31

470 37 25
                                    


Lalu aku pindah dari Jogja ke Jakarta ...

Suatu Masa

Masa seperti berlari cepat. Hari ke bulan, bulan ke tahun seperti tak terbendung. Lari mereka cepat sekali, entah apa yang dikejar. Aku merasa hari, bulan dan tahun itulah yang terus berlari sementara aku hanya menyaksikan dalam rutinitas yang lambat. Tak banyak peristiwa yang ku rekam membekas banyak selain dari berkas satu ke berkas lain dan dari ketegangan deadline yang satu deadline yang lain.

Sementara itu, sejarah yang bergerak di luar gedung Kementerian tempat diriku terpasung sekarang ini, hanya berisi dongeng-dongeng yang memuakkan. Cerita hanya berputar dari cerita boneka yang satu ke cerita boneka yang lain---di tanggap di acara ulang tahun anak tujuh tahun. Cerita yang disajikan dalang-dalang dengan karakter boneka di tangannya, pada anak-anak yang duduk anteng mendengarkan mulutnya berbusa dengan mata yang bersinar penuh ketamakan.

Seperti itukah kondisi yang dulu aku dan kawan-kawan perjuangkan sampai berdarah-darah? Ya memang seperti itu sekarang.

Aku bertahan di sini, juga di gedung itu hanya untuk melihat dan mengawal keluguan mantan Dosenku yang kini menjabat Mentri tertinggi perekonomian negri ini. Negri yang acak kadut. Tapi aku percaya pada Dosenku itu. Dari dulu dia tak pernah punya target istimewa ingin itu ini pada negri ini. Dia hanya tahu rumusan dan teori ekonomi makro dan mikro terbaik untuk menjaga jalannya sebuah roda perekonomian. Tak peduli perekonomian negara mana. Dia hanya punya pemikiran brilian dalam merumus dan memecahkan masalah ekonomi yang pelik.

Dari alasan yang pernah dituturkan padaku, hanya alasan itu kenapa ia mau di angkat jadi Mentri. Karena beliau memang terbaik di bidangnya. Tak ada alasan nasionalisme. Dia hanya tertantang permasalahan  ekonomi negri ini yang amburadul. Itu saja. Tapi itu jauh lebih nasionalis, di banding yang mengaku para pejuang reformasi yang merasa berjasa tapi nggarong juga! Hianati amanat kaulo alit juga!

Jadilah aku bertahan disini, bersamanya sebagai Staf Khusus Mentri. Bersama, bergumul dalam acak kadut-nya masalah dari hulu ke hilir. Dosenku yang kini menjabat orang nomor satu di kementrian, tertatih-tatih pada kebijakan yang terbentur tembok departemen lain bahkan kebijakan lain. Semua tumpang tindih saling menjatuhkan layaknya panggung Smackdown.

Aku disini untuk menjaga bahu dan kepalanya tetap tegak walau terlalu banyak kompromi yang harus ditelannya. Beliau lebih membutuhkanku dibanding aku membutuhkannya. Karena dia pernah bilang, 'aku pakai kamu bukan karena kamu mahasiswa terpandai yang bapak punya Ep, tapi bapak butuh kamu untuk menjaga kewarasan! Berani mengundurkan diri dari ruanganku ini, kubunuh karirmu di manapun!' dan kami tertawa bersama waktu itu. Aku tak takut ancamannya itu, tapi aku memang bersedia tendang kewarasannya jika berani gila sedikit saja.

"Pep ... Pepep!"

Lamunanku buyar seketika seperti buih sabun yang ditepuk.

"Ya sayang ..."

Aku lupa sedang bersama gadisku. Mataku sempat menyapu ruangan besar ini. O, ya, aku sedang berada di foodcort sebuah Mall. Oke sip.

"Pokoknya aku mau mendaki, kalau nggak diizinkan juga pokoknya aku berangkat," katanya merajuk.

"Sama siapa, apa temanmu benar pendaki atau sama culunnya dengan kamu?" kataku mencubit hidungnya.

"Jaman sekarang di gunung mana pun ada pemandu Pepep, jadi biarpun kita awam tetap bisa naik gunung."

"Naik gunung model apa begitu?" ejekku.

"Yang penting naik, sama saja kan?"

Aku tertawa memandangi wajah beningnya. Kutelusuri garis dan lekuknya. Terlalu banyak refleksi yang sama di wajah itu, dan kadang ini mengusik rasa terdalamku.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now