BAB 3: Tetes Air Hujan yang Jatuh Pada Pundakmu

17K 1.4K 55
                                    

Sudah banyak yang mengulas mengenai kursi di dekat jendela kereta. Hampir semua orang menyukai tempat duduk di dekat jendela. Bukan alasan melankolis, melainkan dengan duduk di dekat jendela, penumpang seperti memiliki ruang tersendiri. Tak terkecuali, Lentera.

Avel memesankan tiket kereta pulang-pergi Surabaya-Bandung. Sebelum itu, Lentera berpesan kepada Avel untuk memilih tempat duduk di dekat jendela. Banyak orang yang memesan tiket melalui aplikasi daring, kebanyakan memilih kursi di dekat jendela. Sayangnya, bayangan indah perjalanan ke Bandung mendadak sirna, hanya karena dia mendapati tempat duduknya diisi oleh ibu-ibu yang memangku seorang anak perempuan yang tengah tertidur.

"Maaf, Bu, itu tempat duduk saya," ucap Lentera. Ibu-ibu yang duduk di kursinya menengadah. "Ibu menduduki kursi saya," Lentera memperjelas.

"Ini sudah sesuai, kok," jawab ibunya. "Duduk di sini saja," tambahnya, sembari menunjuk kursi di sebelah yang masih kosong.

Lentera mendesah, "Boleh lihat tiketnya, Bu?" pintanya, masih dengan menahan emosi.

Dengan wajah enggan, ibu tersebut merogoh saku jaketnya, memperlihatkan tiket keretanya kepada Lentera. Lentera memeriksa tiket tersebut dan memang mendapati kursi ibu tersebut salah. Seharusnya, kursi ibu tersebut berada di belakang kursi Lentera, pada sisi kiri. Itu artinya, bukan di tepi jendela.

"Tempat duduk ibu, di belakang," ujar Lentera masih sopan. Dia menyerahkan tiket tersebut. Ia ingin suasana ini segera berakhir, karena ia sudah mulai menarik perhatian beberapa penumpang.

"Yah, mbak saja di belakang," tukas ibu-ibu itu dengan mudahnya. "Dari tadi anak saya tidak mau duduk di situ," tambahnya. Lentera menahan amarahnya. Sebenarnya, anak ibu tersebut mau atau tidak, bukan urusan Lentera. Yang jelas, tempat duduk yang diduduki ibu tersebut milik Lentera.

"Saya sengaja beli tiket online, untuk bisa memilih tempat duduk," balas Lentera. Namun, nampaknya ibu-ibu tersebut tidak peduli. "Saya tidak peduli anak ibu mau duduk di belakang atau tidak. Yang jelas, ibu sedang duduk di kursi saya." Akhirnya, apa yang ada dalam benak Lentera keluar juga.

Terlihat ibu-ibu tersebut mendesah. Dia mengemasi barang-barangnya, mengangkat anak perempuannya yang masih tertidur pulas. Ibu itu menggerutu sembari pindah tempat duduk. "Hal seperti ini saja dipermasalahkan. Toh sama saja!"

Lentera pura-pura tidak mendengar ucapan ibu-ibu tersebut dan menaruh tas ranselnya di atas, lalu duduk di kursi dekat jendela. Dia sadar beberapa orang penumpang melihat ke arahnya, akan tetapi dia tidak peduli. Perjalanan ke Bandung cukup lama, dia tidak mau duduk di tempat yang membuatnya tidak nyaman.

Maka, ia mengeluarkan sebuah buku, menyumpal telinganya dengan earphone dan tenggelam dalam kisah lelaki tua bernama Ove.

***

Lentera tak pernah tahu, pertengkaran kecilnya dengan ibu-ibu di gerbong kereta menarik banyak perhatian orang, terutama oleh Gilang. Lelaki itu duduk tidak jauh dari Lentera. Dia menikmati pertengkaran Lentera, mengamati perempuan itu, melihat ekspresinya dan bagaimana Lentera berdebat dengan ibu-ibu tadi. Berkali-kali, Gilang menarik sudut bibirnya. Bagaimana mungkin, sekadar kursi dalam kereta saja membuat Lentera uring-uringan?

Usai Lentera duduk di kursi impiannya, Gilang beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri kursi Lentera. Perempuan itu sedang menenggelamkan diri dalam buku bersampul biru muda, tidak menyadari kehadirannya.

Tanpa banyak berkata, Gilang duduk di kursi kosong sebelah Lentera. Tepat ketika dia duduk, Lentera melihat ke arahnya. "Kau!" seru perempuan itu. Dia terkejut mendapati Gilang di sampingnya. Kali ini, Lentera benar-benar merasa telah diikuti oleh Gilang. Bisa-bisanya dia muncul di sampingnya?

Before Wedding [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang