saya kasih tau" Irene memandang Ian tak percaya. Merasa tak sopan jika mendiamkan bosnya, Irene menjawab santai.
   "Oh iya pak"
   "Saya lapar. Mau makan sama saya?" ajak Ian tiba-tiba. Irene sebenarnya ingin mengiyakan tapi tentu ia merasa canggung jika harus makan berdua dengan bosnya ini. Terlebih ia tak pernah makan berdua dengan seorang laki-laki semenarik Ian.
    "Bapak aja deluan. Saya gak laper" jawab Irene singkat dengan senyum yang manis. Hati Ian berdesir kembali melihat senyum itu. Agak kecewa dengan jawaban Irene tapi Ian tak mungkin memaksa. Ia tidak mau Irene melihat bahwa Ian sangat ingin menghabiskan waktu dengannya. Ia berdiri dan berjalan melewati meja Irene. Baru lewat sedikit dari meja itu kemudian ia mendengar suara aneh dari arah Irene.

    Perut Irene ternyata keroncongan dengan nyaring hingga terdengar ke telinga Ian. Irene yang malu menutupi wajahnya yang memerah dengan tangannya. Tapi mungkin karna memang Irene adalah anak yang ceria dan tidak malu-malu ia kemudian berdiri dan menatap wajah Ian yang menahan tawa.

   "Ayok, pak. Mau makan dimana? Warung depan apa di resto? Atau mau keluar?" tanya Irene sambil berlalu melewati Ian. Ian tersenyum melihat kelakuan karyawan barunya itu. Irene teriak dari arah lantai 1.

   "Pak? Cepet ayok, lapar nih"
   "Iya, bawel sabar" jawab Ian.

    Ian melajukan mobilnya ke sebuah mall. Irene duduk manis menatap jalanan dikursi sebelahnya. Sesekali Ian melirik wajah Irene. Hening sekali diperjalanan karna mereka berdua memikirkan bagaimana memulai pembicaraan. Irene memecah keheningan terlebih dulu.

    "Kalo mau ketawa boleh kok, pak"
    "Ngapain saya ketawa?"
    "Tadi bapak denger cacing saya demo, kan? Saya liat kok bapak nahan ketawa" tawa Ian pecah mendengar perumpamaan itu. Irene melirik Ian mendapati wajah tampan itu tertawa lepas. Ini pertama kalinya ia melihat Ian tertawa. Manis sekali.

    Tawa Ian mengakhiri perjalanan mereka. Sampai di parkiran mall Ian mengajak Irene makan di restoran Jepang. Ian berjalan di depan Irene dengan langkah lebar karna kaki jenjangnya. Irene tak dapat mengikuti dengan kaki kecilnya.

   Sampai di depan restoran Ian masuk begitu saja tak mengetahui Irene yang susah payah mengikutinya. Irene duduk terengah kehabisan nafas. Ian terkejut melihat Irene yang kelelahan bahkan mengeluarkan keringat diujung keningnya. Ian tersenyum dan mencoba untuk menyeka keringat itu namun dihentikan oleh gerakan mundur Irene.

   "Jangan pak, nanti make up saya luntur hehe" Irene tersenyum menunjukan gigi rapihnya. Irene menyembunyikan jantungnya yang berdegub tak beraturan. Mana bisa ia bersikap tenang dihadapan lelaki mempesona seperti ini.
   "Lap sendiri kalau gitu" Ian melempar tissue ke depan Irene. Ia merasa kesal tak dapat menyentuh kening itu.
   "Jahat banget" kata Irene menyambar tissue itu kasar lalu menepuk-nepuk keningnya.

Burning DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang