SABRINA 2 - BAB VI

49 6 1
                                    

Hari mulai Sore, Revan sudah menyelesaikan orang terakhir yang datang. Revan terlihat lelah saat memasuki kamar. Dia membaringkan tubuhnya di kasur dan menaruh kepalanya di atas pahaku.

"Kamu mau makan nggak, Van?" Tanyaku membasuh keringatnya.

"Nggak, Sab, nanti saja. Aku mau rebahan aja di dekatmu," Revan memeluk pergelangan tangan kiriku.

Sikap manjanya membuat aku tersenyum sendiri, "Eh, kamu mau aku creambath-in, nggak?" Tanyaku semangat.

"Apa itu, creambath?" Tanyanya penasaran dan membangkitkan tubuhnya.

"Enak deh, pokoknya. Mau, ya?" Aku tersenyum semeringah.

"Ya sudah, boleh deh, nggak enak, awas aja, ya," Revan mencolek hidungku.

"Iya, iya," aku beranjak mengambil peralatan untuk creambath yang berada di meja rias.

Aku meng-creambath Revan, dia nampak sangat menikmati pijatan di kepalanya yang terlihat dari raut wajahnya, "Enak, kan? Di pijat-pijat kepalanya? Apa aku bilang, nggak percaya sih," ejekku.

"Fix! Mulai sekarang creambath adalah kesukaanku," guraunya yang masih memejamkan mata menikmati pijatanku.

Tidak terasa malam tiba, aku meminta Revan untuk membersihkan kepalanya dari sisa creambath dan sekalian tubuhnya agar menjadi lebih segar sebelum terlelap. Aku merebahkan tubuhku di kasur untuk menunggunya selesai mandi sambil memainkan handphone sekadar melihat sosial media.

Setelah selesai, Revan berpakaian dan langsung merebahkan tubuhnya di kasur, dia selalu menyempatkan untuk berbincang sebelum tidur bersamaku. Entah hal yang sudah terlewat dibahasnya, rencana masa depan, dan banyak hal yang dapat menjadi topik pembicaraan.

"Maaf ya, Sayang. Hidup kita sederhana seperti ini," ujarnya memainkan rambutku dengan jemarinya.

"Apa deh, kamu ngomongnya, Van. Gini aja udah bersyukur, Alhamdulilah! Kita masih dikasih hidup sama Allah, udah bersyukur banget, Van," jelasku kepadanya.

"Kamu bahagia sama aku, Sab?" Senyum ragu kembali mendampingi pertanyaannya.

"Banget, banget, banget, Van!" Jelasku di dampingi tawa kecil.

Revan memintaku untuk mendekat dengan tubuhnya, lalu dia mendekapku dengan erat. Terasa harmonis sekali rumah tanggaku bersamanya. Aku hanya bisa berharap akan selalu seperti ini sampai akhir hayat.

Jam menunjukkan pukul 23:00 WIB, Revan sudah tertidur pulas yang masih mendekapku saat ini. Seketika aku mendengar suara barang seperti panci atau sejenisnya jatuh dari arah luar kamar. Aku masih berusaha untuk berpikir positif bahwa ada tikus yang menjatuhkannya. Aku melepaskan dekapan Revan perlahan agar dia terbangun dari tidurnya.

Tidak lama kemudian, ada langkah kaki yang begitu cepat terdengar, sumber suara tersebut dari atas atap kamar ini. Aku semakin khawatir saat ini, lampu kamar tiba-tiba mati dengan sendirinya. Napasku menjadi tidak beraturan dan jantungku berdegub sangat kencang. Aku mendekap bantal yang berada di dekatku sekarang untuk mengurangi kecemasan. Seketika lampu kembali menyalah dan aku melihat ada sosok anak kecil duduk di atas lemari yang hanya berjarak sekitar 2 meter dari kakiku. 

Aku mencoba menutup mataku sejenak dan mengatur napas untuk menghilangkan pikiran negatif saat ini, aku masih menganggap bahwa ini adalah halusinasiku saja

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku mencoba menutup mataku sejenak dan mengatur napas untuk menghilangkan pikiran negatif saat ini, aku masih menganggap bahwa ini adalah halusinasiku saja. Perlahan aku membuka mata, sosok tersebut sudah tidak ada di tempat tadi. Saat aku menoleh ke arah Revan, ternyata anak kecil tersebut berdiri tegap di belakangnya sambil melihatku dengan membuka mulutnya lebar dan berkata, "Dia datang!" Sontak, aku menutup mataku dan menutup telinga dengan kedua tanganku sambil bergumam sendiri.

"Hey, Sab! Ada apa?" Revan mengguncang-guncangkan tubuhku yang masih memejamkan mata dan bergumam sendiri.

"Itu di belakang kamu ada anak kecil, Van," ujarku gemetar tidak berani membuka mata.

"Mana? Nggak ada! Nggak ada apa-apa, Sab," jelas Revan.

Aku mencoba membuka mata dan melepas dekapan tanganku di telinga. Memang benar sudah tidak ada sosok tadi di sana.

"Kamu mau minum, Sab? Aku ambilin ya, biar agak tenang," tanya Revan ingin beranjak dari tempat tidur.

"Jangan! Jangan tinggalin aku, di kamar sendirian. Aku ikut kamu ke dapur aja," rasa takutku masih terasa hingga saat ini, sangat teringat jelas wajah dari anak kecil tadi yang sangat kendur, matanya hitam keseluruhan, dan mulut yang terbuka sangat lebar tidak seperti manusia pada umumnya.

"Ya sudah, iya, Sayang," ujarnya meraih tanganku untuk bangkit.

Aku menggenggam erat pergelangan tangan Revan hanya untuk menuju dapur. Aku merasa frustasi sekarang akan hidup yang penuh dengan teror. Aku merasa akan gila, jika selalu seperti ini setiap harinya. Aku yakin, Revan sangat lelah akan sikapku yang selalu aneh seperti ini. Revan hanya manusia biasa, dia pasti memiliki emosi, dan juga rasa lelah, hanya saja dia tidak ingin mengeluarkan semua itu di hadapanku. Dia mengambilkanku segelas air putih dan mengajakku duduk di ruang tamu setelah itu. Terlihat pintar sekali, dia menutupi rasa lelahnya di hadapanku. Aku meminum air tersebut hingga habis tak tersisa.

"Gimana? Udah tenang?" Tanyanya mengelus lututku.

Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum kepada Revan. Dia menggenggam tanganku begitu erat setelah itu. Dia tertunduk dan menaruh tanganku di dahinya, isak tangis Revan pecah begitu saja.

"Aku merasa gagal jaga kamu, Sab. Aku bisa nolong banyak orang, tetapi isteri aku sendiri, nggak bisa aku, tolong! Maafin aku, Sab! Aku yakin kamu pasti kecewa sama aku yang nggak bisa berbuat apa-apa seperti ini," jelasnya sambil menahan isak tangis.

Baru kali ini, aku melihat Revan seperti ini, aku menjadi merasa bersalah sampai mendengar dia mengaku gagal menjagaku. Dia sama sekali tidak menyalahkanku akan hal ini, sikapnya sangat dewasa.

"Nggak sama sekali, Van. Aku nggak merasa gitu," aku mencium punggung tangannya dan meneteskan air mata.

"Temani aku hingga akhir hayat bahkan sampai di akhirat, Sab. Aku nggak bisa bertahan kalau nggak ada kamu," ujar Revan meneteskan air mata dan mengecup punggung tanganku.

Aku langsung mendekat dan memeluknya, "Iya, Van. Aku bersedia menemani kamu bahkan sampai akhirat pun," jelasku.

"Terima kasih, Sayang," dia memelukku semakin erat setelah itu.

***********************************************************************************************

Terima kasih sudah membaca cerita SABRINA 2: CIRCLE OF DARKNESS. Jangan lupa vote dan berikan komentarnya ya, karena support kalian sangatlah berharga. Tunggu kelanjutan cerita SABRINA, hanya di wattpad. See you on the next part!

Warm Regards,

INDRI HELWINA

SABRINA: LOVE IS A CURSE [TERBIT] | CIRCLE OF DARKNESS [ON GOING]Where stories live. Discover now