Rayyan Altama Pramuda [04] | Ketakutan yang nyata

250 26 5
                                    

Sejak kejadian kemarin aku jadi sering melamun. Memikirkan ucapan Gino yang masih terngiang di pikiranku. Bahkan rasa mual yang kemarin kurasakan pun kian menjadi. Hari ini aku berangkat sekolah menggunakan bus. Tama tidak menjemputku dengan alasan ia ada janji dengan ketiga sahabatnya. Entahlah, aku tidak tahu janji apa itu.

Aku turun dari bus lalu berjalan menuju gerbang sekolah. Kulihat Tama tengah mengobrol bersama Aziz dan Regon, tanpa adanya Gino. Mungkin cowok itu tidak suka kepadaku sejak kejadian kemarin.

Aku berjalan mendekat ke arah Tama lalu tersenyum manis sebelum mendaratkan ciuman di pipi kanannya, sedang Aziz dan Regon bersorak ria.

"Pagi bby..." ujarku dengan nada lembut. Namun respon Tama hanya menoleh sebentar tersenyum tipis lalu kembali mengobrol dengan kedua sahabatnya.

"Bby nanti kita jadi jalan kan?" tanyaku pelan sembari merangkul sebelah tangannya. Namun tidak ada respon sama sekali.

"Bby..." masih sama, tidak ada jawaban.

"Tama."

"Bby!"

"Bbyyy!!"

"Diem bisa nggak!" aku terkejut, diam seketika mendengar bentakan Tama barusan. Baru kali ini cowok itu membentakku seperti tadi.

Aziz dan Regon hanya saling pandang tersenyum misterius.

"Tam, kamu kenapa sih?"

"Kamu yang kenapa? lagi ngobrol malah manggil terus, ganggu tau gak!" desis Tama tidak suka.

Aku menunduk ditatap tajam seperti itu oleh Tama, "maaf..." cicitku pelan.

"Yuk bor ke kelas."

Aku mendongak menatap kepergian Tama bersama dua sahabatnya tanpa mengajakku. Sebenarnya ada apa sih?

***
*hari selanjutnya*

Kejadian kemarin membuatku berpikir keras kembali. Tentang perilaku Tama yang berbeda, berubah drastis dari hari-hari sebelumnya membuatku kian takut. Semalam aku menangis ketakutan. Takut akan kemungkinan-kemungkinan yang aku pikirkan menjadi kenyataan. Penyesalan yang akan datang.
Bahkan ucapan Gino dua hari lalu tak luput dari pikiranku.
Atau mungkin aku harus menjauhi Tama seperti kata Gino itu?
Hanya saja aku takut. Aku takut jika tidak ada lagi yang kujadikan sandaran. Aku takut sendiri lagi. Aku mencintai Tama.

"Heh!" panggil seseorang membuatku mendongak menatap cowok yang tidak ku kenal berdiri di depan bangkuku.

"Ak-aku?" tanyaku masih bingung.

"Iya elo. Dipanggil Tama disuruh ke atas."
Setelah mengatakan kalimat barusan, cowok itu langsung beranjak keluar.

Aku sendiri tersenyum sumringah, tahu maksud ke atas adalah ke roftop tempat dia dan sahabatnya berkumpul. Pasti Tama ingin meminta maaf kepadaku perihal kemarin yang telah membentakku. Buru-buru aku bangkit dari dudukku dan berjalan girang menaiki anak tangga.

Kulihat Tama tengah sibuk dengan ponselnya. Begitu pula Aziz dan Regon.
Gino berdiri di ujung Roftop agak jauh, bersender pada pembatas setinggi pinggangnya, bersedekap menatapku datar.

Aku berjalan pelan lalu duduk di sebelah Tama.

"Bby," panggilku membuat Tama memencet back pada layar ponselnya dan melempar begitu saja di atas meja.
Aziz dan Regon pun mengikutinya lalu keduanya bersender pada bahu sofa menatapku serius.

Aku tersenyum canggung. Merasa janggal dengan semua tatapan yang tertuju padaku.

"Oke, lo udah disini sekarang," ujar Tama menatapku tidak selembut seperti biasanya. Bahkan barusan ia mengganti panggilannya menjadi 'lo'?

IMAGINE BOYFRIENDWhere stories live. Discover now