EMPAT PULUH SEMBILAN

502 59 31
                                    

Sojung langsung menggeleng dengan cepat. "Bukan! Mereka hanya anakku ... bukan anakmu!"

"Kau tidak boleh begitu, mereka itu anak kita. Kita harus membesarkan mereka sama-sama ...."

Sojung spontan menampar pipi Seokjin kencang―ralat, sangat kencang! Sojung meluapkan semua emosi kemarahannya pada Seokjin saat ini! "Kau ini selalu saja semaumu kalau berbicara! Mereka sekarang sudah besar bersamaku! Mereka tidak butuh kau! Mereka tidak butuh ayah, Kak Seokjin!"

Seokjin terima pukulan Sojung di pipinya dengan lapang dada karena dia rasa dia memang pantas mendapatkan hadiah itu. "Mereka jelas butuh ayah! Selama ini mereka pasti menanyakan di mana keberadaan ayah mereka 'kan?"

Plak!

Sojung menampar Seokjin lagi. "Semua sudah terlambat! Kau pergi meninggalkanku, memblokir semua kontakku saat aku tahu bahwa aku ini sedang mengandung anakmu!"

Sojung menarik napas, menahan air matanya. "Kau tahu bagaimana rasa malunya aku yang hamil di luar nikah? Tidak! Kau tahu bagaimana usaha dan jerih payahku menghidupi dan membesarkan mereka berdua dengan tanpa bantuan suami? Jelas tidak! Yang kau tahu hanyalah kehidupanmu sendiri yang selama ini pasti dilalui dengan menyenangkan dan berjalan dengan baik-baik saja."

"Aku,"–Sojung menunjuk dirinya sendiri dengan nada suara bergetar–"bisa hidup bahagia dengan tanpa dirimu, Kak Seokjin! Mulai sekarang, jangan ganggu aku dan anakku lagi!"

Sojung berbalik, hendak pergi meninggalkan Seokjin. Tapi suara Seokjin menghentikan langkahnya. "Aku adalah ayah biologis mereka! Kau tidak bisa seenaknya berucap begitu! Dan sebagai ayah mereka, aku berhak atas hak asuh anakku!"

Sojung berbalik lagi, menatap Seokjin marah dengan pipi yang digenangi air mata. "Bajingan kau, Seokjin!" Sojung kembali untuk memukuli tubuh Seokjin dengan kuat. Dia menghujani Seokjin dengan pukulan sekuat tenaganya.

"Jangan berani-berani kau minta hak asuh anakku! Apalagi mengaku-akui mereka! karena aku sudah berkali-kali mengatakan bahwa kau ini bukan ayah mereka! Mereka itu tidak punya ayah!" Sojung benar-benar kacau, emosi berhasil menyulutinya dan ini semua karena si laki-laki bajingan Seokjin.

Iya, dia bajingan. Bertahun-tahun tidak pernah ada dan turut serta dalam setiap cerita Sojung membesarkan dan mendidik anak-anaknya, tapi sekarang dia datang lalu berbicara seolah-olah menuntut hak asuh anak-anak yang selama ini bahkan tidak pernah ditemuinya.

"Sojung, cukup!" Seokjin tiba-tiba berontak, tidak mau tinggal diam atas perlakuan Sojung yang daritadi memukulinya habis-habisan.

Sojung spontan berhenti. Tangisannya yang kini berubah menjadi isakan, membuat tubuhnya perlahan meringsut ke bawah. Dengan lemah dia berucap, "Aku mohon ... jangan rebut kebahagiaanku lagi! Jangan ambil anakku!"

Seokjin ikut menekuk kakinya, dia mengusap air mata yang perlahan membanjiri pipinya. Dia menatap Sojung dalam keterpurukkannya. "Aku sama sekali tidak ingin merebut kebahagiaanmu. Aku hanya mau kita membesarkan anak kita sama-sama, kita akan menikah dalam waktu dekat ini."

Sojung menatap Seokjin tidak percaya. "Tidak bisa. Aku tidak mau menikah denganmu."

"Aku tahu kau masih mencintaiku ... aku juga begitu, masih setia mencintaimu. Kembalilah padaku, aku janji kalau ini adalah air mata terakhir yang kau keluarkan untukku."

Sojung tak kunjung mengeluarkan suaranya. Dia masih menatap Seokjin, Seokjin pun berusaha meyakinkan Sojung lewat tatapannya. Sekali lagi Seokjin berkata, "Ini juga untuk masa depan dua anak kita."

Sojung akhirnya mengangguk setuju. Seokjin tidak bisa menahan air matanya untuk tidak menetes lagi. Dia memeluk Sojung penuh rindu.

Ini sudah delapan tahun ... Seokjin benar-benar merindukan Sojung.  Dia memeluk Sojung benar-benar erat, membuat Sojung tak kuasa menahan isak tangis rindunya.

๑🔹๑

Seokjin dan Sojung berjalan menghampiri Lacey, Ana dan Erick di minimarket. Keduanya tersenyum menatap mereka bertiga yang berdiri di area depan minimarket.

Sojung memanggil dua anaknya untuk berjalan ke tempatnya. Ana dan Erick lantas menurut, mereka memeluk ibundanya yang kini sudah mensejajarkan tinggi badannya.

Mereka meregangkan pelukannya, setelah itu Sojung baru memerkenalkan Seokjin sebagai sosok ayah yang selama ini selalu mereka rindukan.

Mata Ana berbinar air mata bahagia, dia berjalan mendekat ke arah Seokjin―tapi Erick justru menahan dan menghalanginya.

"Ana, jangan! Jangan dekati dia!" tukas Erick melarang Ana.

"Kenapa Erick? Kenapa aku tidak boleh mendekati Papa?"

"Merry bilang, kita harus menghindar dari orang-orang yang suka berbuat jahat ... dan laki-laki ini adalah penjahat, Ana! Dia bukan Papa, tapi laki-laki penjahat!"

"Erick ...." Sojung langsung meraih kedua bahu Erick. "Papa bukan laki-laki jahat. Papa orang baik ... hanya saja kau dan Papa bertemu di waktu yang kurang tepat, jadi kau mendapat kesan pertama yang buruk tentang Papa."

"Tapi dia menghilang selama aku dan Ana hidup! Dia pergi meninggalkan kita semua, Merry! Dia tidak punya rasa tanggung jawab, jadi dia adalah orang jahat!"

"Masalah itu ... aku benar-benar minta maaf―"

Seokjin tak lagi meneruskan kalimatnya lantaran Sojung memotong ucapannya. "Itu semua salah Merry. Merry yang meninggalkan Papa, bukan Papa yang meninggalkan Merry. Kalau Erick mau marah, ayo marah pada Merry!"

Erick spontan menggeleng cepat. Dia menghapus titik air mata yang hampir menetes di ujung mata Sojung. "Aku tidak mungkin mau melakukan itu lagi, Merry. Aku sudah berulangkali menyesal karena marah pada Merry. Merry tahu 'kan kalau Erick sangat menyayangi Merry?"

Sojung mengangguk tanda mengerti. "Tapi Merry yang sudah membuat semua keadaan kacau begini. Seandainya kalau dulu Merry―"

Erick buru-buru memeluk kepala Sojung, dia melingkarkan tangannya erat di leher Sojung. Dia juga menyela ucapan Sojung, "Tidak ada kata seandainya untuk semua hal yang sudah terjadi. Aku menyayangi Merry dan aku berusaha untuk mengerti keadaan ini. Aku mau menerima Papa dan menyayangi dia seperti aku menyayangi Merry."

Sojung menangis bahagia. Saat Erick melepas pelukannya, dia melihat anak itu berlari menuju Seokjin dengan mata yang punya genangan air mata.

Seokjin menunduk dan meraih Erick kemudian membawa anak itu ke dalam pelukannya. Seokjin mengusap-usap punggung Erick, memberi ketenangan untuk anak laki-laki kebanggaannya itu. "Papa minta maaf sama Erick, ya?"

Erick mengangguk. "Erick juga mau minta maaf sama Papa ... Erick sayang Papa!"

"Papa juga sayang Erick!"

Seokjin hampir saja melupakan putrinya yang kini tengah berdiri sembari memandang cemburu ke arahnya. Dia lantas memanggil Ana, dan ikut membawa Ana ke dalam pelukannya dengan tangannya yang lain.

Sementara Ana, Erick dan Seokjin berpelukan melepas rindu. Lacey dan Sojung kini saling mendekat dan turut memeluk satu sama lain.

"Bi ... aku minta maaf karena telah―"

"Tidak ada yang salah di sini, Lacey. Sekarang waktu sudah memertemukan Ana dan Erick dengan Papanya, sekarang langkah selanjutnya kita hanya perlu mengikuti ke mana arah jarum waktu berputar, melukis takdir untuk kehidupan kita bersama."

Lacey mengeratkan pelukannya. "Aku ikut senang, karena akhirnya keluarga Bibi sudah berkumpul lagi. Setelah ini aku berharap kebahagiaan akan menyelimuti kisah-kasih keluarga kalian."

"Keluarga kita! Kau itu keponakan Bibi ... yang sudah Bibi anggap seperti kakak dari Ana dan Erick! Mulai hari ini, kau boleh memanggil Bibi dengan sebutan Merry. Karena Merry ... akan menjadi ibumu!" ujar Sojung bahagia.

Lacey mengangguk-angguk turut merasa bahagia. Dia mengeratkan pelukannya sekali lagi, sebelum akhirnya pelukan itu terlepas karena suara Erick dan Ana yang merengek meminta pulang cepat.

Sojung dan Lacey lantas menghampiri Ana dan Erick yang ada di pelukan Seokjin. Sojung mengambil alih pelukan Ana di pelukan Seokjin, kemudian mereka bersama berjalan menuju mobil Seokjin.

๑🔹๑

Catatan:
Gara-gara aku main oc, aku lupa update ceritaku😭🙏 maafin ya guys, besok janji aku bakal update SE🤓

Rindu; SowjinWhere stories live. Discover now