Nomor 4 Perundingan Panjang

Start from the beginning
                                    

Setelah mengatakan itu, Sandi pergi menuju kelas. Ia juga kesal karena rencana mereka malah terbongkar di tangan perempuan yang sama sekali tak mereka kenal. Sandi percaya, Rama bisa menyelesaikannya. Bila gagal, tak apa, Sandi bisa mengurusnya sampai mampus.

Suasana sekitar aula belakang itu hening, angin perlahan mengembus, membiarkan dedaunan bergerak ke arah Timur. Di bawah pohon, tersisa Rama dan Lanita. Keduanya masih bersitatap. Satu tatapan serius, satunya lagi tatapan menggoda.

"Gimana? Mau, kan?" goda Lanita tak ada habisnya. Pokoknya rencana yang sudah ia siapkan harus terlaksana, cuman ide gila ini yang bisa membuatnya bisa dekat dengan Rama.

"Mau apa?"

"Mau jadi pacar gue."

"Oke," Lanita jingkrak-jingkrak kegirangan. Padahal Rama melanjutkan ucapannya, "tapi kalo gue udah gila."

"Lo kayaknya nggak takut banget gue beberin fakta kalo ternyata ketua OSIS kebanggaan sekolah, yang tampannya nggak manusiawi, yang jago dalam bidang apapun. Ternyata, jahat." Sudut bibir kanan Lanita terangkat dengan mata sinis. "Kalo lo nolak gue sih, gue pastiin lo bakalan kehilangan jabatan, ketampanan, dan juga perasaan gue. Ayolah, dipikirin. Jatuh cinta sama gue nggak salah deh, Kak."

Kedua tangan Rama masuk ke dalam saku celana. Ia menundukkan kepala sejenak kemudian mendongak melihat Lanita lagi. Tapi, kali ini sorotnya nampak dalam. "Lanita Wulandari Kasha. Perempuan yang masuk di kelas XI B. Menduduki peringkat ketiga dari bawah sebagai siswa dengan nilai paling buruk di angkatan. Tahun ini, kelas XI sedang melakukan pemilihan universitas favorit. Dan lo udah nentuin."

Badan Lanita seketika lemas. Rama memutari tubuhnya sembari memberikan penjelasan singkat yang entah Rama ambil darimana. "Untuk ukuran anak kayak lo. Cara masuk universitas favorit ada dua. Mandiri atau koneksi."

"Heh. Lo diam-diam stalker gue, ya?" Tuding Lanita. Keringat membanjiri kening, tangan mulai gemetar, hatinya sudah ketar-ketir ketakutan.

"Dilihat dari bentuknya. Lo kayaknya milih...."

Lanita meneguk ludah. Jantungnya berdebar tak karuan. Ini baru hari pertama, tapi Lanita sudah tersudutkan. Rencananya malah sudah berantakan sebelum dimulai. Rama mampu memutarbalikkan keadaan, harusnya Lanita yang mengancam Rama, ini malah sebaliknya.

"Mandiri." Seketika saja saat mendengar itu, Lanita bernapas lega. Rama tersenyum sinis. "Tapi bisa juga koneksi. Sayang, muka lo nggak nunjukin betapa lo pintar nyari koneksi."

"Jadi maksud lo muka gue jelek? Jadi nggak pantes?" tanya Lanita berkacak pinggang, tersinggung.

"Lo yang bilang sendiri."

"Heh, Kak. Lo tinggal jawab pertanyaan gue. Lo mau kan jadi pacar gue? Itu aja!"

"Gue bilang kalo gue udah gila."

"Ya udah. Gue serahin aja rekamannya." Lanita beranjak dengan begitu enteng.

Secepat kilat Rama merebut ponsel dari tangan Lanita. Jemarinya bergegas memeriksa tempat penyimpanan rekaman.

"Jangan!" pekik Lanita berusaha merebut balik.

Tangan Rama dengan gesit mendorong wajah Lanita ke belakang, menahan pergerakannya. Lanita berusaha terus menggapai ponsel di saat wajahnya dipaksa mundur.

BEFOREWhere stories live. Discover now