LIMA PULUH

680 83 38
                                    

Atas permintaan Ana dan Erick tadi sore, malam ini Seokjin tidur satu ranjang bersama Sojung juga anak-anaknya. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, Seokjin merasa tidak enak kalau harus tidur satu ranjang bersama Sojung begini.

Memang iya, secara biologis mereka adalah satu keluarga. Tapi secara agama dan hukum yang berlaku, Seokjin hanyalah ayah dari Ana dan Erick alih-alih jadi suami Sojung juga.

Tapi rasa tidak enak hatinya itu, sudah berkurang lantaran dia melihat bagaimana Sojung mengajak anak-anaknya berkomunikasi di waktu malam sebelum mereka tidur.

Dia mengajak anak-anaknya bercerita, sambil sesekali bercanda. Bahkan dia juga turut menarik Seokjin ke dalam canda tawa serta cerita malam hari sebelum tidur.

Andai dia dulu bisa memaklumi Sojung, alih-alih marah serta memblokir semua kontak perempuan itu ... pasti dia sudah bahagia melihat kondisi sekarang ini dari dulu.

"Nah sekarang, waktunya Ana dan Erick tidur. Baca doanya, kemudian pejamkan mata," ucap Sojung lembut sembari mengecup kedua kening Ana dan Erick.

Sojung menatap Seokjin, memberi isyarat kalau dia juga boleh melakukan hal yang sama seperti Sojung tadi untuk kedua anaknya. Seokjin mengerti dan langsung mengecup dua kening anak-anaknya itu.

"Papa juga tidak mau mengecup kepala Merry?"

Pertanyaan Ana membuat Seokjin gugup tiba-tiba. Tapi Sojung berhasil menyelamatkan Seokjin dari kegugupannya lantaran dia berucap, "Cukup bicaranya dan segera pejamkan mata! Merry akan marah kalau kalian berdua tidak tidur sekarang!"

Ana langsung memejamkan mata sementara Erick menyempatkan diri untuk membisiki Seokjin lebih dahulu. "Ayo tidur, Pa! Jangan buat Merry marah!"

Seokjin mengangguk dan menyahut dengan pelan, "Oke!"

Begitu Ana dan Erick benar-benar tertidur dan Sojung sudah memastikan untuk itu, Sojung langsung bangun dari posisi tidurnya. Dia turun dari ranjang dan keluar dari kamar.

Seokjin yang mengetahui hal itu lantas turut bangun dan pergi menyusul Sojung sambil membawa kotak kecil yang dari kemarin sudah dia siapkan. Seokjin memasukkan kotak kecil itu ke dalam saku celananya.

"Kak Seokjin, kenapa tidak tidur?" tanya Sojung saat mengetahui bahwa Seokjin ikut keluar kamar membuntutinya.

Seokjin hanya tersenyum lalu berkata, "Masih ada yang ingin kubicarakan padamu."

Sojung mengangguk seadanya, terkesan tidak peduli memang. Tapi ... "Mau kubuatkan teh hangat?" tawar Sojung yang ternyata masih berusaha untuk peduli.

Seokjin mengangguk. "Boleh," jawabnya.

Sojung langsung melenggang ke dapur tanpa mengucapkan kata apapun lagi. Sementara Seokjin langsung duduk di sofa, menunggu Sojung dengan segala debaran jantung di dadanya.

Seokjin tersenyum kecil sambil menyatukan kedua tangannya kemudian menggosok-gosokkannya guna mengurangi rasa gugupnya.

"Aku sudah punya anak ... tapi kenapa tingkahku masih seperti anak muda begini?" monolog Seokjin dengan frekuensi suara rendah.

Seokjin menggeleng-gelengkan kepala sembari tertawa, sebelum akhirnya senyumnya terpaksa harus mengembang saat Sojung kembali dari dapur dan menyajikan secangkir teh hangat untuknya malam ini. "Terimakasih," ucap Seokjin.

Sojung tersenyum lumayan kaku, dan segera duduk di samping Seokjin. Tenang ... mereka berdua punya jarak di antara posisi mereka.

"Mau bicara apa?" tanya Sojung.

"Aku ... masih punya rasa bersalah yang begitu besar karena pernah meninggalkanmu dulu. Aku benar-benar menyesal, karena keegoisanku kita jadi kacau begini," lirih Seokjin. "Seandainya saja dulu―"

Rindu; SowjinDonde viven las historias. Descúbrelo ahora