SABRINA 2 - BAB IX

33 6 3
                                    

Hari sudah mulai gelap, Revan sudah mengabarkan akan menjemputku melalui telepon tadi. Aku menunggu di teras rumah bersama Juna sambil meminum teh manis hangat. Tidak henti, dia membuka topik pembicaraan ketika topik sudah bosan dibahas.

Almarhum Juno dengan Juna wajah sangat mirip, mereka kembar sangat identik. Namun, jika sudah dekat dengan mereka, pasti bisa membedakan dari kepribadiannya yang berbeda. Almarhum Juno, tipe orang yang enak diajak berdiskusi, pintar dalam mengambil keputusan, dan mudah membaca situasi. Sementara Juna, dia lebih suka bercanda dan tertawa, bukanlah orang bisa diajak serius, dan bertindak semaunya. Kalau bisa jujur, aku sangat rindu dengan kehadiran Almarhum Juno.

"Sering-sering main ke sini dong, Sab. Kasihan Mama suka nanyain lo, 'Kapan ya Sabrina ke sini, lagi?' Selalu itu yang diomongin Mama ke gue, Sab," jelasnya.

"Iya, pasti gue bakal sering-sering main ke sini kok, Jun. Doain aja, gue sehat selalu," jelasku.

"Iya, aamiin, Sab!" Ujarnya.

Revan akhirnya tiba untuk menjemputku. Keluargaku mengantar sampai ke gerbang rumah. Revan menyalami Ayah dan Mama Tiwi saat baru saja tiba. "Sehat semua, Yah? Mah?" Tanyanya kepada kedua orang tuaku.

"Alhamdulilah, Van, kamu sendiri, gimana?" Tanya Ayah.

"Alhamdulilah, sehat juga, Yah. Eee, aku sama Sabrina mau langsung pamit, ya. Soalnya sudah malam juga. Assalamuallaikum!" Jelas Revan sambil melambaikan tangan kepada kedua orang tuaku.

"Mah, Yah, Jun, aku pamit pulang, ya. Mama sering telepon Sabrina ya, jangan lupa!" Aku menyalami Ayah dan Mama Tiwi serta melambaikan tangan ke Juna.

"Iya, Sayang. Kamu hati-hati di jalan ya, Nak!" Dia mengelus kepalaku.

Aku dan Revan memasuki mobil dan melambaikan tangan ke arah mereka semua setelah itu. Di dalam mobil, Revan langsung membuka pembicaraan denganku. Terlihat bahagia sekali dia menjemputku malam ini terlihat dari raut wajahnya.

"Sab, kamu lelah, nggak? Kalau nggak lelah, aku mau jalan-jalan dulu sebentar. Kamu mau, nggak?" Tanyanya semangat.

"Ya sudah, Van, jalan-jalan saja. Aku juga pengen lihat-lihat pemandangan jalanan, sudah lama juga nggak keliling-keliling Jakarta di malam hari," aku memberikan senyuman kepadanya.

Saat melewati jalan Ibu Kota, seketika memori tentang Almarhum Juno terlintas dalam pikiranku. Aku teringat ketika dia menghiburku saat Raka tidak menepati janjinya untuk bertemu denganku, dia mengajak berkeliling Ibu Kota menggunakan motor. Seketika aku juga teringat akan penyebab kematiannya, aku langsung memerhatikan kedua tanganku menyesali keadaan yang sudah terjadi, dan tidak dapat mengembalikan Juno kepadaku.

"Tangan ini yang membuat Juno pergi," ujarku dalam hati.

Seketika ingatan Raka terlintas kembali, "Tubuh ini yang membuat Raka lumpuh dikala itu," aku memejamkan mata dan meremas kedua lenganku dengan jemariku.

Aku mengelus leher hingga kepalaku, "Jiwa ini yang hampir membuat Revan tiada!"

"Kamu kenapa, Sayang?" Dia mengelus kepalaku.

Aku membuka mata perlahan dan menoleh ke arahnya, "Aku rindu orang-orang yang berjuang sampai mati hanya untukku," aku meneteskan air mata. "They only help a witch!" Lanjutku.

Revan menghentikan mobilnya di tepi jalan. Dia mendekatkan wajahnya sambil merapihkan rambutku, "Who's witch's? What I see right now, is just a kind angel!"

"Tapi aku tidak merasakan kebaikan itu di jiwaku!" Aku meneteskan air mata kembali.

Revan menghapus air mataku, "Tapi aku benar-benar merasakannya. Isteri-ku, Sabrina Quinn, wanita yang sangat baik, wajahnya juga cantik, dan wanita itu nggak terlihat seperti penyihir," dia mengelus wajahku dengan jemarinya. "I love you!" Dia mencium bibirku.

SABRINA: LOVE IS A CURSE [TERBIT] | CIRCLE OF DARKNESS [ON GOING]Where stories live. Discover now