12

149 40 0
                                    

"Sialan, nggak sih? Baju gue di tarik oleh nenek lampir. Pengen banget kayaknya lihat otot gue. Udah gitu gue di hukum lagi," ucap Kelvin dengan amarah memuncak.

"Lo mending baju, gue celana hampir aja robek karena dia. Kayaknya emang sengaja melakukan hal itu," tambah Brian.

"Kelamaan jadi perawan tua, kayak gitu jadinya."

"Lo aja sama dia. Mungkin dia mau, apalagi baru saja lihat otot gede lo." Brian menunjuk perut Kelvin sambil tersenyum geli. "Mau, nggak?"

"Nggak, mending gue sama Mimi peri."

"Ucapan itu doa, hati-hati." Brian menghembuskan asap rokoknya ke udara, membentuk asap itu seperti huruf O.

"Ada rokok lagi nggak, sih?" tanya Kelvin mulai tergiur melihat Brian merokok.

"Sama Iqbal minta, atau sama Juna. Gue lihat mereka beli satu bungkus." Sebenarnya rokok Brian masih ada, hanya saja dia malas memberikan kepada Kelvin. Takut Kelvin bakalan mengejeknya karena rokok punya Brian harga murah.

"Bal, rokok." Minta Kelvin sambil menjulurkan tangan.

"Habis, di minta oleh anak-anak tadi. Maklum rokok mahal."

Kelvin memutar bola mata jenuh. Lalu berjalan ke arah Juna yang sibuk menatap kearah ponselnya. "Lagi lihatin apa, sih?" Kelvin mengambil ponsel Juna. Lagi-lagi Juna sedang melihat foto Acha. "Nggak ada cewek lain?"

Juna mengambil ponselnya dari tangan Kelvin. "Kata Emak gue, lebih baik sama Acha. Rumahnya dekat, jadi kalau nikah nggak perlu jauh-jauh."

"Pacarku memang dekat, lima langkah dari rumah. Nggak perlu kirim surat SMS juga nggak usah." Iqbal mulai nyanyi nggak jelas, padahal suaranya fals. "Sama Acha aja. Cantik kok anaknya, baik juga. Gue setuju jika lo pacaran dengan Acha."

"Lo udah lama dekat dengan Acha?" tanya Kelvin penasaran.

"Baru-baru ini, kok. Lagian dulu Jenny adiknya Acha pernah bilang sama gue, jika Acha sudah punya pacar." Sebenarnya Juna menyogok Jenny dengan es krim satu karung, baru Jenny mau ngomong tentang Acha. "Tapi kata Jenny, Acha sekarang udah jomblo. Makanya gue dekatin."

"Jadi lo udah lama suka sama dia?"

"Udah lama, semenjak gue pindah rumah. Pertama kali gue lihat dia saat bermain sepeda." Juna tersenyum, mengingat hari pertama dia dan Acha bertemu, mau tau kisahnya? Ini dia.

Juna turun dari dalam mobil, setelah menempuh perjalanan selama dua jam. "Ini rumahnya, ya?" tanya Juna sambil menatap rumah barunya itu.

"Kenapa? Nggak suka? Mau pindah lagi?"

"Mama jauh lebih buruk dari pada ikan salmon yang kebanyakan migrasi." Juna mengambil ponselnya, memilih berkeliling dari pada membantu orang tuanya untuk membereskan barang-barang.

"Mau ke mana Juna?" teriak Anggun. "Jangan main jauh-jauh, nanti kamu nyasar."

Juna mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Tidak menghiraukan perkataan Anggun. Juna memainkan ponselnya, kadang memotret sesuatu yang menurutnya menarik.

Juna sangat menyukai dunia fotografer, sejak kecil dia sudah diajarkan oleh papanya tentang dunia fotografer. Kadang Juna memotret pedagang kaki lima, kadang memotret pengendara yang lewat, sangat menarik.

"YANG DI DEPAN AWAAASS!!"

Juna menoleh ke belakang, menatap seorang gadis yang sedang membawa sepeda dengan oleng.

Juna menjauh saat sepeda itu mendekat ke arahnya. Di saat itu juga, pengendara sepeda itu terjatuh. Juna berlari menghampiri gadis yang membawa sepeda itu, membantunya untuk berdiri. "Lo nggak papa?"

Acha, gadis pengendara sepeda itu. "Nggak papa, maaf, ya.” Acha menyambut uluran tangan Juna, berdiri dengan bantuan Juna.

"Kaki lo keseleo, ya?" Juna menatap Acha yang berdiri dengan terpincang-pincang.

"Kayaknya, iya."

Juna menyuruh Acha untuk duduk, membuka sepatu Acha lalu memijiti kaki itu agar tidak sakit lagi. "Sakit, ya?" tanya Juna saat melihat Acha meringis kesakitan.

"Sedikit," jawab Acha, padahal dia sudah menahan rasa sakit yang melanda. "Maaf, ya. Gue jadinya ngerepotin lo."

"Nggak papa, kok. Coba berdiri deh, masih sakit apa nggak?" Juna membantu Acha untuk berdiri. Namun Acha masih saja terpincang-pincang untuk berdiri.

"Masih sakit, ya? Aduh, gue gak ahli masalah beginian." Juna pikir dengan cara memijiti kaki Acha bakalan sembuh ternyata makin parah.

"Lumayan. Tambah parah."

"Rumah lo jauh dari sini?" Juna memperhatikan sekeliling, tak ada orang yang lewat. Kalaupun lewat mereka tak menghiraukan keberadaan mereka berdua.

"Nggak terlalu jauh, sih. Kenapa?"

Juna mendirikan sepeda yang di tunggangi oleh gadis itu. "Sebelumnya gue minta maaf. Gue nggak maksud cari kesempatan dalam kesempitan."

"maksudnya?"

Juna membopong tubuh Acha, lalu menaikkan gadis itu ke atas sepedanya. "Untuk menggendong lo sampai ke rumah, gue nggak akan mampu. Jadi gue dorong sepeda ini."

Acha menunduk, menggerutu atas sikap bodohnya yang belajar naik sepeda tanpa bantuan orang lain. "Makasih, udah mau tolongin gue."

Juna tersenyum, mendorong sepeda yang di atasnya ada orang. "Belajar naik sepedanya kok sendirian, kenapa?"

"Nggak ada yang mau ngajarin gue, bunda saat ini lagi masak di dapur. Yaudah, gue belajar sendiri aja. Eh, malah nabrak lo."

Juna terdiam sejenak, kalau modus boleh nggak, sih? "Gue ajarin mau nggak?"

"Nggak usah, ngerepotin aja. Eh, nanti belok, ya!"

Juna berbelok, sesuai yang di suruh oleh Acha. Kalau nggak salah, jalan ini sama persis menuju jalan ke rumah Juna. Mereka satu arah? "Lo orang mana? Kok gue baru lihat?" tanya Acha.

"Gue? Gue orangnya suka migrasi, jadi jangan heran kalau jarang ketemu. Kenapa? Lo penasaran gue tinggal di mana? Mau datang ke rumah gue?"

"Kalau ada waktu. Eh, itu rumah gue." Acha menunjuk sebuah rumah yang bercat putih "Ternyata benar kata bunda, ada orang baru yang akan tinggal di sana." Acha menunjuk ke arah rumah yang ada di depan rumahnya.

Juna memberhentikan sepeda, membopong Acha ke kursi. "Emang rumah itu kenapa?"

Acha menyuruh Juna agar lebih mendekat darinya, seakan ingin membicarakan sebuah rahasia. "Gue dengar, rumah itu ada penghuninya. Kemarin gue masuk ke dalam rumah itu, gue lihat ada bayangan lewat. Ihhh, seram pokoknya."

"Lo percaya sama begituan?" Juna menatap ke arah rumah barunya. Bukannya takut, Juna semakin suka jika di rumahnya beneran ada hantu. Mana tau, hantunya mau di ajak main petak umpet.

"Nggak juga, sih. Tapi karena gue lihat makanya percaya. Lo nggak takut?"

Juna menggeleng. "Gue belum tau nama lo. Siapa nama lo? Kalau nama gue Juna Arzaka Cana, panggil aja Juna."

"Gue Acha. Makasih tadi udah nolongin gue, jadi ngerepotin."

"Iya." Juna melirik ke arah arlojinya, lalu kembali menatap Acha. "Udah sore, gue pulang dulu, ya."

Juna kembali berbalik menatap Acha. "Oh, ya. Rumah yang lo bilang berhantu itu adalah rumah baru gue. Thanks, udah kasih informasi yang menakjubkan." Juna melambaikan tangan, lalu pergi meninggalkan Acha.

Sedangkan Acha, dia hanya bisa menepuk jidat saat mengetahui siapa pemilik rumah baru itu. "Kenapa gue bisa sebego ini, sih?"

💐💐💐

Setelah ini masih ada kelanjutannya, jadi tunggu saja.

Jangan lupa vote dan comment. Bagi yang belum follow harap follow terlebih dahulu agar tidak ketinggalan cerita.🎃🎃

The Hows Of Us ✓Where stories live. Discover now