Part 11

10K 254 7
                                    

"Sayang apaan, sih? Stop jambakin rambut kamu!" teriak Irene tak suka melihat Ian menyakiti dirinya sendiri.

"Aku bego banget, seharusnya aku nggak lakuin itu sama kamu. Maaf banget ya sayang" Ian masih terus menjambak rambutnya. Sesekali ia menampar pipinya keras.

"Sayang udah! Jangan pukulin diri kamu! Aku nggak kenapa-kenapa!" suara Irene makin meninggi.

"Nggak, aku berhak dapet ini. Apa yang aku lakuin itu salah dan jahat. Seharusnya kamu pukul aku tadi. Seharusnya kamu tampar aku" kata Ian menampar pipinya lagi lebih keras. Irene menitikan air matanya.

"Sayang udah dong. Kalau kamu sakitin diri kamu, aku juga bakal lakuin yang sama!" ancam Irene agar Ian berhenti menyakiti dirinya.

"Aku berhak diginiin!" Ian memukul-mukul kepalanya dengan keras.

Plakk!! Suara tamparan keras menyadarkan Ian. Ia melihat pipi kanan Irene yang memerah dengan bekas gambar tangan. Irene menampar pipinya sendiri.

"Sa.. sa... sayang apa yang kamu lakuin? Kenapa kamu tampar pipi kamu?" tanya Ian terbata.

"Aku udah bilang, kalau kamu sakitin diri kamu, aku juga bakal sakitin diri aku. Karna kamu terus-terusan nyakitin diri kamu, ya aku juga. Ayo lagi, tampar lagi! Aku bakal tampar pipi aku satunya" ancam Irene mengangkat tangannya bersiap menampar pipinya.

"Nggak sayang, jangan! Aku cuma ngerasa bersalah sama kamu makanya aku begini. Kamu jangan tampar pipi kamu ya. Jangan sakitin diri kamu" ujar Ian menahan rasa sakit dalam hatinya. Ia merasa semakin bodoh.

"Sayang nangis kenapa? Aku tau kamu habis nangis, jelasin sama aku, ya?" pinta Ian lembut.

"Tadi, tiba-tiba aja aku ke inget sama Sam. Apa yang dia lakuin kebayang lagi. Makanya tadi aku dorong kamu. Terus pas aku udah tenang, aku sadar kalau tadi tuh kamu bukan Sam. Seharusnya aku nggak pergi ninggalin kamu. Maafin aku ya" jelas Irene. Terdengar nada bersalah di suaranya.

"Aku ngerti kok. Memang tadi aku sudah kelewatan sama kamu. Kamu belum siap untuk ke tahap itu dan aku dengan egoisnya, ngelakuin itu tanpa ijin. Sakit nggak? Aku yakin pasti sakit, kan?" tanya Ian lagi. Irene tersenyum lirih.

"Inget, kita udah janji untuk nggak pernah bohong dan saling jujur apapun masalahnya. Jawab jujur, sayang!" ancam Ian membuat Irene mau tak mau mengakuinya. Ia mengangguk pelan.

"Perih aja sedikit. Tadi pipis aja perih gitu. Nggak apa-apa kok tapi"
"Tuhkan, jadi gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Ntar juga sembuh sendiri, kok"
"Besok-besok aku gak bakal gitu lagi deh. Janji!"
"Jangan, dong! Nggak apa-apa sakit tapi enak hehe" hibur Irene agar Ian tak terlalu merasa bersalah.

"Ih sayang ini, lho" ujar Ian mengepalkan tangannya gemas.

"Kamu nggak usah ngerasa bersalah ya. Kan aku yang minta supaya kamu bantuin aku soal ini" kata Irene lagi kali ini dengan senyumnya yang menenangkan. Ian mengangguk pelan membalas senyum Irene.

"Aku sayang kamu. Sayang banget" ujar Ian. Hati Irene menghangat tapi ia tak bisa membalas ungkapan sayang Ian barusan. Irene tak pernah mengatakan perasaannya pada Ian, karna ia tidak ingin Ian tahu bahwa ia mencintai Ian sepenuh hati.

Irene tersenyum tanpa berkata apa-apa. Ian paham, mungkin Irene belum bisa membuka hati untuknya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga Irene baik-baik, gadis yang ia cintai kini bergantung padanya. Dan anehnya, Ian juga bergantung pada Irene, melebihi ia bergantung pada istrinya.

*******************
Pagi itu Ian dan Irene sedang membahas mengenai kepindahan Irene ke Grand minggu depan. Admin disana memutuskan untuk mengundurkan diri karna alasan pribadi. Yang menjadi masalah keduanya adalah, kepindahan Irene terjadi saat Ian berada di Jakarta. Ian memutuskan pulang ke Jakarta untuk mengantar sang Ibu pergi umroh.

Burning DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang