Nomor 16 Tawuran Sekolah

325 313 15
                                    

Aula belakang kembali didatangi Rama. Lelaki berperawakan tinggi itu melangkah mendekati Sandi yang sedang berdiri sembari bersedekap, memandang seorang lelaki yang berlutut dengan mulut dilakban dan keadaan wajah babak belur.

Sandi menoleh ketika Rama datang. "Masalah baru."

"Dia buat ulah apa?" Rama mengendikkan dagu, menunjuk siswa yang berkeringat dingin ditatap olehnya.

"Dion adu domba nama baik dua sekolah. Kemarin juga ngelabrak anak SMA Cendrawasih. Karena nggak diterima dikeroyok, teman-teman mereka bakalan serbu sekolah kita," lapor Sandi, "untung gue dapat kabar dari broadcast whatsapp kalo bakalan ada tawuran."

Kedua kaki Rama kembali mendekati Dion. Wajah babak belur dibalut keringat dingin itu nampak enggan menoleh pada ketua OSIS yang amat berbahaya.

Harusnya penyerangan ini tidak sampai terdengar pada Rama, Dion sendiri lupa kalau temannya memiliki jempol yang gatal kalau tidak membeberkan ke orang lain lewat grup. Alhasil, teman yang memiliki teman menyebarkan info itu sampai ke Sandi.

"Kapan mereka datang ke sini?" Rama bertanya dengan tanpa ekspresi.

Dion memilih menggeleng.

"Berapa banyak yang datang?" Lagi, sebuah pertanyaan terlontar.

Jawabannya pun tetap sama, menggeleng.

Sandi menepuk dahi. "Sorry." Lakban pun dilepaskan tanpa kelembutan.

Dion meringis, merasakan nyeri ketika lakban dicabut dengan paksa dari bibir, bulu-bulu halus di wajahnya nampak ikut tertarik paksa, rasanya nyaris membuat bulu kuduk berdiri. Ekor mata Dion sempat menatap Rama, dan sumpah demi apapun ia ingin keluar dari tempat jahanam ini.

"Jawab!" Rama membentak.

"Gu-gue minta maaf. Biarin gue lolos kali ini, Ram. Please...," pintanya sembari memegang tangan Rama, menundukkan kepala dengan badan gemetar ketakutan.

Kerah seragam Dion ditarik Rama. Dicengkram kuat guna memaksa Dion untuk segera memusatkan perhatiannya padanya. "Jawab sekarang juga."

"Tolong, Ram. Kalo gue di sini gue bisa mati." Dion bersimpuh memohon.

"Kalau lo pergi, satu sekolah bisa mati!" Tubuh Dion jatuh tersungkur karena Rama mendorongnya.

Sandi melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Bentar lagi jam istirahat."

Dion mengusap kedua tangannya di depan dada. "Tolong, Ram. Tolongin gue. Kalau gue terus di sekolah ini, nyawa gue taruhannya. Tolong, Ram."

Gigi Rama bergemeltuk menahan emosi. Masalah ini rumit karena Dion rupanya dijadikan tumbal. Jika lelaki itu di sini, maka anak Cendrawasih tidak akan diam dan akan membawa Dion untuk diberi balasan. Namun, bila Dion pergi, SMA Tarumanegara akan kena ulah dari kemarahan anak SMA Cendrawasih.

"Gue nggak punya banyak waktu, Ram. Biarin gue pergi...," Dion terus mengusap kedua tangan di depan dada.

Sandi dan Rama sama-sama menolehkan kepala mereka. Ucapan Dion yang ketakutan justru dapat ditarik kesimpulan bahwa waktu penyerangan itu memang sebentar lagi.

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang