PART 13 - Gramedia

4.8K 302 10
                                    

Suara alarm mengusik tidurku, aku bergegas bangun dan mematikan alarm. Kulihat jam beker di meja ternyata masih menunjukkan pukul tiga pagi, aku lekas berdiri untuk mengambil air wudhu.

Kali ini Vira tidak tidur di rumahku, katanya ia lembur. Katanya takut mengganggu, padahal aku tidak merasa direpotkan atau terganggu dengan kedatangannya. Justru aku merasa senang.

Usai aku mengambil air wudu. Aku salat tahajud dan dilanjut dengan salat witir.

Setelah menunaikan solat, dering telepon mengalihkan perhatianku. Aku melirik ponselku dan tampak nomor asing. Aku menekan tombol berwarna merah. Namun, ketika aku hendak mendekat ke tempat tidur, suara ponsel itu kembali berdering.

Aku menekan tombol berwarna hijau dengan terpaksa. Aku dapat mendengar suara seorang pria yang memberi salam padaku.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari seberang.

Satu kata itu sudah membuatku mengenali suaranya. "Wa'alaikumussalam."

"Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara berat.

"Sudah. Kalau belum, mana mungkin saya angkat telepon," jawabku malas pada Mas Aufa. "Dapat nomor saya dari mana?"

"Vira."

Sepupuku itu pasti yang memberinya mengingat ia yang paling antusias dan menyetujuiku jika aku bersama dengan Mas Aufa.

Jika percakapan tidak penting ini terjadi. Harusnya aku tidak mengangkatnya. "Ada apa, Mas? Kalau nggak ada perlu saya matikan ya."

"Silakan," jawabnya.

Huh. Aku sedikit bingung, lalu ia menelponku untuk apa? Terkadang bukan hanya sifat perempuan saja yang sulit ditebak. Sifat laki-laki pun juga sulit untuk ditebak dan penuh teka-teki.

Setelah aku mematikan ponsel. Aku berjalan menuju kasur untuk aku dapat merebahkan diri. Tetapi aku dapat mendengar lagi suara dering ponsel yang membuatku beranjak dari ranjang. Aku menelan nudah kemudian mengangkatnya. "Assalamu'alaikum. Ada apa lagi?"

"Wa'alaikumussalam."

"Kenapa telepon saya lagi?"

"Apa kamu sudah memikirkan jawabannya?"

Napasku tercekat. Untuk beberapa hari ini aku belum memikirkan soal itu. Bahkan aku belum memberi tahu Ayah perihal Mas Rafka yang mengajakku bertunangan. "Saya nggak tahu. Itu rahasia saya."

"Saya ingin memaksa kamu untuk menerima saya. Tapi saya nggak berhak atas pilihan kamu." Aku bergeming tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. "Denganmu terima saya, saya ucapkan Alhamdulillah."

"Sa--saya belum tahu."

"Maaf."

"Untuk?"

"Maaf kedatangan saya saat itu mendadak."

"Tidak apa." Aku berujar santai meskipun rasa gugup melanda. "Ya sudah, saya matikan, Assalamu'alaikum." Setelah aku mematikan sambungan telepon.

"Wa'alaikumussalam."

*****

"Makasih ya, Mas," ucapku pada Bang Aren, langganan service HP.

Teruntuk Hamba Allah [END] Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu