PART 15 - Sure

2.2K 173 4
                                    

"Bun, ayamnya dibuat bumbu rica-rica atau lada hitam?" tanyaku.

"Dua-duanya aja," jawab Bunda. "Jangan lupa ikannya diangkat kayaknya sudah matang."

"Belum mendidik, Bun, baru panas."

"MasyaAllah calon istri yang akan nikah sekarang sudah pintar masak." Tiba-tiba Vira datang menuruni tangga dengan tatapan bangga.

Aku mencebik tanpa ekspresi. Bukannya membantu, ia terus saja menggodaku. Siapa lagi jika bukan ajaran dari Ayah?

Aku menghiraukan ucapannya dan berlanjut mengangkat ikan di dalam teflon dan mentiriskannya. "Vira, jangan diganggu."

Vira yang hendak memotong bawang, langsung ia letakkan pisaunya. "Aku mau bantu, Sya, bukan mau ganggu."

"Kalian berdua pasti ribut ya kalau sudah soal masak-masak gini," ucap Bunda. "Giliran nggak ketemu nanti kangen-kangenan. Dasar anak muda."

"Alsya yang selalu kangen Vira terus, Bun." Vira menceletuk.

Aku melongo. "Nggak salah, nih?" Padahal ia yang selalu histeris daripada aku.

"Mending Vira angkat makanan yang sudah matang ke meja makan. Daripada kalian berdua kayak gitu terus, yang ada nggak selesai nanti."

"Siap, Bunda!"

Aku menggelengkan kepala melihat tingkah Vira.

*****

Malam ini, malam dimana aku harus memberi jawaban kepada Pak Andi setelah satu pekan beliau menunggu jawabanku. Tepatnya juga Mas Aufa yang menanti jawabanku. Bagiku pekan ini berjalan sangat cepat sekali. Tidak seperti pekan-pekan yang lalu.

Mas Aufa tengah melahap makanannya dengan raut wajah santai. Ia tidak menampilkan raut wajah takut ataupun khawatir. Berbeda dengan Mas Arfan yang curi-curi pandang pada Vira. Hal itulah yang membuatku menjauhkan Vira dan Mas Arfan agar tidak duduk bersebelahan.

"Alhamdulillah."

Vira dan Bunda sibuk membereskan piring dan membawanya ke dapur. Beberapa menit kemudian mereka berdua kembali. Entah mengapa tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Pikiranku melayang membayangkan keluarga mereka.

"Makasih ya, Bu. Maaf kalau kedatangan kami ngerepotin," ucap Bu Alya.

"Enggak kok. Untuk tamu spesial, harus dihidangkan makanan spesial juga," jawab Bunda. "Kalau datangnya direncanain pasti saya masakin. Tapi kalau tiba-tiba mendadak kayak kemarin. Saya bingung harus nyiapin apa selain kopi."

"Nggak masalah, Bu."

Ayah juga masih berbincang ria dengan Pak Andi, begitu pun Bunda dan Bu Alya tengah asik mengobrol. Melihat mereka yang rasanya akrab seolah sudah kenal lama lantas membuatku menyunggingkan senyum.

Sedangkan aku duduk di sini hanya bisa diam dan diam. Bibirku rasanya kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Saat ini aku menunggu kedatangan Kak Nayra. Dia belum kunjung datang karena sibuk dengan urusan kantornya.

Bahkan Kak Nayra memprediksi dirinya lembur malam ini. Tapi karena lagi-lagi aku memaksanya untuk hadir, dengan wajah lelahnya ia pun menurut. Kak Nayra jika sudah menyangkut pekerjaan maka akan lupa dengan orang rumah. Sehingga harus perlu ekstra paksaan agar ia ingat.

Meskipun Kak Nayra sekarang belum datang karena terjebak macet. Akhirnya aku bisa bernapas lega ia mau datang. Tidak peduli ia telat, cukup ia bisa hadir akan membuatku senang. Sangat senang tentunya.

Mendadak suasana hening menyeruak. Membuatku salah tingkah ketika menjadi bahan sorotan. Aku menggaruk dagu singkat.

"Jadi Sya, gimana jawaban kamu?" mendengar pertanyaan Pak Andi sontak membuatku gugup. "InsyaaAllah jawaban kamu bisa kami terima dengan lapang dada. Tapi saya berharap kamu menerima saya—" Aku melongo seketika. "Maksudnya anak saya."

Teruntuk Hamba Allah [END] Where stories live. Discover now