23

20.7K 1.6K 17
                                    


Bagas masuk kedalam rumahnya, setelah selesai mengantar Selfi pulang ia beranjak untuk pulang kerumah karena hari sudah mulai gelap. Ia tidak mau membuat Bundanya khawatir.

Diruang tamu Samar-samar Bagas mendengar suara Teriakan tak jelas. Bagas semakin masuk kedalam, ia penasaran apa yang sedang terjadi. Bagas mengikuti sumber suara yang ia yakini dari ruang tamu.

Bagas menghentikan langkahnya, ia menemukan keluarga lengkapnya ada disana. Dan lebih lagi kedua orangtuanya sedang berdebat.

"Apakah kamu tidak memikirkan perasaan anak-anak kita? Yang selama ini kamu asingkan dan kami sudah menerima semua perbuatan kamu. Dan sekarang kamu ingin kami kembali demi kepentingan kamu sendiri?" Maya menatap kecewa pria dihadapannya.

"Kamu pikir kami barang? Yang bisa kamu buang kapan saja dan kamu gunakan kapan saja jika kamu membutuhkannya?!"

"Aku baru tahu jika ayah dari anak-anakku telah berubah menjadi monster. Dengan perceraian kita aku berharap kamu bisa belajar dari hal itu dan berubah menjadi lebih baik lagi, ternyata tidak kamu masih sama" Maya menatap mantan suaminya dengan tatapan sulit diartikan.

Bagas mendengus, apakah Ayahnya belum puas menghancurkan hidupnya. Tak ingin membiarkan Ayahnya terlalu lama bersama Bundanya, Bagas bergegas menghampiri mereka yang sedang berdebat.

"Ada apa anda kesini?"

Suara dingin dengan wajah datar itu mengalihkan perhatian kedua orang dewasa itu yang tengah berdebat. Bagas berjalan mendekati Bundanya, berdiri didepannya untuk melindungi wanita tua itu yang merawatnya sejak kecil.

"Bagas, Ayah kangen sama kamu" tangan pria itu terulur ingin memeluk Bagas.

"Tuan Anggara yang saya hormati, saya tidak memiliki waktu untuk berbasa-basi dengan Tuan. Saya yakin kedatangan anda memiliki maksud tertentu" Bagas menatap Ayahnya datar.

"Ayah ingin kamu tinggal dirumah bersama seperti dulu Nak" ucap Anggara memberitahu maksud kedatangannya kesini.

"Bukankan anda sendiri yang sudah membuang kami dan memilih perempuan jalang itu? Lalu untuk apa anda memungut sampah yang sudah Tuan Anggara buang?" Bagas mendengus, ia terlalu muak berhadapan dengan Ayahnya.

"Saya tidak membuangmu, buktinya setiap bulan saya selalu mengirimmu uang dan memenuhi semua kebutuhan kamu" Anggara menatap putra bungsunya datar.

"Cih, anda pikir uang bisa membuat saya bahagia? Bisa membeli kasih sayang  yang saya butuhkan, tidak bukan?" Bagas menatap tak percaya dengan ucapan Ayahnya.

Laki-laki yang dulu ia kagumi dan ia banggakan, selalu ia jadikan panutan. Namun kini berubah menjadi orang yang tak ia kenali. Ia telah mati rasa dengan kedua orang dihadapannya sekarang, bahkan Bagas sudah menganggap mereka mati.

Ayah yang seharusnya selalu ada bersamanya Kini sudah terlihat asing dimata Bagas, karena dengan teganya Ayahnya membuangnya begitu saja. Menceraikan Bundanya dan memisahkan dirinya dengan kakak laki-lakinya. Sekarang Ayahnya ingin kembali bersamanya, setelah apa yang dilakukan Ayahnya kepada keluarga kecilnya.

"Nak pulanglah bersama Ayah" Anggara hendak menyentuh tangan Bagas, namun langsung ditepis oleh pria itu.

"Jaga sikap kamu Bagas! Saya ini Ayah kamu, orangtua kamu juga" Ucap Pak  Anggara lantang.

"HAH? SAYA TIDAK SALAH DENGAR? AYAH?SEJAK KECIL SAYA TIDAK MEMILIKI SEORANG AYAH!! AYAH SAYA SUDAH MATI" ucap Bagas menatap ayahnya dengan sirat mata kekecewaan.

"Kalau begitu saya beritahu alasan saya datang kesini" Pak Anggara menatap tajam Bagas, seolah yang berdiri didepannya adalah orang lain. 

"Kamu tau kedatangan saya kesini bukan untuk membawa kamu kembali bersama saya ataupun mengajak ibumu kembali dengan saya!!"

"Saya ingin menjodohkan kamu dengan anak teman bisnis saya. Dengan begitu perusahaan saya akan semakin kuat dan memperluas pembangunan cabang" Pak Anggara mengatakannya dengan lugas tanpa terbebani sedikit pun.

Bagas terkejut dengan penuturan Ayahnya, namun sebisa mungkin ia menormalkan kembali raut wajahnya. Tangannya sudah mengepal menahan amarah.

"Bagaimana? Dalam hal ini kita sama-sama diuntungkan. Kamu bisa tinggal bersama kami, seperti apa yang kamu mau dari dulu. Dan saya bisa memperluas cabang perusahaan saya, tawaran yang menarik bukan?" Pak Anggara tersenyum miring, menatap Bagas yang wajahnya memerah menahan amarah.

Rahang Bagas mengeras, tangannya semakin kuat mengepal hingga jari jemarinya memutih. Maya hanya bisa mengelus lengan Bagas menahan amarah pria itu sebelum benar-benar meledak.

"Bukankah Anda juga memiliki satu putra tuan Anggara? Kenapa harus saya?" kata Bagas penuh penekanan.

"Ya karena saya tau kamu tidak berguna dan tidak memiliki masa depan. Hobimu hanya membuat onar semenjak dulu dan sekarang saya juga tau kamu bergabung dengan geng motor yang cukup ditakuti. Apa yang bisa dibanggakan dari kamu"

Bagas tersenyum remeh. "Saya yakin jika Geo mendengar ini, dia pasti marah besar dan merasa malu memiliki Ayah seperti anda"

"Anggap saja ini sebagai balasan kamu terhadap uang yang sudah saya berikan" Pak Anggara semakin melebarkan senyumannya, melihat anaknya yang tak berkutik membuatnya senang.

Maya hanya bisa menatap Bagas dengan iba, sulit merubah keputusan yang sudah ditetapkan oleh pria itu. Karena keputusannya adalah mutlak. Maya takut jika harus menentang, karena ia sangat mengenali mantan sumainya. Mantan suaminya bisa berbuat di luar dugaan.

Bagas berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, menimbulkan tanda tanya besar. Tak lama Bagas kembali dengan memegang sebuah kartu ditangannya.

Mata Bagas menatap nyalang Ayahnya, tak ada lagi tatapan kagum seperti dulu. Kini tatapannya dipenuhi dengan kebencian.

"Anda bilang uang?!" Bagas mengangkat kartu yang ada ditangan kanannya. "Saya kembalikan uang yang sudah anda berikan dan harus anda tahu juga saya tidak menggunakan uang itu sepeser pun" Bagas menyelipkan kartu tersebut kedalam saku kemeja Ayahnya.

"Pintu keluar ada disana, takut Tuan Anggara lupa" Bagas menunjuk pintu keluar dengan tatapan yang datar.

Ucapan Bagas kali ini terlihat tenang, namun dingin menyiratkan ancaman dan kebencian. Ucapan Bagas seperti pisau tak kasat mata yang berhasil menusuk kedua orangtuanya.

Pak Anggara berbalik meninggalkan rumah itu tanpa menengok.

•••

Bagas duduk ditepi kasur miliknya, menghadap kearah balkon yang menampilkan langit malam yang gelap. Seolah langit mengerti betapa memilukan kehidupannya.

Pintu kamar Bagas terbuka, menampilkan sosok wanita yang sudah merawatnya sejak kecil.

"Sudah jangan dipikirin, Bunda yakin kamu itu sudah dewasa dan menentukan pilihanmu sendiri" Maya ikut duduk ditepi kasur, mengelus lembut pundak Bagas.

"Bunda akan selalu ada untuk kamu dan akan selalu mendukung segala keputusanmu. Karena Bunda yakin keputusan yang kamu ambil itu pastinya yang terbaik"

Tanpa bicara Bagas langsung memeluk wanita itu erat. Mencurahkan segala keluh kesahnya dan juga kesakitan yang ia rasakan selama ini.

"Percayalah Ayahmu sangat menyangimu, apapun yang terjadi dimasa lalu kamu jangan sampai membenci Ayahmu seperti ini. Kamu boleh marah asalkan jangan pernah membenci"

"Sekarang Ayahmu sedang salah jalan, Tapi Bunda yakin Ayahmu akan berubah, kita doa kan yang terbaik"

"I don’t care. I now you love me"

"Tantu sayang, kamu anak Bunda" Maya mengusap lembut punggung Bagas.

"Ingat kamu tidak sendiri, disini masih ada Bundaa. Kamu juga memiliki Fi, wanita yang menyayangimu"

Bagas hanya mengangguk pelan, pelukannya semakin erat.












Happy reading semua

makasih ya sudah membaca dan vote

Nggak nyangka bakal jadi banyak banget yang baca

Seneng banget baca komen kalian

Makasih banyakkk

💜💜💜

See you next part

BAGASKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang