Prolog (✓)

Depuis le début
                                        

"Saya pikir nona ini pacarnya den Satria," jawabnya, ternyata beliau mengira jika dia adalah pacar dari majikannya.

Acha tersenyum malu, "Bukan Pak," ucapnya sembari melirik Satria.

"Ogah banget gue macarin cewek jelek!" guman Satria sangat pelan namun masih bisa terdengar oleh Acha.

Dia menoleh cepat pada Satria mencoba menahan kesabaran dikatakan jelek, walaupun sebenarnya, memang kenyataannya seperti ini.

"Kenapa pas gue masuk lo gak ada?"

Cowok itu hanya menatapnya datar.
"Gue lagi beli minuman, dan saat gue masuk lo nya malah asik tidur, yaudah gue diem aja. Gue kira lo anaknya Pak Guntur."

Satria menyandarkan tubuhnya di kursi mobil. Seolah tak terjadi apa-apa. Tapi tidak dengan cewek satu ini. Badannya panas dingin. Perasaannya campur aduk, antara marah dan tidak enak menumpang di mobil orang tak dikenal.

"Hehe, bukan den, anak saya gak secantik hati nona ini," sahut Pak Guntur membuat Acha terharu. Baru kali ini ada orang memuji dirinya cantik. Tidak seperti manusia sialan tanpa dosa di sampingnya ini.

Acha hanya tersenyum menanggapi pujian Pak Guntur. Rasanya sedikit aneh. Apa yang dimaksud cantik oleh Pak Guntur tidaklah cantik dalam artian sesungguhnya. Walaupun begitu, dia bersyukur, jika ada orang yang peduli dengan dirinya dan tidak hanya memandang kecantikan lewat fisik seseorang.

"Seharusnya lo bangunin gue, kalo kayak gini kesannya gue-" belum selesai ia berbicara, ucapannya dipotong oleh cowok itu.

"Udah terlanjur juga, lanjut ke tujuan bocah ini Pak!"

Pak Guntur pun mengangguk.

Dia melirik tajam Satria, "Gue bukan bocah, asal lo tau!" desisnya sedikit tajam.

"Ya, ya terserah lo,"

Cowok itu tak memperdulikan omelan cewek disampingnya. Cowok itu lebih memilih bermain game Mobile Legend di ponselnya.

Jujur saja, dia sangat malu sekarang. Wajahnya terasa panas, pasti pipinya sudah merah seperti tomat. Tapi disisi lain, dia juga merasa kesal pada dirinya, kenapa bisa salah naik taksi? Ralat, mobil orang.

Jika saja dirinya tau mobil yang ia kira taksi adalah milik orang lain, dia tak akan mau menumpang di mobil ini. Lain kali dia harus memastikan dulu.

Suara ponsel cowok tampan disampingnya berbunyi. Cowok itu mengangkatnya sedikit kesal, permainannya terganggu.

"Apa!"

"...."

"Gue udah pulang! Mending lo puter balik."

"...."

"Santai Bro. Gue sekarang lagi menuju Hotel Mawar."

Panggilan diputus secara sepihak.

"Junaedi bangsat!" umpat cowok itu pada seseorang diseberang sana. Kemudian dia menyimpannya kembali di saku celana karna game yang telah ia mainkan sudah berakhir dengan sendirinya.

Tidak ada lagi yang membuka suara selain suara kendaraan.

Selang beberapa menit, mobil berhenti tepat di depan Hotel tujuan Acha. Sebelum turun dari mobil, cewek itu memakai kacamata serta masker hitamnya. Rambutnya ia kuncir asal menjadi satu.

Acha mengambil jaket bomber hitam dalam tas yang ia bawa. Dia juga mengganti sepatu heelsnya. Dari yang berwarna putih berganti menjadi hitam. Kini dirinya berpakaian serba hitam. Penampilannya sudah seperti seorang penjahat yang akan melayangkan aksinya di malam hari. Padahal cuaca diluar sedang panas-panasnya.

"Ngapain lo pake baju begituan? Lo mau nyolong apaan di hotel ini?"

Ucapan cowok itu benar-benar tidak di saring dulu. Ngapain juga seorang Acha mencuri barang dihotel ini? Sekalipun dia miskin, Acha masih punya harga diri. Lebih baik miskin tetapi hasil jerih payahnya sendiri daripada kaya tapi hasil curian atau korupsi kekuasaan. Bahkan untuk membeli semua pakaian yang dipakai saat ini, ia harus menabung terlebih dulu selama beberapa bulan.

"Lo mikir dulu deh sebelum ngomong!" emosi Acha. Padahal ia tidak kenal dengan cowok itu, tapi jika dia mengatakan hal yang tidak baik pada Acha, dia tidak segan-segan menegurnya.

"Atau mungkin lo itu anggota gangster?"

Dengan cepat Acha menoleh pada Satria.

Apa dia tak salah dengar? Gangster? Ada apa dengan cowok satu ini. Apa tidak ada julukan yang lebih bagus untuk dirinya? Model misalkan. Kenapa harus gangster? Ya, dia tau mungkin dari cara berpakaiannya. Tapi, bisakan julukannya lebih baik lagi?

"Gangster?" Acha memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah.

Gangster dari mananya? batinnya.

"Bukan urusan lo!"

Ucapan Acha berhasil membuat Satria naik darah.

Acha turun dari mobil, begitu pula dengan Satria. Pak Guntur sudah menurunkan barang bawaan cewek itu dari bagasi. Sebelum ia beranjak masuk ke dalam hotel, Acha mengambil sarung tangan hitam dalam kopernya.

Kedua orang yang berada di depan Acha sama-sama mengerutkan dahi. Mereka tak mengerti kenapa dia mengganti penampilannya sampai segitunya.

"Dasar gila lo!" Satria geleng-gele kepala melihat pakaian Acha yang memang gila. Bahkan dirinya saja tak menyangka jika ada orang seperti itu.

Acha menatap Satria tajam. Walaupun matanya tertutup kacamata hitam, cowok itu tau jika gadis gila itu sedang menatapnya tajam.

Acha tersenyum dibalik maskernya. Mungkin, kedua orang itu tak mengetahui jika dirinya tengah tersenyum manis.

"Makasih ya Pak, sudah mengantarkan saya sampai tujuan dengan selamat."

Pak Guntur mengangguk,"Sama-sama nona," kemudian pria paruh baya itu kembali masuk ke dalam mobil.

Satria masih penasaran kenapa gadis yang sudah menjadi serba hitam. Namun, dia tak peduli apa yang akan dilakukan cewek aneh itu nantinya. Itu juga bukan urusannya.

"Tunggu," Acha berhenti, ia berbalik pada orang yang baru saja memanggilnya.

"Siapa nama lo?" tanya Satria.

"Acha,"

Lalu Satria mengangguk.

Baiklah tugasnya sudah selesai mengantar gadis itu sampai tujuannya. Lantas ia pun menyusul Pak Guntur masuk kedalam mobil.

Baru selangkah ia pergi, namun panggilan Acha membuatnya berhenti.

"Satria," panggil Acha.

Satria menoleh, alisnya terangkat satu menunggu kelanjutannya.

"Gue emang gila, bahkan lebih gila daripada yang lo kira!"

******

Don't Forget to Comment And Vote guys 💚

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️

Follow my Ig : @dhina_righta

DIA ACHA (PUBLISH ULANG)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant