Chapter 19 - Denial

12 2 0
                                    

Pagi menyambut dengan langit tanpa awan, cuaca juga terlihat bersahabat. Ia sudah bersiap ke sekolah.

“Hei, puteri Kos!” panggil seseorang sesampainya Bunga di dekat parkiran.

Gadis itu tidak mempedulikan betapa familiar-nya panggilan tadi. Baginya, mendengar suara itu sudah memperjelas jika asalnya pasti dari orang yang sama seperti biasa.

“Sombong. Apa ini artinya aku tak berarti lagi untukmu?!”

Bunga terus mengabaikan lelaki yang sibuk mencari perhatiannya tersebut. Bagaimanapun, posisi parkir mereka berlawanan.

Si pemanggil meletakkan helm-nya dan mulai mengejar Bunga. Keras kepala! geram gadis ber-iris cokelat itu saat mempercepat langkahnya.

Ketika masuk, Bunga sudah disambut oleh banyak orang di kelasnya. Seperti biasa, jika di luar sepi tandanya mereka menunggu di dalam karena tidak tahu waktu Bunga sampai hari ini.

“Tak bisakah kamu menyingkir dari hadapanku?” lirihnya ketika berbalik dengan hentakan kaki yang terdengar kesal.

“Biasanya kita juga jalan bersama kan? Meski kisah cinta berakhir, bukan berarti pertemanan kita berakhir juga, mengerti?”

Rey berdecak kecil selagi mengatakannya. Sikapnya sekarang membuat Bunga sedikit berpikir dia keren, sayangnya ini bukan masa di mana ia bisa memujinya dengan nyaman seperti biasa.

“Gak bisa! Temenan ataupun jalan sebelahan, itu nggak banget!”

Saucy mengerutkan keningnya selagi menatap pemilik iris cokelat di hadapannya sebelum berkata membalas dengan nada ringan, “Puteri Kos, bagaimana bisa aku menyerah begitu saja? Memangnya aku lelaki yang selemah itu? Jelas-jelas aku melihat diriku di pantulan mata itu.”

“Jangan menyimpulkan seenakmu!” peringatnya selagi menunjuk ke muka Saucy dan membuat lelaki itu mundur beberapa langkah dari hadapannya. “Kalau kubilang gak, ya gak! Cari aja yang lain, calonmu juga masih banyak tuh yang ngantri, dasar keras kepala!”

Saucy menghela napas saat menyunggingkan senyum canggungnya.

“Aku mungkin keras kepala, tapi bukan berarti pernyataanku yang tadi salah.”

“Sayang sekali,”–Bunga melipat kedua tangannya ke depan dada–“mau kamu pangeran, sultan, konglomerat atau bahkan makhluk terakhir di bumi pun aku nggak ada rasa lagi sama kamu.”

Saucy terkekeh mendengar pembelaan Bunga.

“Caramu yang bersikeras menolakku seperti ini terlihat lucu. Duh, jadi nostalgia—padahal belum selama itu.”

“Oi, mau sampai kapan kalian ribut sendiri di sana, huh? Kalau mau balikan di tempat lain aja, bentar lagi masuk nih!” sela Kinan yang memunculkan dirinya di ambang pintu.

Tatapan yang Saucy tunjukan terasa agak dingin saat berpaling dari Bunga. Dengan suara tenor yang khas, Rey berkata, “Tuh, sahabatmu udah manggil. Sana masuk, ntar telat.”

“Kamu yang bikin telat!” keluh Bunga sebelum berlari menjauh.

“Berdoalah semoga nilai matematikamu aman!” celetuk Rey yang melangkah dengan gaya santai.

“Apa maksudmu?!”

“Ntar juga tahu,” balas Rey dengan seringai menyebalkan saat berlalu melewati gadis itu.

Apa sih maunya?!

Sial, kenapa juga aku peduli?! gerutunya seraya kembali mengabaikan Rey.

Sebuah RasaWhere stories live. Discover now