"Kok nggak bilang dari tadi malem?" kata beliau.

"Kan tadi malam habis isya Irene langsung ilang, hehe. Oke, Yah?"

"Jadi kerjanya ayah anter, nih?" Ayah sudah bersiap berdiri, mungkin mengambil jaketnya.

"Nggak usah, Yah, udah pesen Gojek. Ini udah di depan gang. Kunci, STNK sama duitnya ada di meja dapur, ya. Berangkat dulu ayah, Assalamualaikum." pamitku mencium tangan ayah lalu menghampiri ibuku kembali di dapur.

"Pergi, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsallam" jawab keduanya seraya aku berjalan keluar.

Ku kenakan sepatuku cepat dan berjalan ke depan gang. Tak lama ku lihat mobil Ian mendekat. Aku segera naik dan tersenyum padanya sebentar. Ian pun tancap gas.

"Selamat pagi, cantik!" sapanya mengelus kepalaku.

"Pagi juga! Ini sarapan kamu." kataku mengangkat tempat makan berwarna hijau dipangkuanku.

"Senengnya dapet sarapan gratis. Bilang apa ke ibu bawa bekal dua?" kata Ian lagi kini menggenggam tangan kananku erat.

Ku ceritakan kebohongan yang ku buat hari ini pada ayah dan ibu. Aku merasakan genggamannya semakin kuat. Aku beritahu padanya bahwa aku tidak nyaman terus membohongi orangtuaku terus menerus.

"Maaf ya, sayang." katanya tiba-tiba. Aku menatapnya yang menatap lurus kejalan.

"Pacaran sama aku, malah bikin kamu sering bohong. Harusnya pas pacaran itu, kita jadi pribadi yang lebih baik." racaunya sambil sesekali mengecup punggung tanganku.

"Lho, nggak gitu maksud aku. Aku cuma cerita aja, kok." belaku tak ingin membuatnya merasa bersalah.

"Iya, tapi seandainya aku ini single, kamu pasti nggak harus bohong. Aku juga bisa kenalin diri aku ke orang tua kamu." nada suaranya makin rendah. Kini gantian aku yang mengecup punggung tangannya.

"Adrian sayang, aku gini aja udah sangat bahagia, kok. Resiko punya hubungan yang nggak boleh dipublikasikan ya kayak gini. Lagian kalau menurut kamu hubungan kita salah, ya sudah kita akhirin aja. Kamu mau?"

"Ya nggak mau, lah!" katanya menatapku sebentar. Aku hanya tersenyum.

"Kalau nggak mau, dinikmatin aja. Aku nggak apa-apa, kok." kataku meyakinkannya.

Jika boleh jujur, hatiku tak enak. Bagaimana bisa aku baik-baik saja, menaruh hati dan menjalin hubungan terlarang dengan bosku yang sudah menikah ini? Bagaimana aku bisa bahagia sepenuhnya dengan berbohong kepada semua orang? Aku tidak bisa berbagi kebahagiaanku ataupun masalah yang kuhadapi. Karena aku tahu apa yang akan teman-temanku katakan jika mereka tahu statusku sebagai simpanan. Mereka akan memintaku untuk sadar dan memutuskan hubungan kami yang jelas tidak akan ku lakukan. Setidaknya untuk saat ini.

*Author POV*

Mobil Ian sampai di kompleks perumahan kantor Irene. Ia sengaja memakirkan mobilnya agak jauh untuk mengindari Donald, seandainya saja ia datang lebih pagi.

"Kayaknya belum dateng. Aku antar sampai kantor, ya?" tanya Ian. Irene mengangguk pelan.

Mereka berjalan menuju kantor beriringan, beberapa petugas keamanan yang berjaga di daerah sekitar memberi salam pada keduanya. Beberapa menatap Ian menunjukkan tatapan penuh tanya, kenapa ia harus parkir cukup jauh padahal biasanya ia akan berhenti tepat di depan kantor.

Sesampainya di kantor, Irene segera membuka pintu. Tanpa aba-aba, Ian sedikit mendorongnya agar cepat masuk dengan Ian mengikuti dibelakangnya. Irene yang terkejut tak sempat memproses apa yang baru terjadi. Yang ia tahu kini Ian sudah di dalam kantor kosong bersamanya. Ian juga sudah mengunci pintu dibelakang mereka dan meletakkan tempat makan yang dibawa Irene ke atas meja.

Burning DesireWhere stories live. Discover now