Part 12 : Sabar

385 42 1
                                    

Bruukk

"Maaf... maaf" ujar Tari saat tak sengaja menubruk seseorang.

Tari menatap orang itu, tenyata temannya. "Lo kenapa sih tar, lari lari. Kayak abis liat setan" ketus Feby.

Tari mengambil nafas, "lebih parah dari setan Feb" ucapnya.

"Emang ada?"

"..."

Tari masih manarik ulurkan nafasnya, pagi pagi dia sudah keringatan. Iris matanya melebar saat melihat makhluk sakral tidak jauh disana.

"Feb, bu Desi tu" tunjuknya.

Sama seperti Tari, Feby menatap horor wanita berbadan gemuk itu. Dengan sekejap Feby berlari meninggalkan Tari sendirian disana, "sialan" gerutuk Tari lalu ikut menyusul sahabtnya.

Pelajaran mulai berjalan seiring dengan waktu, jam yang melingkar di dinding memutar lambat tersu menerus.

Hingga bel istirahat berbunyi yaring, membuat hati membucak bahagia.

"Yuk tar" ajak Faby sambil merapikan pakainnya yang kusut seperti wajahnya tadi, apalagi saat mendengar teori bu Desi.

"Mager, lo aja gih" gumam Tari sambil menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan.

Feby berdehem terlebih dulu sebelum membalas ucapan temannya itu, "Tari, kita itu harus makan buat ngisi tenanga. Lo mau gak konsen belajar gegara kelaperan."

"Gue gak laper aelah" gumam cewek itu.

"Serah lu dah, gue mau kekantin. Gue bawain roti deh, lo harus makan juga" cewek itu melangkah keluar.

Tari mendengar langkah menjauh sahabatnya, ia lalu menegakan kepalanya. Baru beberapa detik Feby keluar, cewek itu kembali menyembulkan kepalanya di depan pintu.

"Tar, pak guru ganteng nyuruh lo keruangan nya. Gue heran kenapa lo terus gitu yang di panggil, sesekali gue gitu. Rela gue nunda laper, kalok berdua terus sama pak Vano" curhat temannya itu. Feby menyengir mendapat pelototan dari Tari, cewek itu segera melangkah pergi dari sana.

Dengan malasnya Tari melangkah menuju ruangan guru, Langkah kakinya membawa ke ruangan pak Vano.

Tari mengetuk pintu itu berulang kali untuk mendapatkan sapaan di suruh masuk, tapi nihil. Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam, dengan memastikan diri Tari masuk begitu saja.

"Ada apa bapak manggil saya?" tanya Tari sopan.

"Kamu? Sejak kapan di situ? tidak bisa kah mengetuk pintu terlebih dulu?" protes pak Vano.

"Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali, tapi bapak gak denger. Ya... saya masuk aja" jelas Tari.

Vano mendengus, lalu menatap murid nya ini.

"Kamu ingat perjanjian kemarin? bapak akan menunjuk sesorang untuk melatih kamu tetang permainan bola besar. Jadi nanti kamu sepulang sekolah tunggu di lapangan"

Tari melotot mendengarnya, jujur ia lupa akan itu. "Gak bisa gitu dong pak, masa saya gak boleh pulang. Pelajaran itu saat jam sekolah, itu udah gak ada sangkut pautnya dengan pelajaran kalok di luar jam" perotes cewek itu.

"Itu kan salah kamu, sapa suruh kamu tidak bisa dalam materi saya"

"Tapi pak, jangan pulang sekolah. Gimana kalok sekarang aja" Tari tetap kekeh akan pendiriannya, masalahnya ia tidak tau akan di izin kan oleh Billy apa tidak.

"Tidak bisa, itu akan menganggu pelajaran lain. Saya tidak mau tau, kamu nanti tunggu di lapangan. Sekarang, kamu boleh keluar"

Tari cemberut, jika bukan guru sudah ia tendang ke amazon. Itu pun kalok ia kuat menendang guru itu.

***
Tari melirik jam tangannya, ini sudah lewat sepuluh menit waktu perjanjian. Sekolah sudah sepi lima menit lebih awal, cewek itu menggembungkan mulutnya.

Untung saja abangnya itu memberinya izin, jika tidak Tari tidak tauh mana yang akan ia pilih.

"Muka lo kusut banget" seseorang menganggetkannya dari belakang. Tari memutar tubuhnya, menghadap orang tersebut.

"Aris"

"Gue ni kakak kelas lo, gak ada manis manisnya jadi adik kelas. Lo gak niatan ngasi gue embel embel kak atau abang gitu" sindir cowok itu.

"Serah gue lah, mulut mulut gue juga. Lagian lo tuh gak pantes pakek embel embel kak, apalagi bang.... iiih gak banget" belanya dengan menderamatis.

Aris menggelengkan kepalanya, mana ada adik kelas seperti cewek dihadapannya ini. Dimana mana adik kelas yang ia temui pasti takut dengan nya, lah ini berbanding terbalik dengan kenyataan.

"Lo ngapain belum pulang?"

Tari menggembungkan kembali mulutnya, "gue di suruh nungguin orang ama Pak Vano. Gegara gue gak bisa materi nya, gue mau di ajarin sama orang yang dipilih dia buat ngajarin gue" jelasnya.

"Materi apa?"

"Basket" saat Tari menjawab pertanyaan Aris, cowok itu tertawa nyaring.

"Lo basket aja kagak bisa, bisa lo apa sih. Masang muka kusut?" cowok itu masih terkekeh.

"Tau ah" rajuk Tari, Aris memberhentikan tawanya. "Jangan ngambek gitu napa, udah kusut tambah kusut lagi" ejek Aris.

"..."

"Gini deh, gue ajarin lo gimana" tawar Aris, jarang jarang kan cowok itu mau ngajarin sesorang.

Tari nampak tertarik dengan tawaran itu, tapi ia harus jual mahal dulu. "Tapi kan gue udah di kasi pelatih ama pak Vano" Aris tampak berpikir sebentar.

"Entar gue yang bilang, buat ngajarin lo" ujar cowok itu, "bentar gue ambil bola nya" cowok itu melangkah menjauh.

Tari menjatuhkan tas nya begitu saja, tampak Aris membawa bola basket. Entah lah Tari tidak tau dapat dari mana bola itu.

Aris memberhentikan langkahnya sebelum sampai tepat di samping Tari.

"Lo liat yah, gue masukin ni bola ke ring" ujar cowok itu, Aris dengan cepat melempar bola itu.

Tari melebarkan mulutnya saat melihat bola itu dengan mulus masuk kedalam ring, padahal posisi Aris lumayan jauh dari Ring.

Aris mendekati Tari, "giliran lo" cowok itu mengambil bola yang ia lempar tadi.

"Lo pegang bolanya, kayak gini" sebelumnya, Aris memperaktekan terlebih dulu. Saat Tari memegang boal oren itu, Aris dari belakang ikut memegang bola itu.

Posisi mereka begitu dekat, bahkan Tari bisa merasakan hembusan nafas Aris di rambutnya. Tari memang lebih tinggi dari Feby, tapi Aris lebih tinggi darinya. Tari berdehem untuk menghilangkan kecanggunganya, "lo modus ya" kalimat itu terlontar dari bibir nya.

Aris mengerutkan keningnya, lalu melepaskan pegangan pada bola itu. "Gue gak modus aelah, seujon aja sama gue. Lo niat gak sih gue ajarin" ketus cowok itu.

"Ya mau sih, tapi emang posisinya gini" perotes Tari, Aris tambah mengerutkan dahinya.

Aris menaikan satu alisnya, seringai tampak di bibirnya. "Kenapa, lo deg degan ama gue. Gue tau gue ganteng, pesona gue emang susah di lawan. Tapi lo tenang, kalok lo baper gue pasti tanggung jawab" kata Aris.

Tari melotot mendengernya, "baper? ama lo, jangan kepedean. Sumpah yah, baru peratama kali ini lo, gue nemu orang yang tingkat kepedeannya sampai ubun ubun" bela Tari.

"Gue gak kepedean, itu kenyataan. Ngaku aja lo udah terjerat dalam pesona gue" Aris masih memasang wajah menyebalkan bagi Tari.

"Gue gak akan suka sama cowok nyebelin kayak lo, apalagii tingkat kepedean lo itu melewati kadar maksimum" ketus Tari. Tari mengucap beribu sabar dalam hatinya, untuk saja ia ada perlu dengan Aris jika tidak Tari ogah berbicara dengan makhluk satu ini.

Ya allah tolong sabarkan Tari batin cewek itu berbicara.

______________
Tradisikan buat ngasi Vote sama Komen ya, itu tu gratissss tauuu



Kisah MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang