"August," lirih April dengan tatapan nanar, tidak percaya. Kenapa? Kenapa kamu berbohong?

Pak Toni memutar tubuhnya menghadap kepala sekolah yang masih setia di tempat dengan lengan yang terlipat ke depan. Tersenyum manis untuk para anggota yang sangat berpengaruh di lingkungan pendidikan ini, berharap introgasi yang dilakukan mereka sudah berakhir.

"Kami tidak tahu apakah mereka bertiga mengatakan kebenaran atau tidak. Tapi, karena permasalahan bullying ini adalah serius, kami sudah memutuskan untuk mendaftarkan Jakarta International Prime School dalam pengawasan dan kami akan berkoordinasi dengan dinas pendidikan selama tiga bulan penuh. Saya rasa itu tidak berat untuk disetujui."

Kepala sekolah terlihat menimang-nimang sebentar. Berpikir apakah itu bisa membawa dampak buruk bagi JIPS di mata masyarakat? Para anggota komnas anak nampak sangat sabar memberikan jeda waktu untuk kepala sekolah berpikir meski mereka sebenarnya terlihat ragu dengan wajah itu.

Demi menyudahi introgasi bersifat dingin ini, kepala sekolah mengangguk.

"Ya, baik. Sepertinya pengawasan itu cukup membantu di lingkungan pendidikan ini agar bapak-bapak sekalian tahu bahwa di JIPS—tak ada pembullyan," ujar bapak kepala sekolah. Pak Toni tersenyum.

"Terima kasih atas kerja samanya, pak. Dan untuk siswa-siswi yang ada di ruangan ini terima kasih atas kerja sama kalian dengan kami hari ini." Pak Toni mengacungkan kertas-kertas yang berisi informasi JIPS ke arah mereka. "Berita ini akan bapak pegang semasa pengawasan JIPS dan bapak berharap penuh atas kebijakan kalian selama masa itu berlangsung..."

Pak Toni langsung berpamitan kepada kepala sekolah dan kepada April, kemudian berlenggang keluar dari ruangan disusul oleh langkah kepala sekolah yang berniat mengantarkan tamunya hingga ke gerbang. March menyeringai puas, ia mengikuti langkah kepala sekolah yang sudah keluar dari ruangan tanpa melirik April, Oktof, Tomori dan August lagi.

Kekalahan terpancar begitu saja dari bola mata April, secercah harapan miliknya seakan pudar begitu saja hanya karena satu jawaban yang berbeda dari August. Berpikir untuk masa pengawasan pun sepertinya takkan berjalan dengan baik karena ia yakin sekali March tidak akan jera hanya dengan pengawasan dari mereka.

Ruangan mulai sepi. Tak ada lagi yang mereka lakukan selain menghela napas kesal. August berbalik, berniat untuk meninggalkan ketiga orang di ruangan kepala sekolah namun dengan cepat Oktof mencegahnya. Lelaki itu tersungut marah dengan menarik kerah seragam August, menatap lelaki mungil itu lekat-lekat.

"Apa-apaan jawaban lo? hah?! Lo bilang March baik sama lo? Lo gila? Lo buta?!" August meringis dengan peluh yang berjatuhan membasahi seragamnya. "Jawab gue!"

"Lepasin!"

"April udah berjuang banyak buat lo, lo tinggal ambil hasilnya! Kenapa lo malah sok-sok'an bilang March baik? Di mana otak lo?!"

"Yue..." Tomori tampak panik, ia berusaha melepaskan cengkraman Oktof yang menempel pada seragam August. Wajah lelaki bertubuh mungil itu tampak merah, entah menahan penyesalan atau menahan emosi.

Oktof pun melepaskan cengkramannya dengan kasar membuat tubuh August terdorong beberapa senti ke belakang. Sedangkan April hanya bisa menjadi patung pajangan sekarang, menonton mereka dengan wajah nanar. Untuk hari ini, ia sudah kalah.

"Gue jujur atau nggak, itu bukan urusan kalian," sahut August, ia memperbaiki seragamnya dengan wajah kesal.

"Bukan urusan kita? Lo sadar nggak sih kalau lo lagi ditolongin? Lo nggak tahu cara berterima kasih?"

"Lo semua munafik! Kalau lo niat nolongin gue, harusnya nolongin gue dari awal! Nggak usah sok baik di depan gue!"

Oktof tidak tahan lagi, jika bisa diizinkan ia ingin sekali meninju wajah August. Mengeluarkan bakat terpendamnya kepada August agar lelaki itu sadar terhadap apa yang ia lakukan. Di bandingkan meluapkan emosinya, Oktof memilih untuk pergi dari ruangan kepala sekolah dengan tangan yang sudah terkepal kuat. Saking kuatnya hingga otot-otot jarinya muncul ke permukaan. Langkah Oktof itu diikuti oleh Tomori, menyisakan April dan August yang masih tersengal.

Perlahan, April mendekati lelaki itu, mencoba menghela napas pendek.

"Lo akan baik-baik aja, kalau lo percaya sama gue, August."

Mendengar teguran dari April membuat wajah kacau August berpaling ke arahnya. 

"Lo nggak ngerti apa pun dari gue!"

"Gue ngerti. Kalau lo bilang kejujuran tentang March, pekerjaan orang tua lo akan lenyap. Iya, kan?" tebak April, sukses membuat August menitikan air matanya. "August, lebih baik kita hidup dengan kejujuran yang menghasilkan keadilan dari pada bertahan dengan banyak kebohongan tapi yang kita dapatkan hanya penyesalan. Seumur hidup."

🐾🐾🐾

"Gimana?"

April menutup pintu loker dengan keras, wajahnya lesu, melirik ke arah Januariz yang ada di sampingnya. 

"JIPS di daftar dalam masa pengawasan KPAI. Padahal gue udah mikir kalau March bakal di rehab dan dapat pendidikan khusus atau sekedar hukuman lain," jawab April. Ia mulai memeluk paketan buku-buku dan berjalan menyusuri lorong-lorong loker menuju kelas seni.

"Ya, dalam pengawasan. Bukannya itu lumayan? Red Blood nggak akan macam-macam lagi setelah ini," sahut Januariz. 

"Gimana kalau Red Blood hanya memasang topeng mereka aja? Mereka nggak akan berubah secepat itu hanya karena JIPS di awasi, Jan." 

"Pril..."

Langkah keduanya terhenti ketika Oktof dan Tomori berjalan mendekati mereka. Beberapa jam setelah kejadian introgasi di ruangan kepala sekolah, mereka memang sempat berpisah—tidak bertemu selama beberapa jam hanya untuk meredam perasaan kecewa mereka terhadap jawaban August.

April tertegun menyadari bahwa panggilan itu berasal dari Oktof. Pada apa yang ia ketahui, lelaki itu sangat ogah mengeluarkan satu kata pun kepada orang asing, pengecualian untuk orang-orang yang ada dalam ruangan kepala sekolah tadi.

"Thanks yah, udah bantuin kita," ujarnya.

Semula April hanya melirik Januariz, lelaki itu mengangguk meminta April untuk merespons sahabatnya. April pun tersenyum. 

"Maaf, belum berhasil buat bikin mereka jera," sahut April, lesu. 

"Setidaknya lo udah berani melapor tentang perbuatan mereka." April hanya berdehem mendengarnya, meski merasa bahwa apa yang ia lakukan masih belum berarti apa pun. "Kalau emang lo butuh bantuan, beritahu gue. Gue juga akan bantu, selama itu bisa memusnahkan March." 

April menahan tawa ketika melihat Oktof berucap dengan wajah yang tersipu malu. Selain berwajah datar, itu adalah ekspresi kedua yang April lihat padanya. Sedangkan Tomori yang ada di belakang hanya bisa tersenyum manis, ia tidak melakukan sesuatu tapi entah kenapa ia merasa bangga mendengar Oktof menawarkan dirinya agar dibutuhkan dalam bantuan apapun. 

Setelah bercengkrama singkat dengan Tomori dan Oktof, mereka berpisah menuju kelas masing-masing. April dan Januariz yang menuju kelas seni sedangkan Tomori dan Oktof menuju kelas Aksara. 

"Kita bakal ada di tim lo kok, Pril," ucap Januariz saat langkah mereka nyaris sampai di kelas seni. 

Mendengar itu, April kembali memasang senyum manisnya. Menyadari bahwa selama ini April memang tak mendapatkan teman yang mau berpihak padanya dalam hal melaporkan kasus pembullyan—selain Januariz, Oktof dan Tomori. Mereka pun sudah cukup membuat semangat dalam diri April kembali berkobar, tak ingin menyerah bahkan beasiswanya yang akan menjadi taruhan nanti.

🐾

🐾

Seamless (TERBIT)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum