1. Kota Bandung as Prolog

76.7K 3.3K 118
                                    

Aku tantang kalian untuk baca cerita sampai selesai. Sanggup untuk tidak emosi?

Selamat membaca

Hujan begitu ragu saat turun. Tampak hanya gerimis halus yang membasahi jalanan. Dari balik jendela mobil, seorang gadis cantik memandangi luar sana dengan takjub. Enam tahun berada di negeri orang, Kota Bandung tercinta sudah berubah menjadi cantik.

"Naura mau mampir ke toko bunga, ya?" tanya pria dewasa yang sedang menyetir. Dia Deri-papa gadis tadi.

Naura Gabriella. Gadis cantik dengan kulit putih, hidung mancung, rambut hitam sepunggung dan juga senyum manis yang mampu melelehkan hati. Gadis yang nyaris sempurna jika di bagian lengan kiri atas gadis itu tidak terdapat luka bakar yang ia dapatkan 14 tahun lalu. Hingga luka itu berbekas sampai sekarang.

Naura menggeleng. "Mau langsung pulang aja, Pa. Naura udah kangen banget sama Mama," katanya yang masih memandangi luar.

"Kalau begitu, kita mampir aja ke warung bakso. Papa yakin kamu gak bisa nolak itu."

Naura tersenyum lalu mengangguk. Ia menatap papanya. "Kira-kira apa yang bakal terjadi besok, ya? Naura ngerasa kalau ada sesuatu yang besar sebentar lagi di hidup Naura."

Deri terdiam. Naura bukan tipe orang yang akan mengutarakan hal random seperti tadi. Jika sudah begitu, kemungkinan besar ada hal yang akan terjadi. "Kita gak bisa nebak itu, sayang. Semua itu sudah dirancang sama Yang Kuasa. Itu cuma firasat kamu aja. Atau karena emang kamu akan menjadi orang sukses di sini," ucapnya.

Mata Naura menyipit. "Entahlah, Pa. Naura rasa setelah ini bakal ada cobaan besar di hidup Naura."

Seketika itu tawa Deri mengudara. Ia terkekeh mendengar celotehan putrinya. "Haruskah Papa percaya? Kalau Papa percaya kamu, 'ntar Papa jadi musyrik dong," ucapnya.

Naura ikut tertawa pelan. "Jangan dong, Pa." Naura kembali memandangi luar jendela. Bukannya ia melawan garis takdir atau apalah itu. Hanya saja, jika sekali perasaannya ada yang janggal, maka biasanya akan ada hal besar nantinya. Entah buruk atau tidak, ia harus tetap melewati itu.

*****

Laki-laki dengan celana jeans hitam dan juga jaket bomber berwarna navy, tengah berjalan angkuh menyusuri lorong kampus. Kakinya tegap seolah ia lah seorang raja. Tangan kanannya memegang sekaleng soda yang sudah habis lalu membuangnya sembarang arah. Persetan dengan aturan kampus, dia terlalu sulit untuk diatur.

Sepasang mata tajamnya itu seolah sedang menelanjangi siapa pun yang berani menatapnya. Bahu yang tegap itu seolah menegaskan betapa gagahnya ia.

"Galang!"

Ya. Laki-laki itu Galang Atlanta. Mahasiswa fakultas ekonomi yang selalu bertindak semaunya. Benci aturan dan benci diatur.

Galang menghentikan langkahnya saat mendengar seruan berupa namanya dari arah belakang. Ia berbalik dan mendapati sahabatnya tengah berjalan santai ke arahnya. Ditatapnya laki-laki dengan wajah putih itu malas. "Paan?" tanya Galang.

"Basket. Bram sama yang lain udah pada nunggu di lapangan," kata Denis-sahabat Galang.

Galang tampak menimang ajakan Daniel. "Gue nggak bisa. Gue baru ingat mau ngantar Dita ke salon," jawabnya.

Denis berdecak lalu menatap Galang, "Sahabat atau pacar?"

"Jangan kayak anak kecil, Den." Galang mengerlingkan matanya.

"Fine. Lo yang dewasa disini. Mau sampai kapan diperbudak sama Dita?"

"Maksud lo apa?" tanya Galang tidak suka.

"Besok-besok. Otak sama hati itu jangan disatuin. Nanti lo makin bego karena buta sama cintanya Dita," ucap Denis dramatis.

"Lo kenapa gak suka banget sama Dita? Salah dia apa?"

Denis menepuk pahanya sembari tertawa culas. "Lo tanya kenapa gue sama yang lain gak suka liat Dita?" alisnya terangkat satu, "Coba lain kali tuh mata lo dibuka lebar, lo liat dia beneran tulus sama lo atau sekedar haus populer sama harta."

Galang hanya bisa mendengarkan celotehan Denis. Bukan pertama kalinya ia mendengar jika kekasihnya itu hanya haus akan kepopuleran semata dan juga harta. Berulang kali ia mendengar, namun entah mengapa juga sulit untuk percaya.

"Perempuan yang beneran tulus itu gak akan pernah ngemis minta dibeliin tas Gucci seharga puluhan juta." Satu lontaran kalimat itu mampu menampar Galang.

"Setelah cewek lo itu ngelarang lo main bareng kita, besok-besok dia bakal ngelarang lo buat bernapas. Jangan bego banget, Gal." Denis tersenyum puas, "Gue bakal tunggu lo. Keputusan ada di tangan lo." Setelah mengatakan itu, Denis memilih untuk pergi dari sana. Moodnya hancur hanya karena kelakuan Galang.

Galang tersenyum miring setelah melihat punggung Denis menghilang dari balik tembok. "Gue gak butuh nasihat. Gue gak suka diatur, apalagi kayak lo yang cuma sebatas sahabat," katanya pelan.







Awal yang membosankan? Baca selanjutnya kalau mau tantangan.
Aku tantang kalian baca ini sampai selesai. Yang bisa nahan emosi, kalian hebat.

See ya!

Galang dan Naura ✔Where stories live. Discover now