Tiwi tinggal bersama saudara sepupunya di kota ini. Kedua orangtuanya berpisah dan kini sudah memiliki keluarga masing-masing. Tiwi jarang mendengar kabar mereka, begitu pun sebaliknya. Ia merasa ingin memutus hubungan dengan kedua orangtuanya itu. Dan sejak kelas 2 SMA, ia memutuskan untuk mencari uang sendiri. Saudaranya yang pertama kali mengenalkannya pada 'uang panas'. Awalnya ia merasa canggung ketika harus menemani pria yang tidak ia kenal untuk semalaman. Namun godaan uang membuatnya luluh dan kini menikmati hal itu. Bahkan tak jarang ia melakukannya dengan harga murah demi memenuhi kebutuhannya untuk bersenang-senang diatas ranjang.

Ia menatap meja kosong Adrian dihadapannya. Hatinya dilema. Ia menarik nafasnya dalam dan lama, lalu menghembuskannya dengan kasar.

"Kenceng amat nafasnya, kenapa, Wi?" tegur Adrian dari belakangnya yang sukses mengejutkan gadis itu.

"Oh, nggak kok, pak, nggak apa-apa." jawabnya terbata.

"Ada masalah? Jangan dipendem, entar mimisan, lho!" lanjut Adrian.

"Masa iya, pak?"

"Nggak tahu juga, sih. Asal nyebut aja." Adrian cengengesan.

"Kamu gak siap-siap pulang? Udah jam segini." kata Adrian melirik jam di pergelangan kirinya.

"Iya, pak, sebentar ini baru mau siap-siap pulang, kok."

"Eh, pulang naik apa? Mau bareng, nggak? Saya mau keluar ini, dan kayaknya searah aja sama rumah kamu. Gimana?" tawar Adrian menuju mejanya untuk mengambil kunci mobil.

"Wah, ngerepotin saya, pak. Nggak usah, pak, makasih. Naik GOJEK aja." tolak Tiwi halus.

"Yah, lumayan lho ikut saya irit sepuluh ribu uang GOJEK kamu hari ini, bisa buat besok. Ayo, udah buruan saya tunggu dibawah!" kata Adrian lagi santai.

Tiwi yang bingung akhirnya mengikuti Adrian tepat setelah mematikan layar komputernya.

Keduanya diam di dalam mobil. Hanya suara lantunan lagu dari radio yang terdengar. Sampai akhirnya Adrian memecah keheningan.

"Kamu naik GOJEK tiap hari gitu, nggak mahal, ya?"

"Nggak terlalu mahal, pak. Sehari bolak-balik dua puluh ribu. Kadang kalau pergi kerja saya nebeng sepupu saya juga."

"Dua puluh ribu dikali lima hari kerja, seratus ribu perminggu. Dikali empat minggu, jadi total empat ratus ribu. Dipotong kalau lagi dianter, anggap aja lima puluh ribu. Total sebulan tiga ratus lima puluh ribu cuma buat transport, lho,"

"Belum makan siangnya, jajannya, beli baju, make-up, nabung atau liburan. Habislah gaji kamu!" seru Adrian.

"Dicukup-cukupin aja, pak." kata Tiwi tersenyum.

'Gaji dari bapak emang nggak bakal cukup, tapi gaji selingan saya lebih dari cukup, pak.' batinnya.

"Kamu nabung dulu buat DP motor, jadi nanti kerja kan bawa motor enak. Aman aja kalau ditanya surat keterangan kerja atau slip gaji saya printkan!"

"Tapi saya nggak bisa bawa motor, pak."

"Lah? Serius? Belajar, dong!"

"Kalau bapak yang ngajarin, saya siap." kata Tiwi diiringi tawa.

"Boleh, boleh. Eh, ini rumah kamu masih jauh?"

"Masih di pertigaan di depan, pak."

"Oh, mampir ditoko depan situ dulu, ya!" kata Adrian kemudian berhenti disalah satu toko kayu. Ia mengisyaratkan Tiwi ikut turun.

Ditoko bangunan itu Adrian sedang mencari beberapa lembar papan. Ia berencana memberi sekat pada ruangannya dan ruang tunggu karna ada beberapa dokumen penting yang ia takutkan tercecer keluar. Setelah berbincang sedikit tak lama Adrian mengajak Tiwi kembali ke mobil.

Burning DesireWhere stories live. Discover now