DUA PULUH TIGA

428 65 41
                                    

Sojung masuk ke dalam kamar Jessica, dia melihat bagaimana kakaknya benar-benar merasa kecewa sekarang. Air matanya yang terus turun membuat Sojung makin merasa bersalah.

Sojung pelan-pelan mendekat ke arah Jessica. Tapi Jessica tiba-tiba berteriak, "Jangan mendekat ke arahku!"

Sojung tersentak. Jelas saja dia terkejut. Selama ini, Jessica belum pernah membentaknya sekeras ini. Jessica selalu menjadi sosok kakak perempuan yang baik bagi Sojung, dia selalu mendukung Sojung, dan selalu memberi Sojung pengertian dengan selembut mungkin. Tapi malam ini, detik ini, Jessica bukanlah sosok kakak yang lembut dan pandai memberi pengertian pada adiknya, melainkan seorang kakak dengan rasa penuh kekecewaan yang ditujukan pada adik perempuannya sendiri.

Satu bulir air mata Sojung turun lagi. Dadanya semakin sesak, dan dengan tertatih ia berkata, "Aku minta maaf ...."

"Maaf untuk apa? Memangnya kau pikir kata maafmu itu berguna untukku? Berguna untuk menghilangkan rasa kecewa ayah dan ibu padaku karena tidak menjagamu dengan baik?" Jessica menatap Sojung dengan tatapan penuh kekecewaan. Adiknya telah menghancurkannya malam ini, dia tidak bisa percaya.

Bukan lagi satu bulir, tapi aliran air mata kian mengalir deras dari pelupuk mata Sojung. "Aku tahu aku mengecewakanmu, tapi semua terjadi begitu saja. Saat itu aku memang sadar ... tapi aku tidak tahu apa yang membuatku tiba-tiba menjadi yakin untuk memberikan ciuman pertamaku itu pada Kak Seokjin."

"Kau sendiri 'kan tahu kalau ibu Seokjin sangat amat tidak menyukaimu, lalu kenapa kau memberikan ciuman pertamamu itu pada anaknya? Kau mau mengkhianati laki-laki yang akan hidup bersamamu nanti?"

"Tapi Kak Seokjin tidak pernah benci padaku, 'kan? Setidaknya hal itu yang membuatku yakin untuk memberikan ciuman pertamaku itu padanya."

"Jadi kau mau terus menyakiti hatimu begitu? Kau bilang kau ingin bahagia, tapi sekarang malah begini. Kau sendiri yang menghalangi kebahagiaanmu!"

"Iya, aku memang penghalang bagi kebahagiaan hidupku," kata Sojung, "tapi itu sebelum aku tahu bahwa ternyata Kak Seokjin adalah satu dari tiga kebahagiaan yang kupunya selama ini setelah kau, dan Lacey. Aku tahu betul, ibunya Kak Seokjin memang sangat membenciku, tapi demi kebahagiaanku, kebencian itu akan kuabaikan."

Jessica menatap ke arah Sojung, menghentikan isake tangisnya. "Aku benci mengatakan ini, tapi kau terlihat sepertiku saat dulu. Kau terlalu mencintai Seokjin!"

"Aku sadar, aku memang terlalu mencintai Kak Seokjin ...."

"Tapi itu tidak akan baik untuk kebahagiaanmu nanti, Sojung ...."

"Cukup doakan aku agar aku selalu tegar sepertimu," kata Sojung yang setelahnya diakhiri oleh panggilan Jessica yang menyuruhnya mendekat.

Jessica menarik Sojung ke dalam pelukannya. Dia meletakkan kepala Sojung di bahunya, dan membelai halus surai panjang adik perempuannya itu.

"Harusnya kau bisa belajar dari aku, tidak lagi mencintai seseorang yang orang tuanya menentang hubungan anaknya. Tapi aku tahu, kalian punya rasa cinta yang besar ... bahkan lebih besar dari aku dan mantan suamiku. Aku berharap kalian berdua bisa bahagia, sangat berharap."

๑🔹๑

Begitu Seokjin membuka pintu, matanya membelalak terkejut. Dia melihat ayahnya sedang duduk di sofa tengah sembari menatapnya.

Ayah Seokjin lantas menghampiri dirinya, dan menyuruh Seokjin untuk segera menutup pintu dan berjalan ke arahnya. "Kenapa bajumu basah begini?"

"Kehujanan," jawab Seokjin.

"Ibumu dan Yena sudah tidur," kata Ayah Seokjin, "aku tahu kau pasti punya hal yang ingin kau ceritakan padaku. Tapi sebelum itu kau harus ganti pakaianmu dan aku akan membuatkan minuman hangat untuk menghangatkan tubuhmu."

Seokjin mengangguk. Dia lantas berjalan menuju kamarnya. "Jangan lupa kembali lagi ke sini," peringat Ayah Seokjin yang dibalas anggukan oleh putra pertamanya itu.

Sementara saat Seokjin sudah selesai mengganti pakaiannya, dia langsung turun kembali dan melihat ayahnya yang ternyata sedang menunggu dirinya sembari berusaha menyibukkan diri dengan bermain ponsel.

Seokjin duduk di samping ayahnya. "Sudah selesai?" tanya Ayah Seokjin yang dibalas dengan anggukan kecil oleh Seokjin. "Kalau begitu minum dulu air jahenya."

Seokjin menurut, dia menenggak setengah gelas air jahe yang ayahnya buatkan. Kemudian mulai membuka mulut dan berkata, "Aku tadi pergi menyelamatkan Sojung. Dia hendak diperkosa oleh teman laki-lakinya."

"Apa? Dia hendak diperkosa?" tanya Ayah Seokjin tidak percaya. "Lalu kau berhasil menyelamatkannya?"

Seokjin mengangguk. "Tapi Ayah, kurasa aku perlu bantuanmu. Aku ingin kau mendampingi Sojung, menjadi pengacaranya, sebab kasus ini akan dibawa ke jalur hukum."

"Apa ada bukti berupa barang yang bisa meyakinkan bahwa Sojung benar-benar ingin diperkosa oleh temannya?"

"Kurasa ada," jawab Seokjin, "lengan baju Sojung yang sobek, itu bisa jadi barang bukti 'kan?"

Ayah Seokjin mengangguk. "Berarti besok ayah harus bertemu Sojung dulu untuk membicarakan masalah ini. Setelah itu baru kita bawa masalah ini ke pengadilan. Masalah menang atau tidak menang, itu urusan belakangan. Sojung harus dapat keadilan."

"Semoga saja kita menang, dan pihak lawan tidak melakukan banding."

"Seokjin, harus Ayah akui kalau negara kita punya hukum yang runcing ke bawah. Orang yang benar-benar jujur sekalipun, kadang akan kalah oleh orang yang melakukan banding dengan jumlah yang besar. Tapi kita tetap tidak boleh putus asa, Ayah akan berusaha untuk menuntut keadilan bagi Sojung. Kau tenang saja."

Seokjin mengangguk, setelah itu kembali menenggak air jahenya dan menghabiskan seluruh airnya.

๑🔹๑

Jessica masuk dan mengecek keadaan Sojung di kamarnya. Ini sudah pukul sembilan, tapi Sojung belum juga bangun, tidak biasanya.

Jessica lantas menyentuh pipi Sojung, berniat mau membangunkan. Tapi dia merasakan panas yang cukup luar biasa saat dia menyentuh pipi Sojung. Tangannya beralih naik ke atas kening Sojung, dan merasakan suhu panas yang sama di sana.

Jessica lantas pergi ke belakang, mengambil alat pengukur panas; termometer. Setelah itu dia kembali lagi ke kamar Sojung, membangunkan adiknya dan meminta adiknya untuk menggigit termometer yang baru saja ia ambil.

"Ini pasti karena kau kehujanan semalam, makanya jadi sakit begini," ujar Jessica.

Sojung mengangguk lemah. Dia setuju karena mungkin memang benar, dia sakit karena kehujanan semalam.

"Aku buatkan teh hangat dulu, ya? Termometernya jangan dilepas."

Lagi-lagi Sojung mengangguk, kali ini mengangguk karena patuh. Dia menaruh telapak tangannya di dahinya sendiri, kemudian terkejut karena dahinya memang terasa cukup panas. Kalau begitu pantas saja kepalanya dari tadi terasa pusing, dan tubuhnya terasa lemah untuk digerakkan.

Dia hanya bisa menghela napas sembari menunggu Jessica kembali. Tubuhnya terlalu lemas sehingga tak mampu membuatnya bangun dan terduduk di ranjang.

Begitu termometernya berbunyi dan Jessica kembali. Sojung melepas gigitannya pada benda pipih berukuran panjang digital itu dan melihat angka berapa yang tertera di sana.

"Tiga puluh sembilan," kata Sojung pada Jessica.

Jessica mengambil alih termometernya, kemudian menatap Sojung sendu. "Mau kuantar kau ke rumah sakit?"

Sojung menggeleng. "Dikompres saja, nanti suhunya juga akan turun sendiri."

๑🔹๑

Catatan:
Sojung demam tuh, kalian nggak ada yang punya niat mau jenguk sambil bawa jajan gitu?:'(

Rindu; SowjinWhere stories live. Discover now