Part 4

13.8K 320 1
                                    

     Irene yang masih terkejut dengan pertanyaan Ian mencoba menyatukan kembali sadarnya. Ia membalas pertanyaan Ian.

    "Memang kenapa bapak nanya gitu? Bapak lagi suka seseorang?" Irene tak bermaksud menuduh, ia hanya penasaran akan arti pertanyaan Ian.
    "Begitulah" jawab Ian singkat membuat Irene merasakan hatinya nyeri. Entah kenapa ia merasa patah hati.
    "Siapa? Saya kenal?" Irene ingin bertanya hal lain namun justru pertanyaan ini yang meluncur keluar. Karna memang pertanyaan itu yang berkutat di kepalanya.
    "Perempuan yang baik. Gak cantik, tapi manis. Dia selalu ada untuk saya. Dia bisa bikin saya nyaman sama dia. Tapi kayaknya dia gak suka sama saya"
    "Oh iya?"
    "Iya. Dia benci sama orang yang berselingkuh. Dia orang yang pintar, gak mungkin dia bisa suka sama saya yang bukan siapa-siapa"
    "Hati orang gak ada yang tahu, ya kan? Mungkin kalau dia suka juga, dia bisa pertimbangkan" bodoh Irene. Jawaban macam apa itu. Kau memberikan semangat pada Ian untuk berselingkuh. Kau menyakiti hati istri Ian dan hatimu sendiri, rutuk Irene dalam hatinya.
    "Jadi, kamu saranin saya untuk tanya ke dia, apa dia punya perasaan ke saya?" tanya Ian tersenyum kecil. Melihat Ian tersenyum membuat Irene membayangkan Ian berselingkuh dengan gadis, siapapun itu, dan membuat hatinya terbakar. Irene hanya menggerakan sedikit bahunya. Ian kemudian menatap Irene.
    "Irene, menurut kamu saya seperti apa?" tanya Ian. Irene menatap Ian lalu menjawab pertanyaannya dengan sedikit gugup.
    "Menurut saya, bapak orang yang baik. Lucu, sopan juga, dan.." Irene terhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih pelan.
    "Ganteng" mata Ian membulat mendengar jawaban pelan Irene. Dengan cepat ia menggoda Irene.
    "Saya ganteng? Kamu orang ke dua ribu yang bilang begitu"
    "Yeee, apaan coba. Namanya cowok ya ganteng kalau cewek ya cantik" sanggah Irene.
    "Kamu cewek, tapi kamu gak cantik" Irene mengangkat sendoknya untuk dipukulkan ke wajah Ian sebelum akhirnya Ian tersenyum dan melanjutkan
    "Kamu manis" Irene terdiam. Ia merasakan ada rasa hangat di hatinya. Wajahnya juga ikut menghangat dan bersemu merah.
    "Ciye, malu-malu dipuji begitu langsung merah mukanya" goda Ian mencubit pelan hidung Irene lalu melanjutkan makannya. Irene merasa sesak sekarang karna terlalu bahagia. Ian menyentuhnya.

    Ian mengantar Irene sampai di kantor lalu Irene segera pulang sebelum maghrib. Setelah mandi dan sholat Irene memainkan ponselnya. Tak lama masuk panggilan telpon dari Ian. Irene terkejut dibuatnya. Ada apa Ian menelpon jam segini. Bahkan mengirim pesan pun tidak pernah. Irene mengangkat bahunya lalu menjawab telpon itu.
   "Halo?"
   'Halo. Sudah dirumah, Ren?' suara Ian terdengar senang.
   "Udah dari tadi. Udah mandi, udah pup juga. Kenapa, pak?" jawab Irene asal.
   'Gak apa-apa, kok gak ngabarin. Kirain kamu kenapa-kenapa' Irene mengernyitkan dahinya. Aneh.
   "Bapak khawatir tapi kok kayak bahagia gitu? Ada apaan, sih pak?"
   'Saya cuma mau nelpon kamu aja. Saya pengen denger suara kamu. Boleh?'
   "Suara saya emang ngangenin banget, ya pak?"
   'Begitulah. Boleh nggak?'
   "Kalau gak boleh, pasti gak saya angkat telpon bapak"
   'Kamu lagi apa?' dan dimulai obrolan basa basi mereka hingga hampir 2 jam. Membicarakan hal yang tidak penting, hanya hal yang tidak-tidak. Sampai Ian mencoba untuk menilik isi hati Irene.

   'Ren, kalau ada laki-laki beristri yang menyatakan suka sama kamu, apa yang kamu lakuin?' Irene terdiam sejenak mengatur kalimat yang akan ia keluarkan. Ia tahu bahwa bosnya ini sepertinya sedang menyukai seseorang jadi ia hati-hati memilih kata. Tapi ia juga tidak mau terlihat murahan jika menjawab iya begitu saja.
   "Ehm kalau saya sih, gak mau pak" mendengar jawaban Irene seperti ada yang meremas jantung Ian, sakit sekali. Ia tak menyangka Irene tetap kukuh pada pendiriannya. Dengan kecewa ia mencoba mencari tau lebih dalam lagi alasan Irene.
    'Karna kamu gak suka sama dia?'
    "Bukan. Sebesar apapun rasa suka saya sama laki-laki itu, bahkan kalau memang saya jatuh cinta sama dia, saya akan tetap tolak dia. Saya gak mau bahagia diatas kesedihan orang lain"
     'Jadi kamu relakan rasa yang kamu punya untuk orang lain?'
    "Saya gak rugi apapun, kok. Toh dari awal saya memang gak memiliki si laki-laki itu. Saya gak bisa merasa kehilangan atas apa yang saya gak pernah miliki" Irene menahan air matanya. Ia merasa membohongi diri sendiri sekarang. Ia tahu bahwa jika Ian mengajaknya untuk menjalin hubungan ia akan menerimanya. Tapi ia juga tahu bahwa Ian adalah lelaki terhormat, dan tidak menyukai dirinya. Ian melihatnya sebagai karyawan, tidak lebih.
     'Tapi kalau orang itu memaksamu, dengan cara yang baik tentunya, apa hatimu gak goyah?'
     "Untuk itu, saya juga gak tahu. Kalau memang hati saya menang atas logika saya, yah mungkin saya terima dia" jawaban Irene membuat Ian kembali semangat.
     "Emang kenapa, pak? Bapak mau nembak cewek yang bapak suka itu?" tanya Irene mencoba terdengar tidak kesal.
     'Ehm iya. Tapi nanti. Dia masih kukuh sama prinsip dia. Saya mau coba yakinkan lagi, dia suka saya atau gak' jawab Ian mencoba memberi kode kepada Irene bahwa gadis yang di maksud adalah Irene. Tapi karna kesal, cemburu dan juga lemot, membuat Irene tidak menangkap kode itu.
     "Oh gitu? Yaudah, pak. Semangat ya semoga berhasil. Saya tulus nih doain"
     'Beneran ngedoain? Saya aminin deh. Makasih doanya, ya Irene' ujar Ian sambil tersenyum. Jika Irene bisa melihat wajah Ian sekarang tentu Ian akan merasa sangat malu. Ian bagai remaja yang baru mengenal cinta.
      "Iya. Pak, udahan dulu ya, saya belum sholat isya" ujar Irene.
      'Eh, iya, saya juga. Ya udah kalau gitu. Assalamualaikum' tutup Ian setelah dibalas salam oleh Irene. Memastikan telpon sudah benar-benar mati barulah Irene menumpahkan air matanya.

Burning DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang