14

1.2K 211 52
                                    

8 Mei 98

Aksi kali ini rasanya jauh lebih ramai dari aksi aksi sebelumnya. Setiap aliansi perwakilan beberapa perguruan tinggi yang dipusatkan di Unge jumlahnya makin gemuk. Apalagi STIE, jumlahnya alami peningkatan tajam sebanyak 427 orang. Berkat Daus dan Steven yang memfasilitasi mahasiswa yang sebelumnya terkendala akomodasi. Mereka semangat bukan main dan merasa bangga menjadi bagian dari perjuangan.

Hanya saja, perasaanku kali ini tak seperti aksi sebelumnya. Ada keresahan tak biasa yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya. Sejak tiba disini, di Unge. Masa yang begitu besar membuatku was was, meskipun secara struktural semua sudah solid dan matang di godog, termasuk pembagian group dan zona komplit dengan para koordinator masing-masing. Acara juga sedemikian rapih. Secara teori intinya semua matang dan siap lahir batin. Tunggu! Nyatanya batinku masih gelisah. Entah ini karena apa. Cek, ricek, multiple ricek pun sudah kulakukan. Perasaan tak enak ini tetap muncul. Kenapa ya? Tapi berulang aku berusaha tepis.

Bisa jadi karena kemarin aku bertemu Dita. Cewek itu .. aaagh .. dibuatnya aku kepayahan tak bisa tidur. Tidak banyak yang diucapkannya, tapi bekasnya, nempel semalaman. Dia hanya bilang begini, 'mas, aku dengar besok pada turun besar-besaran ya .. ' aku hanya mengangguk waktu itu.

Aku bahkan sangat ingat momen setiap detiknya. Bagaimana ia terlihat terlalu "sibuk" dengan kerudungnya, atau kaki kananya yang menginjak ujung sepatu kirinya, atau logat Jawa timurannya yang sedikit melunak. Semua ku ingat detil. Lalu dia menyambung kalimatnya yang mengambang itu, 'hati-hati ya, saya doakan mas dan kawan-kawan selamat tak kurang satu apapun.' Aku jawab, 'terimakasih Dit.'

Sejak lama aku selalu canggung mengeja namanya, karena panggilan "Mas" seharusnya di harmonikan dengan panggilan "Dek" untuknya. Tapi pada kenyataannya dia lebih tua dua tahun dariku. Kakak kelasku hitungannya, walau beda kampus.

Aku bertemu dengannya di kios foto copy sederhana di antara kampusku dan kampusnya. Terlihat manis dengan pipi terjuntai kerundung hampir separuh garis pipinya. Bahkan sudut matanya tak nampak waktu itu. Aku tertarik padanya sejak pandangan pertama. Usahaku untuk mengenalnya bersambut gayung. Sampai aku bisa main ke kosnya, atau sekedar makan jagung bakar colombo, sampai nongkrongin dia di perpustakaan mengerjakan tugas kuliahnya.

Tapi sayang, kakaknya yang kuliah di UGM tahu aku seorang aktivis. Sejak itu hubunganku mulai bertemu badai. Apalagi setelah kakaknya mengadu ke orang tua mereka, tambah kacau tak karuan. Bagi awam aktivis sepertiku adalah penghianat atau pemberontak negara. Dianggap PKI malah. Aku maklum, begitulah jika sistem negara tak menjamin kebebasan bersuara. Kebenaran hanya ada satu arah, yaitu pemerintah. Pemerintah adalah tuhan yang bebas sendirian. Sekehendak hatinya mengatur sesuai keinginannya. Keinginan elit yang menguasai negara dalam satu genggaman.

Memang sih dia masih memaksakan diri bertemu sembunyi-sembunyi di GOR. Tempat itu memang di luar jangkauan kakaknya. Karena tak tahu kalau aku pemain basket. Tapi tetap saja tak bisa lagi leluasa bertemu, apalagi main ke kosnya. Kakaknya punya mata-mata disana. Lama-lama aku tak tega membuatnya dalam posisi tertekan. Akhirnya ku ikhlaskan hubungan yang baru tiga bulan itu berakhir. Dia menangis waktu itu. Tapi tak bisa juga berbuat apa-apa, karena ancamannya adalah berhenti kuliah jika masih sekali saja ketahuan jalan denganku.

Sejak itu aku tak pernah betemu lagi, sampai sore kemarin. Dia datang memberi dukungan langsung, dia bahkan sampai harus mengatakan kalau dia mendoakanku. Ya salam ya karim .. bagaimana tak gelisah semalaman kan? Kalian tahulah rasanya. Baru bisa tidur pun setelah aku lantunkan surah Yusuf. Gejolak resahku seketika reda dan langsung pulas.

"Siap-siap sebentar lagi kita akan ke bundaran gabung dengan anak-anak UGM, mereka sedang orasi disana?" Suara Daus membuat lamunan tersungkur seketika.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now