BAB 3: Tetes Air Hujan yang Jatuh Pada Pundakmu

ابدأ من البداية
                                    

Gilang tertawa kecil melihat ekspresi perempuan di sampingnya itu, "Hai," balasnya. Seperti biasa, Gilang tampak tak peduli dengan keterkejutan Lentera.

"Aku tidak akan percaya lagi, kalau ini kebetulan," tukas Lentera. Gilang tertawa keras, membuat beberapa penumpang kereta penasaran. "Kau membuat keributan, Gilang," tegur Lentera.

"Tak ubahnya dengan kau," balas Gilang. Lelaki itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Lalu, ia menoleh ke arah Lentera. "Kau tak sadar, kau tadi membuat orang lain tidak nyaman?"

"Apa?" detik berikutnya, Lentera menyadari apa yang dimaksud oleh Gilang. Tentu saja kejadian pertengkarannya berebut kursi dengan penumpang lain. "Aku hanya memperjuangkan hakku."

Gilang mengangguk-angguk. Mengerti.

"Itu berarti, kau sejak tadi memperhatikan?" tanya Lentera.

Gilang hanya mengangguk.

"Dan kau, diam saja?"

"Aku memperhatikanmu," balas Gilang. "Lagipula, apa yang kau harapkan? Membantumu mendapatkan kursi dekat jendelamu?" Lelaki itu memberikan penekanan pada tiga kata terakhir.

Lentera menyerah. Dia kembali mengambil novel yang dia bawa dari Surabaya, mulai membaca lagi. Sedangkan Gilang, sibuk dengan smartphone-nya, mengurus pekerjaan.

Selang beberapa menit, Lentera kembali bersuara, "Kursimu memang di sini?" dia baru menyadari sesuatu. Tidak mungkin ada kebetulan semacam ini. Lagipula, Gilang tadi berkata memperhatikannya sejak lama dan Lentera sama sekali tidak menyadari kehadiran Gilang. Kalau lelaki itu memperhatikannya sembari berdiri, tentunya Lentera akan mengenalinya.

"Bukan," sahut Gilang. Dia masih sibuk dengan smartphone miliknya.

"Lalu, kenapa kau duduk di sini?"

"Mengamankan kursi ini, agar tidak dihuni orang lain," jawab Gilang.

Lentera mendesah. Tidak habis pikir dengan lelaki di sebelahnya, maka dia kembali membaca bukunya, sampai akhirnya dia tertidur sembari bersandar pada sisi jendela kereta. Salah satu hal yang disukai Lentera ketika duduk di tepi jendela adalah bisa bersandar dengan bebas.

***

Gilang menguap beberapa kali, merenggangkan badannya dan melihat ke arah luar kereta. Dia mendapati langit menggelap dan perempuan di sebelahnya masih tertidur pulas. Gilang tersenyum kecil, hendak membangunkannya untuk makan malam, tetapi ia tak tega.

Laju kereta berhenti. Beberapa orang turun dari gerbong kereta, beberapa lagi masuk. Salah seorang penumpang yang masuk, menghampiri Gilang dan berkata, "Maaf, Pak. Ini kursi saya."

Gilang menengadah, "Ah, iya." Gilang berdiri untuk menyamai remaja yang baru saja masuk gerbong kereta itu. "Begini, tunangan saya tidak mau jauh-jauh dari saya. Bisa tukar kursi?" ucapnya. "Kursi saya di sebelah sana." Gilang menunjuk kursi dua baris dari kursi yang ia duduki saat ini.

Remaja itu mengangguk. "Tentu."

"Terima kasih," ucap Gilang dan kembali duduk di kursinya.

Dan Gilang pun, menyandarkan kepalanya di bahu Lentera.

***

Lentera merasakan pegal di bahu kirinya, entah apa. Dia membuka matanya perlahan dan hal pertama kali yang dilihatnya adalah kaca jendela kereta. Di luar sana, langit gelap dan ia hampir tak bisa melihat apa pun.

Lentera ingin menggerakkan tubuhnya, tetapi ia merasakan bahu kirinya berat seakan terhalang sesuatu. Dia terkejut, ketika melihat Gilang bersandar pada bahunya dan lelaki itu tertidur. Tak seperti kebanyakan orang, ketika mendapati seseorang tidur pada bahunya, mereka akan mendorong orang tersebut. Pada kenyataannya, Lentera justru berdiam diri sepersekian detik, untuk memperhatikan Gilang.

Before Wedding [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن