zina mata.

657 155 27
                                    

Una kini tengah berada di salah satu kafe yang tengah ramai, Jeka tidak berbohong ketika ia bilang akan menemani Una sampai Jeff datang. Alhasil mereka berdua di sini dengan bangku saling berhadapan, namun pandangan mereka terhalang oleh laptop Jeka.

Jeka sedaritadi fokus dengan laptopnya, sedangkan Una hanya mendesah pasrah. Dirinya bosan hanya berdiam diri seperti ini. Memilih memanyunkan bibirnya dan dia teringat dengan novel yang di bawa di dalam tasnya.

Ia memilih untuk membuka tasnya dan mengambil novel tersebut. Membaca kata perkata dengan khidmat. Menurutnya, novel yang ia baca ini sangatlah mengena hingga ke ulu hati. Perjuangan seseorang dalam menemukan apa arti kehidupan dengan segala macam rintangan di dalamnya, itulah ini novel tersebut.

"Ih karakter Rikanya nyebelin. Kasian tau si Robi nya." Tanpa sadar, Una mengeluarkan gerutuannya, karena terlalu terlarut dalam cerita yang ia baca.

Jeka melirik Una yang tengah membaca sebuah novel berjudul 'Kehidupan, Sang Kebohongan Manis.' Jeka merasa familiar dengan buku tersebut, ia pun mengeluarnya seringai tipisnya dan kembali fokus dengan laptop dihadapannya.

Beberapa menit berlalu, keduanya masih saja sibuk dengan urusan masing-masing. Bayangkan saja sudah berjalan nyaris satu jam, tapi tak ada satu pun yang mengeluarkan suara untuk berbincang satu sama lain. Hingga suara isakan berhasil mengambil atensi Jeka dari laptopnya, ia melirik ke arah Una yang tengah menangis.

"Kamu kenapa?"

Pertanyaan dari Jeka berhasil membuat Una mengeluarkan cegukannya. Jujur saja, Una terkejut saat Jeka menanyakan tentang dirinya.

"Hikd... Masa, Robinya kena tabrak. Udah gitu di tuduh. Ih Rikanya nyebelinnn..." Una mengeluarkan air matanya dengan bebas. Sementara tanpa sadar Jeka mengeluarkan senyum tipisnya.

"Ck, lagian Rika juga ga senyebelin itu, dia kan emang menderita karena ulahnya Robi di masa lalu." Celetuk Jeka yang kembali membuat Una terkejut.

"Tapi kan masa pemeran utamanya, mati sih?!" Dengus Una kesal, meskipun sesekali air mata masih turun sesekali.

"Pemeran utama juga manusia. Jangan memandang pemeran utama sebagai pelaku yang selalu beruntung meskipun tertimpa sial, pemeran utama juga seorang manusia yang melakukan kesalahan." Jeka berujar panjang dengan nada tegas, membuat Una tertegun kesekian kalinya.

Jeka yang melihat Una masih terdiam, memilih mendorong tisu yang berada di atas meja ke arah Una. "Hapus." Tukasnya dingin.

Una mengerjap sebentar, lalu mengatupkan bibirnya dan akhirnya mengambil selembar tisu. Perlahan, ia pun menghapus air matanya yang masih tergenang di area mata.

"Lo ternyata pernah baca buku itu juga?" Tanya Una setelah isakan nya mulai berhenti.

Jeka mengernyitkan keningnya karena tidak paham tentang buku yang Una bicarakan, sedetik kemudian ia pun paham apa yang di maksud Una. "Iya."

"Wah beneran?! Emang sih itu cerita greget. Pas banget sama kehidupan sekarang." Una berujar antusias. "Karakter yang lo sukai di situ siapa? Kalo gue sih Robi, dia keren banget. Pemeran utama yang kuat. Lo pasti juga sama, kan?!"

"Zidan."

"Hah?"

"Karakter favorit saya, Zidan."

Una memberikan tatapan menyelidik kepada Jeka, "Kenapa? Padahal dia pemeran kesekian, bahkan bisa di sebut antagonis."

"Karena Zidan adalah watak yang harus di miliki oleh semua orang."

"Gimana? Jadi semua orang harus jahat gitu?"

"Jeffan sudah sampai di depan, kamu bisa duluan." Bukannya menjawab, Jeka malah memberi intruksi lain kepada Una. Membuat Una mengerucut sebal.

Jauh ; j.jk x j.ehDonde viven las historias. Descúbrelo ahora