Nomor 33 Perobohan Aula Belakang

112 102 2
                                    

Segala kelengkapan untuk membuktikan kejahatan Gunawan sudah berada satu di dalam tas yang Rama bawa. Hari ini akan menjadi hari bersejarah dan merupakan akhir dari perjuangan mereka untuk mengungkap semuanya. Rama berharap semuanya bisa lancar tanpa ada kendala.

Seragam putih abu-abu dibalut jas berwarna senada dengan celana itu sudah menempel di tubuhnya, nampak pas dan keren. Sentuhan terakhir sebelum keluar kamar ialah tak lupa menyemprotkan parfum.

Keluar dari kamar, menuruni tangga dan ia akan sarapan bersama Lanita. Gadis itu sudah siap bahkan membantu menyiapkan sarapan. Rama membenarkan dasinya yang kurang erat disampul.

"Lanita, sarapan apa?" Tubuh Rama bergeming.

Pandangan dua orang yang ada di meja mendongak. Yang satu menatap meminta tolong, satunya lagi meminta penjelasan. Dari sekian banyaknya hari, kenapa harus sekarang?

"Duduk. Sarapan," ucap Digo tanpa ekspresi.

"Kenapa Papa pulang?"

"Apa sopan nanyain itu sama papa sendiri?" Digo sedang tak mau memulai pertengkaran, ia mencoba tenang dan tak tersulut emosi. "Duduk."

Rama pun duduk di kursi yang berhadapan dengan Lanita. Dapat dilihat dari sorot matanya Lanita merasa tidak nyaman dan takut. Entah Digo sudah sejak kapan berada di rumah dan sebanyak apa yang sudah Digo katakan pada Lanita.

"Lanita, kita---"

"Kamu yang masak telur ini?" Digo bertanya sembari menguyah telur dadar. Ia tak menatap Rama yang sedang menahan kesal karena Digo memutuskan pembicaraannya.

Tangan Lanita yang ada di atas paha saling terkepal. "I-iya, Om. Enak?"

"Asin." Digo menyuapkan nasi ke mulutnya. "Tapi, masih bisa dimakan."

Rama belum menyentuh sarapan. Lanita juga tidak menyendokkan nasi di piringnya. Mereka berdua tak berani untuk melakukan sesuatu di meja makan bila ada Digo di sekitar mereka.

"Kalian nggak makan?" Digo menoleh ke kanan dan kiri. "Sebelum berangkat, harus sarapan. Kamu nggak mau cicip masakannya Lanita?"

"Papa mau apa?" tanya Rama langsung pada intinya. Digo itu tipikal orang yang tidak suka basa-basi. Apalagi dengan Rama. Sudah beberapa tahun ini hubungan mereka jauh, seolah hubungan antara ayah dan anak tak melekat di hati masing-masing.

Digo menyimpan sendoknya di piring dengan keras. "Sarapan. Memangnya nggak boleh? Kamu marah karena ketahuan kan bawa perempuan di rumah."

"Papa!"

Lanita mulai menundukkan kepala. Tangannya makin terkepal, matanya mulai memburam karena genangan air mata, seluruh tubuhnya panas dingin mendengar pertengkaran mereka.

"Papa nggak marah. Papa sudah dengar dari bu Dayu." Penjelasan Digo sedikit membuat emosi Rama mereda. "Lagian dia anak baik. Bukan begitu Lanita?"

Rama memandang gadis itu. Seharusnya ia tak menbiarkan Lanita melihat kejadian ini. Pagi harinya yang ia sambut gembira justru mulai retak.

"I-iya, Om. Maaf tinggal di rumah Om, nggak izin."

"Nggak papa. Kamu di sini juga, Rama jadi punya teman main." Digo tersenyum sinis.

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang