BAB 8: Keraguan

10.9K 1K 51
                                    

Lentera terbangun di indekos Raka. Perempuan itu menyandarkan kepalanya di lengan kekasihnya dan kekasihnya itu masih memejamkan mata. Lentera meraih ponsel Raka, melihat jam pada layar ponsel tersebut. Pukul empat pagi. Semalam, Raka mengajaknya ke indekos dan akhirnya Lentera menginap.

"Sayang," lirih Lentera. Dia menyentuh pipi kekasihnya. "Aku pulang." Raka menggeliat, membuka matanya. "Aku mau pulang."

"Aku antar," setengah sadar, Raka berbicara.

"Tidak perlu, kau tidur saja."

Lentera pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya. Setelah itu, dia meraih tas selempangnya. Dia menaiki ranjang Raka dan mengecup kening lelaki itu. "Aku pulang."

Raka mengangguk, kemudian melanjutkan tidurnya.

Di luar langit masih gelap, keadaan masih begitu sepi. Lentera berjalan perlahan melewati kamar-kamar indekos pada lantai dua, kemudian menuruni anak tangga menuju lantai satu. Kamar-kamar indekos itu sebagian masih gelap dan beberapa ada yang menyala. Dia berpapasan dengan seorang perempuan seusianya, yang baru saja keluar dari salah satu kamar di lantai dasar. Lentera tersenyum basa basi, kemudian berlalu keluar dari bangunan tersebut.

Di depan bangunan indekos Raka, kaki Lentera terhenti, oleh seseorang di depannya. Keduanya sama-sama terkejut dan menghentikan langkah. Lelaki di depannya itu terlihat begitu lelah, dengan rambut yang luar biasa berantakan.

"Hai," sapa Gilang.

"Hai," balas Lentera. "Pagi sekali kau di sini." Dia ingat, Gilang memiliki kenalan di indekos yang sama dengan Raka.

"Ada sesuatu yang harus aku ambil, sekalian pulang."

"Oh."

"Dan ...," Gilang mengambil jeda. Ada keraguan dalam kalimatnya.

"Ya, aku menginap semalam," sahut Lentera. Dia berusaha tenang dan biasa saja ketika mengucapkan hal tersebut. Lentera melihat kekecewaan dalam mata Gilang, tetapi dia mengenyahkan penglihatannya. Dia meyakinkan diri, bahwa itu hanya perasaannya saja.

Keduanya diam. Kemudian, Lentera berkata, "Oke. Aku duluan."

Gilang tersenyum sebagai tanggapan. Lentera berjalan melewatinya, kemudian dia berkata, "Kau mau minum kopi?"

Lentera menoleh. "Sepagi ini?"

"Ya. Aku akan ke dalam sebentar, dan kalau kau mau kita minum kopi, lalu kuantar kau pulang."

Lentera diam. Dia belum tahu harus mengiyakan ajakan Gilang atau tidak. "Aku ...." Lentera menghentikan kalimatnya. Dia ragu. Selama ini, ia hampir tak pernah ragu akan sesuatu. Tapi, berhadapan dengan Gilang, membuatnya menjadi perempuan labil.

"Tak masalah kalau kau tak ingin. Aku tidak memaksa."

Gilang hendak berbalik dan meninggalkan Lentera, kemudian perempuan itu berkata, "Asal kau traktir aku." Dia mengambil jeda. "Karena aku lupa tidak membawa dompet."

***

Selama hidupnya, Lentera tak pernah melakukan hal yang membuatnya ragu apalagi bimbang. Dia selalu menghindari hal-hal yang abu-abu. Baginya, melakukan sesuatu yang tak pasti merupakan sebuah kegagalan yang terlihat sejak awal. Ketika memutuskan untuk bersama Raka, Lentera tanpa pikir panjang, karena dia tahu, dia menyukai lelaki itu.

Sayangnya, bersama Gilang, hatinya tak menentu. Dia bagaikan perempuan tidak tahu diri, karena memiliki hati yang berubah-ubah. Seharusnya, dia menolak ajakan Gilang dengan tegas, bukan justru mengiyakan.

Gilang membawa Lentera ke salah satu warung kopi tidak jauh dari indekos Raka. Gilang memesan satu kopi hitam tanpa gula dan teh hangat untuk dirinya sendiri.

Before Wedding [END]Where stories live. Discover now