24. Nakdel

130 15 15
                                    

Jakarta, 09.00 AM.

Menghirup udara Ibu Kota adalah hal yang Alan sukai. Ia telah sampai di kota padat penduduk ini sejak dini hari. Setelah beristirahat beberapa jam, cowok itu menyempatkan berkeliling sebentar menggunakan motor kesayangannya yang cukup lama tidak ia gunakan.

Alan membuka ponselnya dan menekan kontak seseorang. Kebetulan, ia juga belum memberi tahu jika sudah sampai Indonesia pada teman-teman.

Alan berucap ketika sudah telepon sudah tersambung. "Halo, lo udah kirim alamatnya?"

"Udah, cek aja."

Setelah mendapat jawaban, cowok itu mematikan sambungan dan mengecek alamat di ponselnya. "Lumayan jauh juga, nih."

Alan menghembuskan napas sambil menggaruk tenguknya yang tidak gatal, ia menaruh ponsel di saku lalu melajukan motornya membelah jalanan Jakarta yang sudah ramai dipadati kendaraan roda dua.

Tujuan Alan adalah kampus tempat Leon dan teman-temannya yang lain menimba ilmu, ia telah sampai setelah kurang lebih dua puluh menit menempuh perjalanan. Alan belum pernah ke sini sebelumnya, ia hanya pernah melihat-lihat tempat ini lewat Google.

Cowok yang memakai bomber army itu mulai melangkah memasuki halaman kampus yang cukup luas. Hampir sama dengan New York, namun kesannya sangat berbeda. Alan memilih untuk berkeliling sambil melihat-lihat, siapa tahu ia bisa bertemu dengan Leon atau Rey.

Beberapa orang menatapnya dengan tatapan yang berbeda, membuat Alan merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Cowok itu hanya bisa tersenyum canggung menanggapinya.

"Gila, keren banget," gumamnya ketika berdiri di depan mading besar yang menarik perhatiannya. Ia memandangi seraya berdecak kagum, mading itu dibuat sangat kreatif dengan beberapa lukisan yang Alan yakini dibuat oleh anak jurusan seni.

"Alan?"

Suara itu membuat Alan menoleh, cowok itu mendapati seorang gadis yang sedang menatapnya kebingungan. "Hai, kangen gue nggak?"

Ran nyaris saja memekik tertahan karena sangat senang melihat Alan disini sekarang. "Kenapa baru sekarang ke Indo? Gue kangen banget."

Alan tertawa sesaat. "Mmm, gue sibuk. By the way, lo nggak mau peluk gue gitu? Katanya kangen." Cowok itu menaik turunkan alis sambil merentangkan tangannya.

Ran tersenyum, lalu dengan senang hati menghambur kepelukan Alan.

Alan memeluk Ran erat, seolah membayar rindu yang terpendam pada gadis itu. "I miss you so bad ...," bisik Alan yang samar-samar didengar oleh Ran.

Ran menyudahi aksinya, lalu menatap Alan dengan kernyitan dahi. "Why didn't you say you wanted to come here?"

"This is a surprise," jawabnya seraya tersenyum. Namun, sejurus kemudian mimiknya berubah. "Bentar, lo ngewarnain rambut?"

Ran mengangguk. "Yes, I'm dyed my hair. How is it suitable?" tanya Ran, ia memegang rambutnya yang terurai.

Alan menatapi rambut berwarna coklat tua milik gadis itu dari atas sampai bawah. Sangat serasi dengan kulit Ran yang berwarna putih susu, tetapi itu membuat Alan menepuk jidat. "Iya, cocok. Tapi lo kalau mau ngewarnain rambut kenapa nggak bilang-bilang dulu, sih, sama gue?"

"Emangnya kenapa?"

"Ingatan Rey itu udah enam puluh persen kembali. Dia tahu warna rambut lo di masa lalu, bahkan dia udah tahu kalau cewek yang sering muncul di ingatannya itu punya nama Ran walaupun nggak ingat wajahnya. Tapi masalahnya, rambut lo warnanya berubah. Padahal, Rey bisa aja dengan cepat tahu siapa lo sebenarnya." Alan menghembuskan napas gusar, padahal ia ingin sekali cepat-cepat melihat kedua teman dekatnya itu bersama.

Love for Me (TAMAT) Where stories live. Discover now