Part 8

11.2K 281 4
                                    

      Sholat Jumat hampir selesai, Irene undur diri untuk sholat Dzuhur dan mengganti pakaiannya untuk resepsi siang hari. Irene mengenakan dress brokat berwarna biru dongker. Membiarkan rambut sebahunya terurai. Tak lupa memoleskan make up dan lipstick merah tipis pada bibirnya.

     Acara cukup ramai dengan kedatangan kawan suami Dwi yang seorang pekerja batubara. Irene melemparkan pandangan keseluruh tempat mencari Ian. Matanya terhenti mendapati Ian yang duduk sendirian dipojok ruangan dengan mata tertutup. Ia terlihat sangat lelah. Irene menghampiri Ian dan membangunkan pria itu.

    "Pak?" panggil Irene pelan. Tidak ada reaksi dari Ian. Irene menggerakkan pelan pundak Ian.

    "Pak, bangun" Ian mulai sadar dari tidurnya. Ia mengusap matanya lalu tersenyum ke Irene.

    "Eh, Ren. Maaf saya ketiduran"
    "Bapak capek banget, ya? Maaf ya, pak" Irene merasa tidak enak.

    "Nggak kok, jangan minta maaf. Saya cuma ngantuk aja" ujar Ian menghibur.

    "Bapak kalo ngantuk tidur aja. Saya bilangin Dwi ya, pinjem kamar disini buat bapak tidur"
    "Janganlah, saya nggak enak. Udah, nggak apa-apa"
    "Saya yang nggak enak sama bapak, gimana dong?" Irene menatap Ian tak enak hati. Ia merasa kasihan melihat Ian seperti sekarang.

    "Kalaupun saya tidur sekarang, saya harus mikir nanti malam tidur dimana" ucapan Ian membuat Irene semakin merasa tidak enak membawa Ian kemari. Ia tidak memikirkan hal itu karna ia berencana menginap di rumah Dwi.

    "Oh iya. Yah, gimana dong?" tanya Irene khawatir.

    "Bentar ya, bapak tunggu sini" Irene bangkit meninggalkan Ian dan berbicara kepada Dwi soal masalah yang ia hadapi.

    "Ada hotel sekitar sini, 15 menitan lah ke kanan. Hotelnya warna ungu. Kamu kesana aja, kasian temen kamu pasti capek. Kamu juga pasti capek, kan?" ujar Dwi menenangkan Irene.

     "Aku sebenernya pengen lama disini, tapi aku nggak enak sama dia, Wi" Dwi tersenyum melihat temannya itu.

     "Udah nggak apa-apa. Aku udah makasih banget kamu mau dateng pagi-pagi kesini. Kamu mending nginep di hotel aja, kalo disini pasti ribut kamu gak bisa istirahat"
     "You sure?"
     "Of course, cantik. It's okay, don't worry" ujar Dwi memeluk erat Irene. Setelah memberikan info ke Ian mereka pun pamit kepada Dwi dan keluarga juga teman-temannya.

      Sekitar 15 menit, mereka tiba di hotel yang dimaksud Dwi. Hotel berbintang tiga berwarna ungu itu terlihat sepi. Mungkin karna kota ini bukan kota tujuan wisata sehingga tak banyak pengunjung. Setelah memakirkan motor, Ian menuju meja resepsionis untuk check in. Irene menunggu di sofa lobi utama dengan lelah menyandarkan punggungnya.

      "Selamat Siang, pak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis cantik itu pada Ian. Dengan senyum Ian membalas dan memesan kamar premium untuknya. Ian terlihat menimbang akan memesan dua kamar terpisah atau tidak. Ia tidak ingin terlihat tidak sopan pada Irene jika memesan satu kamar tapi juga karna Ian tidak membawa banyak uang untuk memesan dua kamar.

      "Premium yang dua ranjang ya, mba" pinta Ian pada resepsionis yang langsung memproses pesanan Ian.

      Setelah mendapat kunci dan nomor kamar, Ian menghampiri Irene yang terlihat hampir tertidur. Dengan hati-hati ia mengajak Irene untuk mengikutinya kedalam lift.

      "Ren, saya ambil satu kamar, nggak apa-apa, kan? Tapi dua ranjang kok, tenang aja" tanya Ian khawatir.

      "Oh. Nggak apa-apa, pak. Bagus malahan. Saya juga nggak bakal berani tidur di kamar sendirian" jawab Irene polos. Ya, Irene tidak berani menginap ditempat baru sendirian.

Burning DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang