22

1.2K 207 13
                                    

Obat-obatan yang kutelan membuatku jauh lebih baik. Tak ada nyeri atau rasa sakit yang menyiksaku lagi. Hanya linu-linu di beberapa lekukan sendi, tapi sama sekali tidak mengganggu aktivitasku.

Kejadian malam itu ingin sekali aku lupakan dan aku sudah bertekad menganggapnya tak ada dalam sejarah. Aku di sini, Dita pun entah di mana sekarang. Ini hari ke dua setelah kejadian malam itu dan kurasa Dita dan ayahnya sudah di boyong pulang oleh calon suaminya. Aku hanya ingin membayangkannya cukup sampai situ. Ku harap semua berjalan lancar dan Dita jatuh hati lalu menikah. Itu saja--- harapan terbesarku. Keluarganya senang, Dita pun tak jadi anak durhaka.

Tapi ... Daus menghampiriku siang itu dan membawa kabar yang menyeretku pada persoalan sedikit lebih panjang lagi.

"Seseorang datang ke Mapala sengaja mencariku hanya untuk membicarakan kamu," kata Daus si GOR saat aku baru saja selesai latihan.

"Siapa?"

"Ini terserah sama kamu Ep, kalau kamu enggan aku usir dia sekarang juga."

"Iya, siapa?"

"Namanya Ibnu."

Dahiku spontan mengernyit, berusaha mengingat, "Ibnu mana ya, anak jurusan apa?"

"Kamu nggak kenal sebelumnya. Ah sudahlah, lebih baik ku usir saja dia," ujarnya sambil beringsut siap-siap pergi.

"Lho kamu tuh gimana sih, dia cari aku kok kamu yang usir, aku cuma sedang mengingat,"kataku menahan bahunya.

"Aku emosi bawaannya, sialan. Dia cerita siapa yang gebukin kamu tengah malam itu," seru Daus, matanya berkilat.

Oh jadi ini ada hubungannya dengan peristiwa malam itu.

"Apa Ibnu teman kakaknya Dita yang ada malam itu?" tanyaku.

Daus menggeleng,"bukan Ep. Ibnu calonnya Dita," sahutnya. Sepintas lirikan Daus seperti menakarku, begitu mataku terlihat spontan terbelalak karena tak menyangka.

"Kalau dia mau menantangku, katakan saja aku menyerah kalah. Aku tak akan ladeni," jawabku setenang angin yang berhembus lewat celah ventilasi di ujung kiri tribune di mana aku dan Daus duduk.

"Sayangnya tidak. Andai begitu aku yang ladenilah, mana sempat lagi aku beri tahu kamu ke sini. Kulibas dulu sebelum kamu," lekukan tawanya melengkung lepas.

"Terus mau apa dia?"

"Dia mau minta maaf katanya."

Untuk apa minta maaf. Dia bahkan tak terlibat dalam perkelahian. Anehnya aku tiba-tiba merasa antusias ingin bertemu. Kesan awal ini membuatku menilai bagus "kelaki-lakiannya".

"Ya sudah tak apa, dimana dia biar ku temui," kataku siap betingsut.

"Dia di depan Gor ngobrol sama Suryo, aku tinggal memanggilnya kalau memang kamu bersedia ketemu. Tapi yakin kamu mau ketemu?"

Aku mengangguk mantap. Sekejap kemudian Daus beranjak turun dan setengah berlari menghilang di pintu samping. Meninggalkan aku yang tercenung menerka-nerka apa maksud sebenarnya orang bernama Ibnu itu. Ibnu calonnya Dita. Pemberian maaf seperti apa yang diinginkan dariku. Rasa bersalah seperti apa yang dikandungnya terhadap aku, sampai aku perlu memaafkannya.

Otakku masih berputar-putar ketika seseorang dari pintu samping datang. Dia datang tertimbun sinar matahari---membuatnya terlihat hanya sosok hitam sebelum langkahnya makin dalam dan bisa jelas terlihat. Dia sempat mengedarkan pandangan mencariku sebelum akhirnya suara Daus samar-samar menunjukkan tempatku.

Begitu menemukanku yang duduk di bangku, entah anak tangga ke berapa, matanya tidak pernah lepas menatapku. Sorot matanya kuat. Tapi aku tidak bisa terjemahkan maknanya. Dia keren, rapih dengan setelan mutahir. Dandanan ala orang kaya. Kemeja, jeans juga sepatu kets yang dikenakan bukan model pasaran anak mahasiswa. Sesaat aku sempat teritimidasi ke-gagahan-nya, tapi aku tidak goyah juga membalas tatapannya yang terarah hanya padaku tanpa kehilangan fokus sedikit pun. Aku naikan kaki ke sandaran bangku di bawahku dan menopang lenganku di sana. Sementara Daus dan Suryo berkacak pinggang bersandar di pintu Gor.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now