Part 6

12.1K 291 1
                                    


      Libur akhir pekan selama 4 hari dimanfaatkan Irene untuk berkumpul bersama ayah dan ibunya. Selama itu pula Ian beberapa kali mengirimi pesan dan menelpon Irene tapi tak pernah digubris. Setelah makan siang Irene kembali ke kamarnya dan melihat banyak panggilan tidak terjawab dari Ian. Irene membaca pesan yang paling terakhir dikirim Ian.

       'Jawab telpon saya, sekali aja' Irene menatap pesan itu dengan bingung. Apa ia harus menjawab telpon dari Ian atau tidak. Ia meletakkan ponselnya sembarangan. Mencoba mengambil keputusan, jika ia menjawab telpon itu, ia merasa malu. Tapi jika ia tidak mengangkat telpon itu besok saat kembali bekerja pun ia akan harus bertemu Ian. Itu akan jauh lebih parah.

       Ponsel Irene berdering. Dari Ian. Setelah berdering cukup lama Irene memutuskan menjawab telpon Ian.

       "Halo?" Ian yang menyadari telponnya dijawab Irene langsung menyerbu Iren dengan pertanyaan.

       "Halo? Irene? Ren, saya nelponin kamu dari kemarin, kemana aja? Kamu sehat? Nggak lagi sakit, kan? Kalau sakit saya antarin ke dokter, ya. Kamu dimana? Sudah makan? Saya.."

       "Pak, pak. Pelan-pelan. Saya baik, kok. Nggak kemana-mana. Alhamdulillah sehat, gak lagi sakit, jadi gak perlu ke dokter. Saya dirumah dan baru aja selesai makan" jawab Irene tenang. Ia merasakan kekhawatiran Ian. Ia rindu suara Ian, sebenarnya.

       "Beneran? Jangan bohong sama saya"
       "Saya gak bohong sama bapak. Gak akan pernah" jawaban Irene membuat Ian bersemu.

       "Bapak dimana? Kok rame jalan raya gitu?" tanya Irene.
       "Saya dimobil. Otw kerumah kamu" Irene terkejut bukan main.

       "Kerumah saya? Ngapain? Jangan aneh-aneh"
      "Karna kamu kacangin saya, jadi saya mau datang ke kamu"
      "Bohong, nggak mungkin"
      "Saya gak bohong sama kamu. Gak akan pernah. Kamu keluar ya, temenin saya ada keperluan. 5 menit lagi sampe. Dahh" tutup Ian tanpa menunggu persetujuaan Irene.

      Irene melempar ponselnya asal lalu membuka lemarinya yang penuh dengan berbagai macam pakaian. Keperluan apa yang dimaksud Pak Ian, batin Irene. Ia sibuk memilih baju yang tepat. Apa keperluan formal atau hanya menemaninya ke perumahan. Diburu waktu, Irene menyambar baju terusan berwarna hitam dan dikenakan diatas kaos dan celana pendek yang ia kenakan sejak tadi. Menepuk-nepukkan bedak tipis di wajahnya. Memoleskan lipstick pink dan lipgloss lalu mengurai rambutnya. Tak lupa menyemprotkan sedikit parfum.

     "Mau kemana, dek?" tanya ibu yang sudah berdiri di ambang pintu. Irene terkejut mencari alasan.

     "Ibu, ngagetin aja. Ini bu, si Vanya minta temenin jalan gak tau mau kemana" ujar Irene tak berani menatap mata ibunya. Maaf, bu Irene bohong, sesal Irene dalam hati. Tak bermaksud berbohong, tapi tak mungkin ia mengaku akan pergi dengan Ian.

     "Oh, yasudah hati-hati"
     "Irene pergi ya, bu. Assalamualaikum" Irene mencium tangan ibu dan menunggu Ian agak jauh dari rumah.

     Semenit kemudian Ian datang dan Irene langsung naik ke mobil memerintahkan Ian untuk cepat pergi dari sana.

      "Saya telponin kamu dari hari Jumat tapi kamu gak pernah mau angkat. Kamu marah sama saya?" tanya Ian ketika mereka mulai menjauh dari rumah Irene.

      "Marah kenapa? Emang bapak buat salah sama saya?"
      "Yah, makanya saya tanya. Jadi kenapa kamu kacangin saya?"
      "Saya gak ngacangin. Saya cuma... itu..." Irene gugup mencari alasan.

      "Cuma menjauh?" tanya Ian lebih serius.
      "Nggak. Saya nggak ngejauhin bapak" ujar Irene membela diri.

      "Saya cuma nggak enak aja mau berhubungan sama bapak. Apalagi habis.. itu..." lanjut Irene terbata. Ia berusaha keras untuk tidak mengucapkan kata 'ciuman' pada Ian.

Burning DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang