23. Telepon

135 14 10
                                    

Sudah siang, dan Ran masih tetap berjalan di tengah lorong yang dipenuhi mahasiswa. Tidak ada kelas setelah ini, jadi Ran memutuskan untuk pulang ke rumah. Sebelum itu, ia harus mengambil beberapa map berisi riset di lokernya.

Setelah sampai di depan lokernya yang bernomer 119 Ran kontan membulatkan mata lalu menepuk jidatnya.

"Duh, teledor banget, sih, gue!" ujar Ran kala melihat kunci lokernya yang masih menggantung di sana. Buru-buru ia membuka loker untuk memastikan isinya masih lengkap atau tidak.

Ah, untungnya masih. Seperti yang sudah-sudah, ia kembali menemukan secarik surat di dalamnya. "Pasti Gladys lagi."

Kirana Sayang,

Sudah cukup bersenang-senangnya, saatnya memulai permainan yang selanjutnya! Ayo temukan aku, jika berhasil hadapilah aku. Namun jika tidak, aku akan membuat teman-temanmu menangis melihatmu. Jangan coba-coba untuk lari, kamu adalah peran utama dalam permainan ini.

Gladys.

Ran menghela napas jengah, terkadang ia lelah namun tidak bisa bersikap lemah. Ia berharap akan bisa menyudahi ini tanpa pertumpahan darah atau semacamnya. Mungkin itu mustahil.

Sekon kemudian, tangannya dicengkeram erat hingga Ran mengaduh kesakitan.

"Sudah baca suratnya, kan?"

Itu Gladys. Membuat Ran menepis tangannya meski sedikit ketakutan. "Udah, rencana lo hebat juga. Sayangnya, gue nggak takut."

Gladys tertawa hambar, ia menyunggingkan sudut bibirnya. "Bagus, gue suka target utama yang bertindak berani. Tapi jangan sesekali bertindak bodoh seperti pemain pembantu, karena lo nggak akan tahu apa yang terjadi selanjutnya."

Ran mengangkat alisnya. "Kali ini gue nggak akan kalah."

"Usaha yang bagus, kita lihat nanti siapa yang akan bertahan sampai akhir." Cewek yang berdiri di hadapan Ran itu bertepuk tangan seolah mengejek.

"Gladys?"

Ucapan itu mengalihkan pandangan mereka berdua pada seorang cowok yang ada tepat di belakang Gladys.

"Lo Gladys Alveria, kan, temen SMP gue dulu?" tanya cowok itu memastikan.

"R-Rey...," ucap Gladys gugup. Ia terdiam sambil menatap Rey lekat-lekat, iris hijau itu tidak pernah berubah sejak terakhir kali ia melihatnya. Walapun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, jantungnya tetap berdetak cepat berada di posisi sedekat ini dengan Rey.

"Wah, ternyata bener. Udah lama nggak lihat lo, gue seneng kita ketemu lagi di sini," ujar Rey dengan senyum andalannya, lalu memeluk Gladys sesaat.

"I-iya." Perasaannya masih sama seperti dulu, Gladys tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia memilih pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa lagi.

"Aneh, masa pergi gitu aja, sih. Dia nggak kangen gue kali, ya?" gumam Rey menatap punggung Gladys yang mulai menjauh dengan kernyitan dahi, lalu tatapannya beralih pada Ran. "Lo kenal dia?"

"Ah, enggak. Tadi kebetulan ketemu aja," dustanya.

Rey mangut-mangut, lalu menatap secarik surat yang Ran pegang. "Itu apa?"

"Ini? Cuma sampah." Ran meremas surat itu menjadi bola, lalu melemparnya masuk ke tong sampah terdekat.

🌧🌧🌧

"Komik gue mana, ya? Perasaan dulu banyak," gumam Rey sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Rey masih mengacak-ngacak isi kamarnya untuk mencari komik Detektif Conan yang dulu sempat ia koleksi. Karena semua tugasnya telah selesai dikirim lewat email, jadi Rey memutuskan untuk mengisi waktu kosongnya itu untuk membaca.

Love for Me (TAMAT) Where stories live. Discover now