Nomor 28 Kakak Lanita

134 138 0
                                    

15 menit berlalu. Mobil Syahdan akhirnya sampai dengan selamat setelah melalui perjalanan panjang karena kemacetan. Kendaraan beroda empat ini menepi di samping rumah Lanita, sehingga untuk mencapai halaman dibutuhkan sekitar 10 langkah. Hal ini Lanita yang meminta karena tidak mau kakaknya melihat bahwa ia diantar pulang dengan mobil mewah yang diisi oleh empat laki-laki. 

Rama ikut turun dari mobil, membiarkan Lanita menyusul turun, dan menutup pintu karena Rama hendak mengantarkan Lanita masuk.

"Kak, sampe sini aja. Gue nggak papa kok, paling dimarahin. Habis itu juga selesai." Lanita nampak tak enak hati, Rama sudah melakukan berbagai hal demi Lanita, sepertinya nampak tak tahu berterima kasih sekali kalau Lanita turut membawa Rama ke dalam masalah keluarganya.

"Kalau mereka usir lo?" tanya Rama.

"Nggak akan. Kakak masuk mobil. Biar gue yang ladenin mereka." Lanita tersenyum.

"Ya udah. Kalo butuh sesuatu bilang." Rama balas tersenyum. Berbalik badan dan berjalan kembali masuk ke dalam mobil Syahdan.

Lanita menarik napas dan mengeluarkannya lagi. Sekarang Lanita harus siap berhadapan dengan dua kakaknya. Pasti mereka cemas dan sedang pusing mencari karena Lanita sudah tidak pulang selama seminggu.

Akan ada banyak yang Lanita jelaskan, ia tak mau menceritakan kronologi kejadian ia terkena tendangan sampai masuk rumah sakit. Takutnya kedua kakaknya itu malah melapor pada kedua orang tua mereka.

Lanita mencoba membuka pintu. Rupanya dikunci. Lanita pun menekan bel. Selama semenit berdiri, tak ada jawaban dari orang rumah. Lanita melihat garasi, kosong. Pertanda kedua kakaknya sedang pergi menaiki mobil.

Lanita pun duduk di teras. Namun tak lama, mobil berwarna kuning masuk ke pekarangan. Lanita berdiri guna menyambut mereka.

Empat pintu mobil terbuka. Menampilkan Kania dan Jania yang baru saja pulang belanja bersama pacar masing-masing. Mereka nampak bahagia, tak ada raut kekhawatiran karena adiknya menghilang.

"Kak," panggil Lanita agar menyadarkan mereka berempat.

Jason menyipitkan mata, tersenyum lebar. "Lanita, darimana aja kamu?"

"Dari rumah teman, Kak," jawab Lanita sopan.

Kania mendengkus, ini yang paling ia benci bila Jason berkunjung dan Lanita harus memasang muka di depan mereka. Adiknya itu pasti akan bersikap sok manis dan Jason akan terpikat. Itu menjengkelkan sekali.

Kania yang mengenakan kacamata hitam menurunkannya sampai ke hidung. "Kok lo pulang?"

Jania yang sedang dirangkul pacarnya itu mencibir. "Tau. Bikin nambah beban aja."

Tiba-tiba Lanita disergap oleh perasaan sakit hati luar biasa. Setelah Lanita terluka seperti ini, pernah dalam keadaan antara hidup dan mati, mereka justru tak menganggap Lanita seberharga itu dalam keluarga.

Lanita tahu posisinya yang bukan keluarga asli, namun dia telah bersama keluarga ini sejak belasan tahun. Lanita sudah menyayangi mereka, merasakan semua suka duka, Lanita juga bahkan selalu ingat keadaan mereka apakah baik-baik saja atau tidak.

"Gue kangen sama kalian," ujar Lanita.

"Kangen? Kita nggak tuh. Justru kita happy  karena lo nggak ada di rumah. Jadi kita bisa bebas dan nggak perlu urus anak SMA yang masih bau jahe." Jania memeluk mesra pinggang kekasihnya. "Iya kan sayang?"

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang