Part 21

3.7K 128 6
                                    

10 hari kemudian.

Tiwi sedang duduk di lobby kantor Ian dengan map berisikan lamaran pekerjaan di tangan kirinya dan ponsel di tangan kanannya. Terlihat pesan dari Irene menyemangati gadis manis itu.

"Mba, ikut saya!" kata Dani lembut. Tiwi mengikuti Dani dibelakangnya.

"Itu manajernya, duduk aja disitu. Pak, jalan dulu, ya!" kata Dani menunjukkan meja Ian pada Tiwi lalu melambaikan tangannya.

Ian menyahut singkat dan mempersilahkan Tiwi duduk dan memulai wawancaranya.

Di tempat lain, Irene dan Donald sedang berbincang santai. Donald kini menjadi lebih ramah dan menjadi pribadi yang menyenangkan ketika berhadapan dengan Irene. Tidak seperti awal bertemu. Pembicaraan Donald biasanya hanya basa-basi, tapi dengan sifat Irene yang cerewet membuat obrolan mereka bercabang.

Terlebih beberapa hari belakangan, Donald lebih memilih makan di kantor bersama Irene. Ataupun kalau harus makan diluar, ia selalu mengajak Irene. Irene pun tak masalah. Selain lebih irit karna Donald yang membayar, juga selama ia selalu mengabari Ian tentang hal itu. Ian juga tak pernah mempersalahkan, pikirnya. Meskipun kenyataannya tak seperti itu.

Seperti hari ini, Ian menerima pesan singkat dari Irene yang mengatakan bahwa ia diajak untuk makan siang bersama Donald di salah satu restoran didekat kantor mereka. Wajahnya menegang. Ini sudah kesekian kalinya Donald mengajak Irene makan siang diluar. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar lalu membalas pesan tersebut dengan lembut. Ian tak suka Irene dekat dengan Donald.

Ian yang sendirian di kantor setelah selesai melakukan wawancara dengan Tiwi kini merasa bosan. Ia belum terlalu lapar. Ia memutuskan menelpon Fira.

Lama sambungan telpon berbunyi sampai suara imut itu berbicara.

'Hayoo? Syapah nih?' sapa Fira dengan penyebutannya yang belum lancar.

"Halo cantik! Ini ayah, sayang! Kok Fira pegang HP mama, nak? Mama kemana?" tanya Ian. Tak biasanya Dian memberikan ponselnya ke Fira tanpa pengawasan.

'A.. ayah!! ayah pain?' Fira tak menjawab pertanyaan Ian.

"Lagi kerja, sayang. Mama kemana, kok HP bisa sama Fira? Mama mana?" kata Ian lagi mengulang pertanyaannya.

'(suara tidak jelas) mama di.. kamal.. sama temen.. mama!!!' teriak Fira memanggil Dian.

Ian memusatkan pendengarannya pada suara lain dari ujung telpon itu. Tapi suara nafas Fira jauh lebih nyaring karna ia meletakkan ponsel itu dekat dengan mulutnya.

'Mama! Ayah.. tepon..' kata Fira dengan sangat lucu.

"Halo, Fira? Biarin sayang, ayah ngomong sama Fira aja. Temen mama siapa, nak?" Ian mencoba mengobrol dengan Fira. Namun anaknya itu sudah keburu berlari ke kamar sang mama.

'Eh, sayang, kan tadi mama suruh main diluar. Kenapa masuk?' suara Dian terdengar terkejut.

'Ayah.. ayah tepon..' kata Fira mengangkat ponsel Dian.

'A.. ayah? Ayah telpon? Ke HP mama? Mana? Mana sini HPnya!' Dian merebut ponsel dari tangan Fira lalu berjalan ke arah dapur. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskan kasar.

'Halo?' sahut Dian.

"Iya, mah. Dari mana? Kok Fira yang angkat telpon?"

'Oh, dari kamar. Lagi beresin lemari. HP nya ditinggal sama Fira buat nonton Upin dan Ipin.'

"Tumben nggak ditungguin anaknya pakai HP? Ayah kasih ijin Fira nonton di HP kan karna mama janji sambil ngawasin, kok ini nggak?" cerca Ian pada Dian.

Burning DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang