SABRINA 2 - BAB II

72 8 0
                                    

Matahari sudah berada di atas langit yang menandakan siang sudah menyelimuti bumi. Aku bersiap untuk pulang dari penginapan menuju rumah Revan. Kami menggunakan Taxi untuk transportasi pulang karena dia tidak membawa mobilnya kemarin. Di dalam Taxi, aku meminta maaf atas sikapku yang cukup mengganggu hari ini. Aku takut, dia menjadi tidak nyaman dengan sikapku.

"Iya, nggak apa-apa, Sayang," dia mengelus kepalaku. "Nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah apa pun kok," lanjutnya lembut.

Betapa beruntungnya aku memiliki Revan yang sangat mengerti diriku. Sesampainya di rumah Revan, ada seorang ibu membawa anaknya yang berumur sekitar 7 tahun menghampiri kami dengan penuh kecemasan. Terlihat ibu ini tergesa-gesa dan menggenggam tangan anaknya sangat erat.

"Mas, tolong anak saya! Anak saya, selalu bicara sendiri dan selalu berkata mau pergi sama temannya yang udah meninggal 3 hari yang lalu. Tolong saya, Mas! Saya takut, anak saya kenapa-kenapa nantinya, saya nggak mau kehilangan, anak saya!" Ujar ibu ini tergesa-gesa.

Revan memberikan senyumannya, "Ya sudah, masuk dulu, Bu, ke dalam sama anaknya."

Revan bersama ibu dan anak ini masuk ke dalam, aku masih berdiri melipat tanganku di depan rumah. Perkataan ibu ini benar adanya, ada sosok anak laki-laki yang sekujur tubuhnya berbalur lumpur. Sosok ini terlihat seperti seusia dengan anak tadi, dia tidak ingin masuk ke dalam rumah ini, dia hanya berdiri tepat di hadapanku sekarang. Matanya mulai merah dan menampakan wajah kesal kepadaku. Aku sangat yakin, dia hanya jelmaan Jin yang menyerupai teman anak tadi, seperti halnya Misel di kala itu.

"Kenapa anak, itu?" Tegasku.

Dia tertawa cekikikan di hadapanku, lalu tiba-tiba menghentikan tawanya, dan membuka lebar matanya dengan wajah kesal. Aku membaca ayat kursi berulang kali sambil menatapnya. Dia mulai geram dengan lantunan doaku saat ini. Sosok ini mulai berteriak dan bergerak dengan arah yang tidak menentu. Semakin lama, dia berteriak semakin keras. Dia merubah wujudnya menjadi sosok perempuan berbalut kain putih berwajah sangat hancur. Aku mengulang ayat demi ayat, dia berteriak dan mencoba mendekatiku dengan sangat cepat.

"Allahuakbar!" Aku mendorong sosok ini dengan tangan kananku dan sosok itu akhirnya pergi menjauh dariku.

Aku segera memasuki rumah dan bergegas wudhu untuk membersihkan diri. Setelah selesai, aku mencoba untuk melihat keadaan anak tadi, terlihat Revan memberikan penjagaan untuk anak ini. Setelah Revan selesai, aku menghampiri mereka, dan duduk di samping Revan.

"Nanti ajarin anaknya ngaji sama solat ya, Bu. Jangan lupa, ibunya juga rajinin lagi solatnya, biar rumahnya adem," jelas Revan.

"Iya, Mas. Terima kasih banyak ya, Mas, Mba," ujar ibu ini dan menjulurkan uang kepada Revan.

"Nggak usah, Bu," Revan menolak halus. "Ibu sumbangin saja ke anak yatim piatu ya, semoga berkah ya, Bu," lanjut Revan.

"Sekali lagi terima kasih banyak ya, semoga keluarga kalian diberikan kebahagiaan selalu," ibu ini terlihat sangat gembira.

"Iya, Bu. Terima kasih kembali atas doanya," ujar Revan.

"Saya pamit, Assalamuallaikum!"

"Waalaikumsalam! Hati-hati dijalan ya, Bu," ujar Revan.

Kami mengantar ibu dan anak ini sampai ke depan gerbang. Anak ini sudah bisa tersenyum kembali, tidak seperti saat dia baru saja tiba di sini. Sangat senang sekali bisa menolong orang lain, walaupun tidak seberapa.

Setelah mereka pulang, kami bergegas untuk membersihkan rumah, dan menata pakaianku di dalam lemari Revan. Di rumah ini, Revan hanya tinggal bersama Bibi yang membantunya untuk mengurus rumah. Sekarang ditambah aku sebagai penghuni baru. Terlalu asyik membersihkan dan merapihkan rumah, kami sampai tidak sadar kalau hari sudah malam. Rasanya lelah sekali setelah melakukan banyak aktivitas hari ini. Sebelum tidur, kami bertiga makan terlebih dahulu di meja makan. Hari ini, Bibi masak cukup banyak makanan, aku sangat bersyukur dapat diterima dengan sangat hangat di rumah ini.

"Makan yang banyak, Non!" Ujar Bibi semangat.

"Iya, iya, Bi," sahutku dengan senyuman.

"Den Revan, senang banget kalau Bibi, masakin kentang balado pakai pete, lahap pasti makannya," jelas Bibi dengan senyum semeringah.

"Oh, ya?" Tanyaku semangat.

"Pete for life, Sab," gurau Revan dan kami semua tertawa bersama setelah itu.

Setelah makan, aku membantu Bibi untuk mencuci piring di dapur. Revan langsung bergegas masuk ke dalam kamar, sepertinya dia lelah atas kegiatan hari ini.

"Non, kalau lelah, biar Bibi saja yang cuci piringnya," ujar Bibi membuka pembicaraan denganku.

"Nggak apa-apa, Bi. Aku nggak lelah kok," ujarku menenangkannya.

"Aduh, Non! Udah cantik, baik lagi. Alhamdulilah, Den Revan, berjodoh sama, Non Sabrina," ujarnya penuh kegembiraan.

"Ya ampun, Bi. Aku jadi malu. Terima kasih ya, Bibi sama Revan udah bisa nerima aku di sini," jelasku.

"Bibi mah, malah senang jadi nambah teman di rumah, Non!"

"Bi, aku boleh tanya sesuatu, nggak?" Aku memelankan suara.

"Boleh atuh, nanya apa?"

"Ayah Revan, setelah acara kemarin, main ke sini, Bi?" Tanyaku penasaran.

"Nggak, Non," jawab Bibi singkat.

"Ohh, gitu. Revan sama Ayahnya, memang kurang dekat ya, Bi?"

"Ya begitulah, Non, tapi yang Bibi tahu, mereka walaupun nggak terlalu dekat masih suka telepon kalau malam, Bibi suka dengar kalau belum tidur," jelas Bibi.

"Ohh, memangnya sejak kapan, Ayah Revan nggak tinggal di sini, Bi?" Tanyaku semakin penasaran.

"Sejak ibuku sudah tiada," Revan tiba-tiba muncul di sampingku.

Aku tersentak, "Ya ampun, Van! Aku kaget kamu tiba-tiba muncul," ujarku mengelus dada.

Revan tersenyum, "Dulu ada kakek dari ibuku di sini, beberapa tahun yang lalu kakek juga menyusul ibuku tidak lama dari kepergian ibuku untuk selamanya, aku hanya tinggal bersama Bibi, di sini setelah itu," jelas Revan.

Aku jadi tidak enak hati saat Revan mengetahui pembicaraanku dengan Bibi. Aku hanya membalas penjelasannya dengan senyum ragu.

"Bi, aku pinjam Sabrinanya ya," lanjut Revan.

"Ya ampun, pinjam saja atuh, kan sudah punya Den Revan seutuhnya," gurau Bibi.

"Kita duluan istirahat ya, Bi," ujarku.

"Iya Non, silakan!" Sahut Bibi yang masih melanjutkan mencuci piring di dapur.

Revan memintaku untuk membersihkan diri dulu sebelum terlelap. Aku hanya menuruti saja permintaannya yang menurutku baik. Aku berharap kejadian tadi di penginapan tidak terulang kembali, aku masih sangat waspada saat memasuki kamar mandi kembali. Mandiku kali ini hanya memakan waktu 15 menit saja, aku rasa ini adalah mandi tercepatku selama hidup di dunia. Aku langsung berpakaian dan bergegas untuk istirahat setelah itu. 

***********************************************************************************************

Terima kasih sudah membaca cerita SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS. Jangan lupa vote dan berikan komentarnya ya, karena support kalian sangatlah berharga. Tunggu kelanjutan cerita SABRINA, hanya di wattpad. See you on the next part!

Warm Regards,


INDRI HELWINA

SABRINA: LOVE IS A CURSE [TERBIT] | CIRCLE OF DARKNESS [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang