"Aku sudah jadi istri orang."

"PLAKH ...!" Tepukan keras mendarat di lengannya.

"Aduh!" Hasna meringis seraya mengelus-elus lengannya.

"Masih aja suka bercanda!" ujar Ismi seraya menggelengkan kepalanya.

"Sakit tau!" sungut Hasna seraya menyusul langkah Ismi yang sudah mulai mendahuluinya.

****

Hasna berdiri terpaku melihat Ning Hida yang tengah berdiri di depan pintu asramanya. Ia tersenyum serta melambai ke arah Hasna. Ismi sedikit menyenggol lengan Hasna. Seorang perempuan yang ikut berdiri di samping Syahida berjalan mendekati mereka.

"Mbak Hasna, 'kan?"

Hasna mengangguk.

"Ning Syahida pingin ngobrol, katanya."

Sopan, perempuan itu lantas mengiring Hasna mendekat pada Ning Hida.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Ning Hida.

Lagi-lagi Hasna hanya bisa mengangguk. Kitab di dadanya makin erat ia rengkuh seraya berjalan di belakang Ning Hida menuju dhalem tanpa menoleh ke arah Ismi yang mulai memasang raut tanya di wajahnya.

****

Mereka duduk di ruang tamu khusus tamu putri. Tidak ada kursi ataupun sofa di sana. Hanya ada karpet yang tergelar menutupi lantai ruangan. Gorden berwarna hijau dengan aksen batik juga turut menutupi beberapa jendela yang kadang terbuka jika siang hari.

Hasna meletakkan kitab di pangkuannya. Sementara Ning Hida meminta tolong untuk dibuatkan minuman pada perempuan yang tadi berjalan di belakangnya. Harum lavender dari pewangi ruangan menyeruak di hidung Hasna.

"Maaf sebelumnya, ya. Saya tiba-tiba nyari Hasna ke asrama."

Hasna memaksakan senyumnya seraya mengangguk. Ia masih bingung, harus menjawab bagaimana. Karena, di pesantren sebelumnya, tak pernah sekalipun ia terlibat perbincangan dengan ahlul bait pesantren. Khawatir, tatakrama yang berbeda atau cara berbicaranya juga berbeda.

Ning Hida mengangguk sambil berterimakasih saat hidangan teh dan kudapan diantar ke depan mereka. Hasna mengutuk hatinya sendiri yang masih saja berdebar. Ia nyaris tak berani mengangkat wajah.

"Kalau boleh tahu, Hasna ini 'kan adik dari ustadz Yusuf, adik kandung kah?"

"Emh, bukan Ning."

"Jadi, adik ..."

"Sepupu."

"Oh, saya pikir adik kandung. Karena yang saya tahu, ustadz Yusuf juga punya adik kandung."

"Iya, Salma. Yang kemarin juga ketemu di kampus sama Ning Hida." Hasna mulai bisa menekan kegugupannya.

"Oh, yang kecil itu?"

Hasna mengangguk. Ning Hida ikut mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Maaf, apa kalian tinggal bersama?"

Hasna tertegun, sedikit kaget dengan pertanyaan Ning Hida.

"Maksud saya, kalau keluarga kadang ada yang masih tinggal satu rumah 'kan. Apalagi kalau masih ada orang sepuh di rumah, seperti kakek atau nenek."

"Oh, nggak. Saya gak serumah. Ketemunya hanya saat lebaran saja."

"Emh, jadi Hasna tidak tahu banyak tentang ustadz Yusuf, ya?"

Apa yang sebenarnya ingin ia ketahui? Batin Hasna.

****

Hasna menggelar tikar yang akan digunakan untuk tidur. Pandangannya terlihat kosong, meski dua tangan itu sibuk mengibas selimut dan meletakkan bantal. Tak lupa lipatan mukena dan sajadah yang sengaja ia letakkan di bawah bantal juga sudah ia siapkan jika sewaktu-waktu terbangun sebelum waktunya, ia bisa langsung membawa mukenanya ke musholla. Tanpa harus berjingkat-jingkat melewati barisan teman-temannya yang tidur menujuk rak mukena.

"Kamu kenapa?" tanya Ismi yang ikut menggelar tikar di samping Hasna.

"Gak pa-pa." Hasna merebahkan kepala di atas bantal.

"Kenapa Ning Hida tadi manggil kamu? Kamu gak bikin salah, 'kan?"

Hasna menggeleng. Ia memilih untuk tak membicarakannya pada Ismi. Hatinya masih tak berani menyimpulkan apa-apa mengenai perbincangan mereka tadi. Lagi pula, Ismi kan juga belum tahu hubungannya dengan Yusuf itu apa.

****

Yusuf tengah berbincang dengan beberapa mahasiswa di koridor kelas. Ismi sudah mulai menyenggol Hasna lalu menunjuk keberadaan Yusuf yang sudah menoleh ke arah mereka. Hasna mengernyit sebentar, lalu berusaha memperbaiki raut mukanya sambil melewati Yusuf tanpa menoleh.

Yusuf yang bingung dengan sikap Hasna, langsung menghentikan obrolan. Manik matanya mengikuti langkah kaki Hasna yang pergi menjauh. Ada apa lagi dengan, Hasna? Itu yang saat ini ada di hatinya.

****

"Ustad Yusuf tadi lihatin kamu, loh!"

Ismi meletakkan buku-buku yang dibawanya di atas meja. Hasna memilih untuk tak menanggapi dengan menjatuhkan kepalanya di atas tumpukan buku-bukunya.

"Kamu kenapa sih? Dari semalem loh kamu begini." Ismi mengguncang lengan Hasna yang tampak tak bersemangat.

"Aku ngantuk," elak Hasna seraya memutar arah kepalanya membelakangi Ismi.

"Coba baca ini!"

Ismi meletakkan buku dari Yusuf kemarin di depan Hasna. Dengan malas Hasna hanya memainkan lembar demi lembar buku itu tanpa minat untuk membacanya.

"Hai semuanya ...."

Debi datang dengan wajah ceria. Ia langsung menengok wajah Hasna yang tertekuk di atas buku sambil meletakkan satu kotak bekal makanan di mejanya.

"Kenapa?" tanyanya pada Ismi. Ismi menggelengkan kepala dengan bibir membentuk perahu terbalik.

"Nanti jangan langsung pulang, ya. Aku bawa sesuatu buat kalian." Debi menunjuk kotak bekalnya.

"Apa?" tanya Ismi.

Ia membuka kotak bekal berwarna merah itu. Aroma dari rujak serut langsung tercium. Hasna mengangkat kepalanya, berbalik pada wangi kuah dari rujak serut di belakangnya.

"Hmm, sekarang aja!" ujarnya mengagetkan Ismi dan Debi.

"Dosennya udah mau masuk. Habis kelas ini langsung makan. Tadi udah papasan di lorong." Debi menunjuk ke arah pintu.

Benar saja, selang beberapa detik sudah ada ucapan salam dari arah pintu. Suasana kelas yang ramai sejak tadi mendadak sepi setelah menjawab salam dari sang dosen. Begitu juga dengan Ismi, Debi dan Hasna yang langsung duduk dengan rapi menghadap ke depan.

****

Apa yang menjadi pertanyaan temen-temen sekarang setelah baca part ini?

Rahasia [Terbit]Where stories live. Discover now